MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prastiyani Aher meminta pemerintah meningkatkan upaya pencegahan penyebaran virus Monkeypox (Mpox) atau penyakit cacar monyet yang semakin banyak ditemukan di wilayah ASEAN. Salah satunya dengan memperketat jalur masuk orang ke Indonesia dari luar negeri.
“Meningkatnya kasus cacar monyet (monkeypox) di dunia dan kawasan ASEAN harus diwaspadai secara serius oleh pemerintah Indonesia. Langkah cepat dan responsif harus segera diambil untuk menghindari risiko yang lebih buruk,” kata Netty, Rabu (28/8/2024).
Seperti diketahui, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 14 Agustus 2024 telah menetapkan Mpox sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Menjadi Perhatian Internasional (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC) menyusul peningkatan kasus Mpox di Republik Demokratik Kongo dan sejumlah negara di Afrika. Saat ini, Mpox juga semakin mewabah di ASEAN.
Oleh karena itu, Netty mendorong pemerintah untuk mengikuti protokol WHO dalam menangani monkeypox.
“Misalnya, kita terapkan skrining monkeypox di pintu-pintu masuk dari negara-negara terdampak, khususnya tetangga kita seperti Thailand dan Filipina yang sudah mengonfirmasi kasus baru,” ungkapnya.
Menurut Netty, langkah cepat dan responsif seperti itu perlu diambil untuk menghindari risiko yang lebih buruk terhadap penyebarannya. Ia mengatakan, skrining ketat diperlukan di pintu-pintu masuk negara agar penyebaran virus Mpox bisa dicegah apalagi Indonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Indonesia-Africa Forum (IAF) yang akan dihelat di Bali pada 1-3 September.
“Kita bisa meningkatkan pengawasan di pintu masuk negara dengan menggunakan thermal scanner. Pastikan semua orang yang masuk ke Indonesia, baik WNI maupun WNA, telah melalui skrining yang ketat dan dibuktikan dengan dokumen kesehatan,” tutur Netty.
Komisi IX DPR mendukung Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang mensyaratkan kembali penggunaan aplikasi SatuSehat untuk pelaku perjalanan luar negeri seperti saat pandemi Covid-19 lalu. Netty menilai langkah ini dapat mengefektifkan pencegahan dan penanganan penularan penyakit Mpox.
“Tentunya ini harus berlaku untuk siapa saja, tanpa terkecuali. Dan pastikan infrastruktur kesehatannya siap, misalnya untuk karantina dan tindakan medis, serta petugas di lapangan memahami apa yang harus dilakukan jika menemukan suspect,” paparnya.
Di Indonesia sudah terdapat 88 kasus kumulatif sejak ditemukan pada tahun 2022 di mana sepanjang tahun 2024, ada 14 kasus monkeypox di Indonesia. Sejauh ini, seluruh pasien dinyatakan sembuh dan tidak mengeluhkan gejala berat.
Kasus Mpox yang menyebar di Indonesia merupakan varian Clade 2b, dengan tingkat fatalitas diyakini lebih rendah ketimbang Clade 1b.
Sebagai langkah antisipasi lainnya untuk menghindari wabah Mpox, Pemerintah telah menyiapkan pengobatan dan vaksinasi Mpox. Saat ini Pemerintah tengah mengimpor 1.600 vaksin dari Denmark, meski pemberiannya belum bisa dilakukan secara massal.
“Ini langkah yang strategis dan tepat dalam upaya pencegahan dan penanganan penyakit Mpox di Indonesia. Pemberian vaksin harus tepat sasaran dan efektif menjangkau kelompok rentan,” tegas Netty.
Netty juga berpesan agar vaksin Mpox tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab mengingat harga satu dosis vaksin mencapai Rp 3,5 juta. Artinya untuk 1.600 vaksin, total anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah mencapai Rp 5.6 miliar. Sebelumnya di tahun 2022 Indonesia sudah memiliki 1.000 vaksin Mpox namun kini hanya tersisa 40 vaksin.
Menurut Legislator dari Dapil Jawa Barat VIII itu, alangkah baiknya jika vaksin Mpox diperuntukan bagi petugas kesehatan terlebih dahulu. Netty mengatakan, seperti untuk petugas yang melakukan skrining pada delegasi acara Indonesia-Africa Forum yang akan berlangsung di Bali.
“Termasuk untuk petugas lab yang sering melakukan pemeriksaan dan kelompok rentan, terutama di daerah-daerah yang sudah ada riwayat penyebaran penyakit Mpox,” terangnya.
Adapun Mpox sendiri adalah salah satu spesies virus cacar, ditandai dengan ruam lalu diikuti dengan benjolan yang muncul di kulit. Menurut Kemenkes, mayoritas penyebaran Mpox terjadi melalui kontak seksual sehingga pemberian vaksin Mpox saat ini selain untuk petugas kesehatan, diprioritaskan kepada kelompok berisiko seks.
“Kita harap ke depan penerima vaksinasi Mpox bisa semakin diperluas apalagi dari laporan kasus di Afrika kasus Mpox sudah banyak ditemukan pada anak-anak yang penularannya melalui kontak fisik dengan orang yang mengasuh mereka,” urai Netty.
Selain hubungan seksual, penularan Mpox disebut juga terjadi saat menyentuh sekresi orang yang terinfeksi, menyentuh pakaian mereka atau bahkan berbicara dalam jarak dekat untuk jangka waktu tertentu, dengan potensi terjadinya tetesan air liur atau droplet. Ini adalah kemungkinan jalur penularan yang disebutkan oleh WHO.
Dengan kata lain, semakin banyak kontak dan semakin lama kontak, semakin besar kemungkinan penularan. Untuk itu, Netty mengimbau sosialisasi dan edukasi ke publik penting dilakukan sebab masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang cacar monyet ini.
“Kampanye maupun promosi penanganan monkeypox ini perlu secara masif di fasilitas-fasilitas publik. Langkah ini perlu diambil agar masyarakat kita punya pengetahuan terkait monkeypox, baik gejala, cara penanganan, maupun pesebarannya di dunia,” imbaunya.
Netty mengatakan, langkah pencegahan akan efektif manakala masyarakat mengetahui apa yang tengah dihadapinya. Dengan pengetahuan yang akurat, masyarakat pun jadi memiliki kesadaran untuk menghindari potensi penyakit.
“Bukan kita ingin menakut-nakuti masyarakat, tapi mencegah lebih baik dari pada mengobati. Terlebih varian clade 1B yang berkembang di Afrika lebih berbahaya dari clade II,” tutup Netty.