MONITOR, Jakarta – Kasus suspect Mpox (MonkeyPox) atau cacar monyet terus bertambah di Indonesia. DPR RI mendesak Pemerintah untuk segera menerapkan kembali kewajiban protokol kesehatan dan mempersiapkan penanganan khusus untuk anak-anak yang berpotensi terkena Mpox, terutama jika ada keluarga yang menjadi suspect.
“Mpox sudah harus ditangani dengan serius. Kami mendesak Pemerintah untuk segera menerapkan protokol kesehatan ke masyarakat dan menyiapkan penanganan secara lebih komprehensif, khususnya untuk anak-anak yang juga berisiko terpapar Mpox,” ujar Anggota Komisi IX DPR, Rahmad Handoyo, Jumat (6/9/2024).
Rahmad mengharapkan komitmen tinggi dari Pemerintah untuk menangani Mpox, apalagi berdasarkan informasi Kementerian Kesehatan (Kesehatan) sudah ada laporan sepuluh kasus suspect Mpox di Bali, Yogyakarta, Jakarta dan sekitarnya, serta Kalimantan.
Di Jabodetabek, suspect ditemukan di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Kemudian ada juga beberapa suspect Mpox di wilayah Jakarta Barat. Sebelumnya 3 kasus suspect Mpox juga terdapat di Palembang, Sumatera Selatan, meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya sudah dinyatakan negatif.
Rahmad mengatakan, Pemerintah perlu mewaspadai varian terbaru Mpox yang penyebarannya cepat di Republik Demokratik Kongo, yaitu Clade 1B di mana varian ini cukup membahayakan pasien.
“Meskipun di Indonesia belum ada penambahan kasus positif Mpox dan Clade I juga belum terdeteksi, Pemerintah harus mengambil langkah konkret salah satunya dengan implementasi protokol kesehatan atapun edukasi masif kepada masyarakat,” terangnya.
Walaupun bukan penyakit mematikan, penyakit Mpox yang terjadi karena infeksi virus MPXV itu mudah menular. Penularan virus Mpox antar-manusia dapat terjadi melalui kontak langsung berupa berjabat tangan, bergandengan, dan termasuk kontak seksual.
Virus MPXV sendiri merupakan spesies dari genus Orthopoxvirus. Ada dua clade virus MPXV, yaitu Clade I (dengan subclade Ia dan Ib) dan Clade II (dengan subclade IIa dan IIb). Clade Ia dan Ib memiliki manifestasi klinis yang lebih berat bila dibandingkan dengan Clade II.
Varian Mpox Clade I, baik Ia maupun Ib, belum terdeteksi di Indonesia. Sejak 2022 hingga saat ini, varian yang ditemukan di Indonesia adalah varian Clade II. Sebanyak 88 kasus Mpox yang ditemukan di Indonesia juga telah dinyatakan sembuh.
Terlepas dari hal itu, Rahmad meminta Pemerintah untuk meningkatkan sistem surveilans epidemiologis yaitu kegiatan analisis yang dilakukan secara sistematis dan terus menerus terhadap suatu penyakit agar dapat dilkukan tindakan penanggulangan secara efektif. Hal ini mengingat sudah mulainya bermunculan kembali kasus suspect Mpox beberapa waktu terakhir.
“Deteksi dini adalah kunci dalam memitigasi penyebaran penyakit. Selain itu, optimalisasi fasilitas laboratorium untuk mendeteksi berbagai patogen dengan cepat dan akurat juga menjadi prioritas,” ungkap Rahmad.
Lebih lanjut, Rahmad meminta Pemerintah untuk meningkatkan program edukasi dan sosialisasi untuk masyarakat. Ia juga menekankan pentingnya meningkatkan kapasitas tenaga dan fasilitas kesehatan hingga ke pelosok negeri.
“Perlu ditingkatkan juga pelatihan kepada tenaga kesehatan sehingga semua nakes sudah paham betul cara mendeteksi, menangani, dan melaporkan kasus Mpox dengan cepat dan tepat,” jelas Legislator dari Dapil Jawa Tengah V ini.
Rahmad juga mendorong Pemerintah untuk membuat langkah khusus untuk penanganan apabila suspect atau pasien positif Mpox adalah anak-anak. Sebab penanganan pada pasien anak berbeda dengan pasien umum dewasa, terlihat saat pandemi Covid-19 lalu.
“Ini ibu-ibu banyak yang takut dan khawatir anak-anak mereka kena Mpox. Karena kalau anak yang kena kan butuh pendampingan orang tua atau orang dewasa, sementara Mpox ini sangat menular, bahkan hanya dengan sentuhan saja seperti kejadian di Afrika,” kata Rahmad.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) mengungkap, sedikitnya 8.772 anak tertular Mpox di Republik Demokratik Kongo (DRC), pusat terjadinya wabah Mpox di Afrika. Jumlah itu lebih dari setengah total kasus yang dilaporkan di DRC. Selain itu, 80 persen kematian akibat Mpox di DRC juga terjadi pada anak-anak.
Di Burundi, negara tetangga DRC, tercatat hampir 60 persen kasus Mpox terjadi pada anak dan remaja di bawah usia 20 tahun. Sebesar 21 persen dari kasus Mpox pada anak berusia di bawah 5 tahun. Kasus Mpox pada anak-anak juga dilaporkan di sejumlah negara di Afrika.
Oleh karena itu, Rahmad menilai diperlukan penanganan khusus terhadap potensi pasien Mpox anak.
“Potensi Mpox pada anak ini bukan berarti pada semua anak. Ini secara khusus bagi anak-anak yang keluarganya terdapat suspect Mpox. Maka jika menjadi suspect Mpox, harus mengikuti anjuran isolasi mandiri supaya tidak menularkan kepada keluarga, terutama anak-anak,” urainya.
“Pemerintah juga harus bisa memberi kepastian dan jaminan bahwa semua faskes dan pelayanan kesehatan sudah siap dengan pengobatan maupun antisipasi penyebaran virus ini, termasuk pada anak-anak suspect Mpox yang juga harus kita lindungi,” lanjut Rahmad.
Terkait obat-obatan Mpox yang kasusnya banyak ditemukan di Afrika itu, Kemenkes sudah menyiapkan pemberian terapi simtomatis, tergantung derajat keparahan kasus. Pasien dengan gejala ringan dapat melakukan isolasi mandiri di rumah dengan pengawasan dari puskesmas setempat, sedangkan pasien dengan gejala berat harus dirawat di rumah sakit.
Mpox memiliki masa inkubasi sekitar 3 hingga 17 hari di mana gejalanya mirip seperti cacar air, namun cacar monyet memiliki bentuk luka seperti leci di mana bekas lukanya berwarna hitam dan menyebar di tubuh orang yang terpapar.
Sejumlah gejala yang dapat diperhatikan oleh masyarakat terkait Mpox ini adalah adanya ruam di tangan, kaki, dada, wajah, mulut atau di dekat alat kelamin. Selain itu pasien Mpox biasanya mengalami demam, panas dingin, pembengkakan kelenjar getah bening, kelelahan, nyeri otot dan sakit punggung, serta sakit kepala dan gejala pernafasan (misalnya sakit tenggorokan, hidung tersumbat, atau batuk).
“Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat soal Mpox dan penanganannya menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan Pemerintah. Termasuk bagaimana metode isolasi mandiri jika menjadi suspect Mpox. Masyarakat juga butuh kepastian dari Pemerintah bahwa penyakit ini bisa diobati,” ucap Rahmad.
Di sisi lain, anggota Komisi Kesehatan DPR itu mengimbau kepada masyarakat yang memiliki anak untuk selalu meperhatikan kondisi kesehatan anak-anaknya. Mengingat, kata Rahmad, WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) menyebut anak-anak berisiko lebih tinggi terkena Mpox dalam kondisi parah dibandingkan orang dewasa.
“Walaupun bukan berarti masyarakat harus takut atau panik, tapi mengantisipasi lebih baik daripada mengobati. Pastikan anak-anak kita terjaga dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Sebisa mungkin hindari dulu tempat ramai atau kerumunan,” imbaunya.
Data WHO menunjukkan, rasio kematian kasus Mpox pada anak-anak di bawah usia satu tahun mencapai 8,6 persen. Ini lebih tinggi dibandingkan kematian dari 2,4 persen pasien berusia 15 tahun ke atas.
“Tapi masyarakat tidak perlu merasa cemas dan khawatir berkepanjangan karena penyakit ini bisa diobati. Ikuti informasi resmi dari Pemerintah dan perbanyak literasi mengenai Mpox seperti gejala awal dan cara penanganannya,” kata Rahmad.
“Jangan gampang percaya pada informasi di media sosial yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Cari informasi dari sumber-sumber terpercaya,” tambahnya.
Mengutip Save The Children, penularan Mpox terhadap anak bisa lebih cepat karena sistem kekebalan tubuhnya masih lemah. Biasanya, anak-anak mudah tertular penyakit saat di sekolah yang memiliki banyak aktivitas kontak fisik.
“Untuk melindungi anak anak dan keluarga yang mungkin terkena suspect, perlu ada perlindungan berlapis. Lingkungan pendidikan juga harus berpartisipasi melakukan upaya-upaya pencegahan virus Mpox,” sebut Rahmad.
Untuk itu, Pemerintah diingatkan untuk melakukan kolaborasi dan koordinasi antara stakeholder terkait. Selain itu, menurut Rahmad, Pemerintah harus memastikan vaksin yang ada di Indonesia sudah mencukupi agar Mpox tidak mewabah di Indonesia.
“Kasus penularan Mpox pada anak-anak di Afrika menjadi pelajaran berharga buat Indonesia. DPR mendukung upaya Pemerintah yang saat ini masih fokus pada vaksinasi terhadap warga dengan risiko tinggi sembari mewaspadai kemungkinan penularan pada anak-anak,” urainya.
Rahmad mengatakan, Pemerintah tidak bisa sendiri dalam menangani penyakit Mpox. Sehingga penting bagi Pemerintah untuk bekerja sama dan bergotong royong dengan pihak-pihak terkait.
“DPR juga akan terus melakukan pengawalan. Dan tentu diperlukan dukungan dari masyarakat itu sendiri dengan menjaga keluarga lewat berbagai upaya-upaya antisipasi, seperti penerapan protokol kesehatan yang ketat,” tutup Rahmad.