MONITOR, Jakarta – Penyuluh Agama kini bisa menjadi Kepala Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 24 tahun 2024 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama (Ortaker KUA) tahun 2024. Regulasi ini membawa perubahan signifikan dalam pengelolaan birokrasi KUA, termasuk terkait dengan kriteria kepala KUA.
PMA No 24 tahun 2024 terbit pada 8 Oktober 2024 dan mulai diundangkan dua hari berikutnya. Peraturan ini menggantikan regulasi sebelumnya, yakni PMA No 36 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.
Pasal 6 ayat (1) PMA 36/2016 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk memimpin KUA Kecamatan, Kepala KUA Kecamatan dijabat oleh penghulu dengan tugas tambahan. Aturan ini berubah dalam regulasi terbaru, PMA 24 tahun 2024.
Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Cecep Khairul Anwar mengatakan, PMA Ortaker KUA 2024 menetapkan bahwa jabatan kepala KUA bisa diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan jabatan fungsional seperti penghulu atau penyuluh agama Islam. Ini sebagaimana diatur pada Pasal 7, bahwa Kepala KUA dijabat oleh pegawai negeri sipil yang menduduki Jabatan Fungsional Penghulu atau Penyuluh Agama Islam.
Cecep menegaskan, Kepala KUA harus berasal dari Ditjen Bimas Islam untuk memastikan manajemen KUA berjalan optimal. “Kepala KUA harus pejabat fungsional dari Ditjen Bimas Islam, sesuai dengan regulasi Kemenpan RB,” kata Cecep di Jakarta, Sabtu (19/10/2024).
Cecep juga mengungkapkan pentingnya posisi petugas Tata Usaha (TU) sebagai koordinator administrasi di setiap KUA, untuk memastikan pelayanan berjalan optimal. Perubahan regulasi ini, kata Cecep, bertujuan memperkuat peran KUA sebagai pusat layanan keagamaan yang lebih efisien dan efektif. Perubahan ini juga dilakukan sesuai arahan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) untuk menyelaraskan pengelolaan KUA dengan prinsip tata kelola yang baik.
“PMA Ortaker KUA 2024 memperkuat peran KUA dalam memberi layanan langsung kepada masyarakat,” ujarnya.
Selain kriteria Kepala KUA, perubahan juga terjadi pada aspek pembinaan. Pasal 2 dalam PMA Ortaker KUA 2024 menetapkan, KUA kini berada langsung di bawah Ditjen Bimas Islam, bukan lagi di bawah Kantor Kemenag Kabupaten/Kota. Hal ini mengacu pada ketentuan Kemenpan RB yang melarang Unit Pelaksana Teknis (UPT) berada di bawah instansi vertikal selain organisasi induk kementerian.
“UPT hanya boleh di bawah organisasi induk, dalam hal ini, Ditjen Bimas Islam,” jelas Cecep.
Ke depan, KUA akan diklasifikasikan berdasarkan ketersediaan layanan di masing-masing KUA. “Jika KUA menyediakan layanan lengkap, maka akan dialokasikan lebih banyak SDM, fasilitas, dan anggaran operasional,” ujarnya.
Dalam upaya penguatan SDM, akan dilakukan analisis beban kerja di seluruh KUA untuk menentukan kebutuhan tenaga kerja yang sesuai. Redistribusi SDM juga akan dilakukan untuk menjamin KUA di seluruh Indonesia dapat berfungsi optimal.
Masa Transisi
Cecep menyebutkan bahwa seluruh dokumen pelayanan yang dikeluarkan sebelum PMA Ortaker KUA 2024 akan tetap berlaku selama masa transisi. “PMA lama masih akan digunakan dalam waktu paling lama 1 tahun sejak PMA Ortaker KUA 2024 diundangkan,” jelasnya.
Cecep berharap, perubahan ini memperkuat layanan KUA di seluruh Indonesia, sehingga masyarakat bisa mengakses layanan keagamaan dengan lebih mudah dan berkualitas. “Semoga perubahan ini menjadi langkah signifikan dalam memperkuat KUA sebagai pilar penting dalam kehidupan keagamaan masyarakat,” pungkasnya.