MONITOR, Jakarta – Anggota DPR RI dr. Gamal menyatakan siap memperjuangkan isu kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam hal pendidikan. Ia pun menyoroti masih banyaknya masalah pendidikan di Indonesia, mulai dari sistem pendidikan hingga kesejahteraan guru.
“Saya betul-betul mempelajari masalah pendidikan di Indonesia dan apa solusi yang bisa kami hadirkan untuk pemerintah,” kata Gamal, Jumat (18/10/2024).
Gamal sendiri diketahui merupakan seorang dokter, inovator kesehatan, wirausahawan sosial, dan juga inspirator ternama. Kesejahteraan guru menjadi salah satu perhatian Gamal mengingat kualitas guru menjadi bagian dalam layanan pendidikan. Meski begitu, kesejahteraan guru sebagai tenaga pendidik di Indonesia masih jauh dari harapan, terutama guru honorer yang jumlahnya sangat besar dan tersebar di Tanah Air.
Dengan penghasilan yang sangat kecil, banyak guru honorer tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka. Gamal menekankan pentingnya memastikan kesejahteraan guru untuk mendukung kualitas layanan pendidikan sebab kesejahteraan guru yang kurang akan berdampak negatif pada motivasi dan kualitas pengajaran. “Jika kesejahteraan guru masih minim, bagaimana mereka bisa mengajar dengan tenang tatkala utang membebani dan keperluan rumah tangga belum terpenuhi,” tuturnya.
Gamal kemudian membandingkan penghasilan guru di Indonesia dengan negara-negara di ASEAN. Jika menggunakan perbandingan Purchasing Power Parity, maka rata-rata terendah gaji guru di Indonesia berada di posisi terbawah dengan angka Rp 2,4 juta. Sementara gaji rata-rata terendah guru di Malaysia Ro 5,54 juta, Filipina Rp 6,97 juta, Rp Thailand 9,52 juta, dan Singapura Rp 11,93 juta.
Bahkan jika dibandingkan dengan gaji negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), guru SD di Australia memiliki penghasilan Rp 620-883 juta per tahun, guru SMP di Belanda memiliki penghasilan Rp 606 juta hingga 1,06 miliar per tahun, serta gaji guru SMA di Prancis memiliki penghasilan Rp 454-550 juta per tahun.
Gamal juga menyinggung hasil dari Lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada Mei 2024 yang menyebut ada 42% guru dan 74% guru honorer memiliki penghasilan di bawah Rp 2 juta rupiah, dan 13% guru dan 20,5% guru honorer memiliki penghasilan di bawah Rp 500 ribu.
Dalam laporan yang sama pun disebutkan, 89% guru di Indonesia merasa penghasilan mereka pas-pasan atau kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Selain itu, 55,8% guru juga diketahui memiliki pekerjaan sampingan, serta 79,8% guru memiliki utang. Tak heran banyak masyarakat dari profesi guru banyak yang terjerat pinjaman online (Pinjol).
“Kita juga dikejutkan oleh riset NoLimit yang mengatakan 42% masyarakat yang terjerat pinjol ilegal berprofesi sebagai guru,” ungkap Gamal.
Data yang disampaikan Gamal itu relevan dengan kasus di akhir tahun 2023 lalu di mana terjadi kisah pilu seorang Guru SD berinisial WE (44) bunuh diri bersama keluarganya di Malang, Jawa Timur, akibat terlilit utang mencapai puluhan juta rupiah.
Sementara terkait banyaknya guru yang memiliki pekerjaan sampingan, hal itu bisa dilihat dari cerita viral seorang guru honorer asal Sukabumi bernama Alvi Noviardi yang bekerja sebagai pemulung sepulangnya mengajar. Kisah Alvi ini merupakan satu dari banyaknya guru honorer yang memiliki pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Oleh karenanya, Gamal menilai masalah kesejahteraan guru di Indonesia harus mendapat perhatian lebih. “Kebayang nggak, mereka (guru) berangkat ke sekolah untuk mengajar di saat yang sama sedang ada tanggungan utang yang harus dibayar dan kebutuhan rumah yang belum terpenuhi. Bagaimana mereka bisa mengajar dengan tenang dan penuh konsentrasi?” terang Gamal.
Terlepas dari hal itu, Gamal mengapresiasi komitmen dari pada guru untuk mendidik anak bangsa. Meskipun mendapatkan gaji yang kecil, hasil survei menunjukkan mayoritas guru tetap ingin melanjutkan mengajar hingga usia pensiun. “Tapi hebatnya 93,5% guru di Indonesia mereka berkomitmen akan terus mengajar begitu sampai pensiun. Ini yang perlu kita apresiasi bersama,” ucap Gamal.
Selain kesejahteraan guru, Gamal juga menyoroti kualitas SDM Indonesia terkait pendidikan. Hal ini menjadi catatan bagaimana pendidikan di Indonesia masuk dalam kategori kritis.
Salah satu indikatornya, disampaikan Gamal, terlihat dari rendahnya hasil capaian Indonesia dalam program PISA (Program for International Student Assessment) pada tahun 2022. Indonesia berada di peringkat 69 dari 81 negara dengan skor membaca, matematika, dan sains yang jauh di bawah target yang ditetapkan.
Menurut Gamal, hasil PISA tersebut merupakan hasil PISA terendah sepanjang sejarah Indonesia mengikuti PISA yang diinisiasi oleh OECD itu. “Capaian nilai PISA kita tertinggal jauh dari rata-rata negara OECD dan ASEAN. Skor membaca 356 jauh di bawah target RPJMN 392. Skor matematika 366 jauh di bawah target RPJMN 392. Skor sains 383 jauh di bawah target RPJMN 402,” urai Legislator dari dapil Jawa Timur V ini.
“Jika kita membuat proyeksi skor Indonesia dan merujuk pada rata-rata neagra OECD, maka kita bisa mencapai rata-rata skor OECD pada tahun 2089 untuk literasi dan 2063 untuk numerasi. PISA ini untuk mengevaluasi outcome pendidikan dari berbagai negara,” sambung Gamal.
Lebih lanjut, Gamal menyoroti krisis literasi di Indonesia. Berdasarkan data UNESCO, minat baca Indonesia berada dalam ketegori memprihatinkan karena dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Penelitian World’s Most Literate Nation Ranking oleh CCSU juga menyatakan Indonesia peringkat 60 dari 61 negara untuk minat baca.
“Outcome pendidikan kita belum optimal yang diukur dari berbagai hasil assessment pendidikan,” ungkapnya.
Indonesia pun turut mengalami krisis numerasi. Menurut Gamal, berbagai assessment menunjukkan stagnansi atau kemajuan yang lambat terhadap kemampuan numerasi siswa di Indonesia. “Hasil tes IFLS menunjukkan rendahnya probabilitas siswa usia sekolah dalam penguasaan materi perhitungan dasar. Kemudian kenaikan jenjang pendidikan tidak menaikkan kemampuan literasi secara signifikan,” kata Gamal.
“Misalkan dalam tes IFLS anak kelas 1 mendapatkan skor 26,5% dan anak kelas 12 mendapat skor 38,7%. Jadi anak kelas 1 sampai 12 selama 12 tahun belajar kemampuan numerasinya meningkat hanya sekitar 12 persen saja,” imbuhnya.
Untuk itu, Gamal menilai perlu ada evaluasi sistem pendidikan di Indonesia. Sebab dari data tersebut dapat disimpulkan penambahan jenjang pendidikan tidak meningkatkan kemampuan numerasi anak-anak secara signifikan. “Jadi, walaupun siswa tersebut naik kelas, peningkatan kemampuan siswa antara jenjang satu dengan jenjang berikutnya tidak memiliki kenaikan yang signifikan. Oleh Karena itu kita perlu memprioritaskan kemampuan literasi dan numerasi sebagai orientasi pembelajaran,” katanya.
Menurut Gamal, Indonesia telah berhasil membuka akses pendidikan, namun yang harus dilakukan selanjutnya adalah meningkatkan kulitas proses belajar mengajar. Pasalnya tidak sedikit anak-anak yang bersekolah namun tidak paham dengan apa yang mereka pelajari.
“Setelah kami pelajari anggaran yang besar itu berhasil meningkatkan akses pendidikan atau schooling yang ditunjukkan dari angka partisipasi sekolah yang semakin meningkat. Yang kita perlu lakukan berikutnya meningkatkan kualitas proses belajar mengajar atau learning untuk meningkatkan output atau outcome pendidikan. Dari Schooling fokus ke learning,” jelas Gamal.
Padahal, kata dr. Gamal, anggaran pendidikan Indonesia salah satu yang cukup besar di Asia. Berdasarkan amanat konstitusi, 20% anggaran negara setiap tahunnya harus dialokasikan untuk pendidikan.
“Padahal dengan adanya spending anggaran sekitar Rp 665 triliun kita seharusnya mampu melakukan akselerasi peningkatan indikator kinerja pendidikan.” sebut Gamal.
“Saya akan menjalankan fungsi budgeting, legislasi, dan pengawasan dengan mendorong beberapa solusi strategis. Pertama, memprioritaskan peningkatan kemampuan literasi dan numerasi. Kedua, memberikan dukungan kesejahteraan dan peningkatan kualitas guru. Ketiga, realokasi anggaran fokus pada peningkatan kualitas pendidikan berbasis indikator kinerja pendidikan.” pungkas salah satu Anggota DPR dari kalangan muda itu.