Selasa, 17 September, 2024

Prof Rokhmin Dahuri Ungkap Peran Strategis Kedaulatan Pangan Untuk Kesejahteraan Petani dan Nelayan

MONITOR, Jakarta – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MSc memaparkan pangan memiliki peran strategis bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa. Untuk itu, ia meminta tiap wilayah di Indonesia berkonsentrasi dalam mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan.

Demikian disampaikan Prof. Rokhmin Dahuri lewat paparannya bertajuk “Pembangunan Kedaulatan Pangan Yang Mensejahterahkan Petani Dan Nelayan Secara Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045” pada Focus Group Discussion (FGD) dan Rapat Kerja Yayasan Karya Bhakti Bumi Indonesia (YKBBI) “Turut Membangun Kedaulatan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045” di Hotel Grand Roh, Yogyakarta, Sabtu, 24 Agustus 2024.

“Pertama, pangan menentukan tingkat kesehatan, kecerdasan, dan kualitas SDM. “You are What you eat” (FAO dan WHO, 2000). Kualitas SDM adalah kunci kemajuan sebuah bangsa!” kata Prof Rokhmin Dahuri.

Kedua, permintaan pangan terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dunia. Ketiga, suplai pangan global cenderung menurun. Penyebabnya antara lain: 1) Alih fungsi lahan pertanian, 2) Triple Ecological Crisis (Global Climate Change, Biodiversity Loss, dan Pollution), 3) Meningkatnya tensi geopolitik (Perang Rusia vs Ukraina, Genosida Israel terhadap Palestina, dan Rivalitas China vs AS), 4) Negara-negara produsen pangan (seperti Rusia, India, dan Vetnam) mulai membatasi ekspor pangannya demi mengamankan food security bangsanya di tengah risiko global (global uncertainties).

- Advertisement -

Keempat, Pangan adalah hidup & matinya sebuah bangsa (Soekarno, 1957).  Negara dengan penduduk lebih dari 100 juta orang, akan susah (tidak akan) maju dan Makmur, bila pemenuhan pangannya dari impor” (FAO, 2000).

Kelima, Indonesia punya potensi produksi pangan yang besaar untuk berswasembada dan feeding the world. Namun, kinerja sektor pangan kurang baik.

Ketahanan Pangan

Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan status ketahanan pangan bangsa Indonesia. Indeks Ketahanan Pangan (IKP) sari 34 provinsi, provinsi dengan status sangat tahan sebesar 55,88 %, tahan (29,41%), agak tahan (8,82%), dan rentan (5,88%).

Lalu Impor Komoditas Pangan Strategis Nasional pada 2023  jumlah volume Impor 24,42 Juta Ton. Dari data impor 6 komoditas tersebut, secara volumetrik cenderung mengalami kenaikan dari 13,6 Juta Ton (2018) menjadi 14,2 juta ton (2023).

“Total impor beras 2023 sebesar 3,2 juta ton (BPS, 2024). vRencana impor beras 2024 : 5,3 juta ton, sepanjang sejarah NKRI (1945 – sekarang), tertinggi kedua setelah impor beras 1998 sebesar 6 juta ton (BPS, 1999; BPS, 2024),” terangnya.

Pada tahun 1970-an proporsi gandum sebagai makanan pokok sekitar 4%, 2010 sekitar 18,3%, 2020 sekita 26,6%.  Jika tren ini terus berlanjut pada 2050 mendekati 50% makanan pokok yang dikonsumsi orang Indonesia adalah gandum, dan 100% harus diimpor (D.A. Santosa, Opini Kompas 9/9/2021). Pada 2021 = 28,0%: Ekspor gandum 0,064 juta ton (0,5%), Konsumsi mi instan 13,27 miliar bungkus (naik 4,98%), Ekspor mi instan US$ 227 juta (6,1%.)

Di tahun politik impor beras meroket. Rekor impor beras terjadi pada 2019 -2023 dalam jutaan ton.  Berdasarkan Proyeksi Neraca Beras Nasional 2024, Indonesia akan mengimpor hingga 5,17 juta ton beras sepanjang tahun ini.

“Angka ini jauh melampaui rekor impor sebelumnya pada tahun 1999 sebesar 4,75 juta ton. Ketergantungan yang semakin besar pada impor beras ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap ketahanan pangan nasional,” tegas Menteri Kelautan dan Perikanan 2001–2004 itu.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan anggaran Tematik 2025 untuk mendukung agenda prioritas pembangunan, yaitu: Pendidikan Rp722,6 Triliun: Upaya promotif dan preventif, percepatan penurunan stunting, dan penurunan kasus TBC. Pembangunan RS berkualitas, efektivitas program JKN dan pemeriksaan Kesehatan gratis. Penguatan teknologi dan kemandirian farmasi Penguatan sistem kesehatan yang handal.

Perlindungan Sosial Rp504,7 Triliun: Melanjutkan perlinsos al. PKH, Kartu Sembako, PIP,KIP Kuliah. Sinergi dan integrasi Perlinsos dengan kartu kesejahteraan. Penguatan perlinsos sepanjang hayat; Penguatan graduasi dari kemiskinan a.l Pemberdayaan masyarakat miskin dan rentan

Infrastruktur Rp400,3 Triliun: Pembangunan infrastruktur pertanian al jaringan irigasi dan bendungan. Pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Mendukung infrastruktur transformasi ekonomi (al.konektivitas, hilirisasi, pangan, energi). Penyediaan rumah murah bersanitasi baik

Kesehatan Rp197,8 Triliun: Upaya promotif dan preventif, percepatan penurunan stunting, dan penurunan kasus TBC. Pembangunan RS berkualitas, efektivitas program JKN dan pemeriksaan Kesehatan gratis. Penguatan teknologi & kemandirian farmasi. Penguatan sistem kesehatan yang handal

Ketahanan Pangan Rp124,4 Triliun: Intensisifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian, penguatan sarpras dan infrastruktur pertanian, subsidi pupuk dan bantuan benih. Lumbung pangan & peningkatan akses pembiayaan petani. Penguatan cadangan pangan nasional. (availability dan affordability pangan)

Hukum Dan Hankam Rp372,3 Triliun: Modernisasi alutsista/almatsus/ alpalhankam. Penguatan TIK dari ancaman Siber. Dukungan kemampuan industri strategis. Pelaksanaan kegiatan operasional hukum dan hankam.

Yang mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.

“Berdasarkan laporan Kemenkes dan BKKBN, bahwa 30.8% anak-anak kita mengalami stunting growth (menderita tubuh pendek), 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi. Dan, penyebab utama dari gizi buruk ini adalah karena pendapatan orang tua mereka sangat rendah, alias miskin,” sebutnya.

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, kata UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Tak heran, bila kapasitas  Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) bangsa Indonesia hingga kini baru berada pada kelas-3 (lebih dari 75 % kebutuhan teknologinya berasal dari impor). Sementara menurut Unesco suatu bangsa dinobatkan sebagai bangsa maju, bila kapasitas Iptek-nya mencapai kelas-1 atau lebih dari 75 % kebutuhan Iptek-nya merupakan hasil karya bangsa sendiri.

“Menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%).  Dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%),” ujarnya.

Maka, kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia tersebut, biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020).

“Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut,” kata Prof Rokhmin Dahuri mengutip Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022.

Selain itu, kategori tingkat kelaparan skor GHI:  Skor 0—9,9: Tingkat kelaparan rendah,  Skor 10—19,9: Tingkat kelaparan sedang, Skor 20—34,9: Tingkat kelaparan serius,  Skor 35—49,9: Tingkat kelaparan mengkhawatirkan, Skor 50—100: Tingkat kelaparan sangat mengkhawatirkan/ekstrem.

Berdasarkan kategorisasi tersebut, pada 2023 Indonesia memiliki skor 17,6, masuk kategori kelaparan “sedang”. Skor itu juga menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kelaparan tertinggi (atau terburuk) ke-2 dari 9 negara ASEAN yang diriset. Hal ini, tandasnya, implikasi rendahnya ketahanan pangan dan gizi buruk terhadap kualitas SDM Indonesia.

Kemudian, kata Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu, soal daya saing kita parah. Dari rata- rata IQ warga Negara ASEAN, IQ kita hanya di ranking ke 136. “Daya literasi kita terburuk ke 2 di dunia, stunting, gizi buruk. Jadi, negara ini sakit sebenarnya,” tandasnya.

Hasil survei Program International for Student Assessment (PISA) 2022, yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan  sains pelajar kelas 3 SLTP seluruh dunia, mengungkapkan, pada 2018 dari 78 negara yang disurvei, peringkat 1-10 ditempati negara non-Muslim. Sedangkan Indonesia peringkat ke-69 dari 81 negara.

Riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Pada tahun 2022, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat ke-112 dari 193 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN. Untuk menjadi negara maju dan kaya, HDI-nya > 0,90. Hingga 2022, peringkat  Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN

Kedaulatan Pangan

Anggota DPR RI periode 2024 -2029 tersebut menjelaskan definisi Undang-undang Pangan (UU No 18, 2012). Yaitu: Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Sedangkan definisi Ketahanan Pangan, terangnya, kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (UU no. 18/ 2021).

Kemandirian Pangan, yaitu kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Kedaulatan Pangan adalah Hak masyarakat atas pangan yang sehat dan sesuai dengan budaya yang diproduksi melalui metode yang ramah Lingkungan dan berkelanjutan, serta hak mereka untuk menentukan Sistem pangan dan pertanian mereka sendiri.

Kedaulatan pangan menempatkan aspirasi dan kebutuhan mereka yang memproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi pangan di jantung sistem kebijakan pangan, bukan tuntutan korporasi dan atau tekanan pasar.  “Kondisi Sistem Pangan kita, masih belum bisa mewujudkan kedaulatan pangan seperti yang dimaksud pada Definisi Kedaulatan Pangan,” ujarnya.

Potensi lahan pangan di kawasan hutan, antara lain: a. Potensi luas hutan untuk tanaman pangan adalah 54 juta ha (Hutan Produksi untuk Pengusahaan Skala Besar), b. Jika 20% luas lantai hutan digunakan untuk budidaya tanaman pangan akan menghasilkan Ubi kayu, Garut, Ganyong, Talas, Kimpul, Ubi jalar, Jagung.

Sejak 2018, ungkapnya, produksi beras nasional menunjukkan kecenderungan penurunan yang persisten.  Penyebabnya lebih besarnya konsumsi dari produksi selain perubahan iklim akibat El-Nino, namun juga minimnya ketersediaan pupuk, jumlah petani yang semakin menurun dan menua, hingga alih fungsi sawah yang semakin tidak terkendali.  Alih fungsi lahan sawah yang terus terjadi secara masif, termasuk yang disebabkan oleh proyek strategis nasional (PSN), terutama di Jawa.

Permasalahan dan tantangan kedaulatan pangan, antara lain: 1. Mayoritas buruh tani, peternak, nelayan ABK, dan produsen pangan (on-farm) lainnya masih miskin. 2. Sebagian besar usaha (bisnis) di sektor pangan masih tradisional, tidak menerapkan: (1) economy of scale, (2) Integrated Supply Chain Management System (hulu – hilir), (3) teknologi terbaik (tepat – guna) dan mutakhir, dan (4) prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (RTRW, pengendalian pencemaran, dan konservasi biodiversity).

“Akibatnya produktivitas rendah, kurang efisien, komoditas dan produk pangan kurang berdaya saing, kontribusi terhadap PDB rendah dan cenderung menurun, petani dan nelayan miskin, dan kurang sustainable (berkelanjutan),” kata Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat itu.

Menurut definisi, tegas Prof. Rokhmin Dahuri, Akuakultur adalah produksi ikan, krustasea, moluska, invertebrata, alga, mikroba, tanaman, dan organisme lain melalui penetasan dan pemeliharaan dalam ekosistem perairan (Parker, 1998).

Sedangkan Komoditas Akuakultur, antara lain: a) Peran dan fungsi konvensional akuakultur menyediakan: (1) protein hewani termasuk ikan bersirip, krustasea, moluska, dan beberapa invertebrata; (2) rumput laut; (3) ikan hias dan biota perairan lainnya; dan (4) perhiasan seperti tiram mutiara dan organisme perairan lainnya.

b) Peran dan fungsi non-konvensional (masa depan) akuakultur: (1) pakan berbasis alga; (2) produk farmasi dan kosmetik dari senyawa bioaktif mikroalga, makroalga (rumput laut), dan organisme perairan lainnya; (3) bahan baku yang berasal dari biota perairan untuk berbagai jenis industri seperti kertas, film, dan lukisan; (4) biofuel dari mikroalga, makroalga, dan biota perairan lainnya; (5) pariwisata berbasis akuakultur; dan (6) penyerap karbon yang memitigasi pemanasan global.

“Definisi Bioteknologi Kelautan, adalah bioteknologi kelautan adalah teknik penggunaan biota laut atau bagian dari biota laut (seperti sel atau enzim) untuk membuat atau memodifikasi produk, memperbaiki kualitas genetik atau fenotip tumbuhan dan hewan, dan mengembangkan (merekayasa) biota laut untuk keperluan tertentu, termasuk perbaikan lingkungan,” kata Prof. Rokhmin Dahuri, mengutip Lundin and Zilinskas, 1995.

Domain Industri Bioteknologi Kelautan, yaitu: 1. Ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive compounds/natural products) dari biota laut untuk bahan baku bagi industri nutraseutikal (healthy food & beverages), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan beragam industri lainnya. 2. Genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul. 3. Rekayasa genetik organisme mikro (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar. 4. Aplikasi Bioteknologi untuk Konservasi

Menurutnya, sampai sekarang, pemanfaatan Bioteknologi Kelautan Indonesia masih sangat rendah (< 10% total potensinya). Banyak produk industri bioteknologi kelautan yang bahan baku (raw material) nya dari Indonesia  diekspor ke negara lain, lalu negara pengimpor memprosesnya menjadi beragam produk akhir (finished products) seperti farmasi, kosmetik, dan healthy food and bevareges → lalu diekspor ke Indonesia. Contoh: gamat, squalence, minyak ikan, dan Omega-3.

Tidak kalah rumitnya, kata Prof. Rokhmin Dahuri, adalah permasalahan dan tantangan ketahanan pangan. Yaitu: 1. Mayoritas buruh tani, peternak, nelayan ABK, dan produsen pangan lainnya masih miskin;

2. Sebagian besar usaha (bisnis) masih tradisional, tidak menerapkan: (1) economy of scale, (2) Integrated Supply Chain Management System, (3) teknologi terbaik dan mutakhir, dan (4) prinsip pembangunan ramah lingkungan dan berkelanjutan (RTRW, pengendalian pencemaran, dan konservasi biodiversity);

3. Hampir semua perusahaan pangan besar dan modern yang menerapkan keempat prinsip diatas tidak bekerjasama dengan UMKM bidang pangan; 4. Porsi keuntungan terbesar dalam usaha di sektor pangan bukan dinikmati oleh petani dan nelayan (usaha on-farm), tetapi oleh pengusaha industri pengolahan dan pemasaran.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan ketimpangan sosial-ekonomi yang sangat buruk dan mengkhawatirkan di Indonesia disebabkan oleh dua faktor penyebab utama. Pertama adalah fakta bahwa kebanyakan perusahaan besar (konglomerat) di bidang pertambangan, perkebunan, properti, industri manufaktur, dan lainnya sampai saat ini menggaji karyawan (buruh) nya masih rendah, tidak melebihi upah minimum regional (UMR).

Sebagai catatan, UMR tertinggi di 34 propinsi di Indonesia adalah DKI Jakarta sebesar Rp 3,4 juta/bulan. Padahal, pendapatan (income) minimal yang mensejahterakan adalah 300 dolar AS atau Rp 4,2 juta per bulan.

Dibandingkan dengan tahun 2020, pada utama distribusi perdagangan beras 2021 dari produsen sampai konsumen akhir putus satu rantai pendistribusiannya hanya melewati satu pedagang yakni pedagang eceran. Terjari penurunan MPP Total 2021 dibandingkan 2020 dikarenakan distributor tidak lagi menjadi pola utama distribusi perdagangan beras di Indonesia.

Untuk bisa berjualan perusahaan harus punya ijin. 1. NIB, 2. IUI, 3. ISO, 4. Test Report, 5. TKDN, 6. SNI, 7. NPWP, 8. Surat keterangan Domisili, 9. Patent Merek, 10. IMB, 11. Terdaftar di BPJS Ketenaga kerjaan, 12. UKL-UPL, 13. SIPA (surat Ijin Pemanfaatan Air), 14. Amdal Lalin bila lokasi pabrik berada di tepi Jalan Raya.

Adapun hambatan dalam pengembangan industri alsintan pertanian dalam negeri: 1. Pendirian Badan Khusus: Untuk pembinaan, pengawasan, riset, dan penyediaan pasar bagi produk Alat Mesin Pertanian (Alsintan) dalam negeri.

2. Komunikasi dengan Instansi Pemakai: Memastikan koordinasi yang efektif antara produsen Alsintan dan instansi pemerintah yang membutuhkan mesin pertanian.

3. Regulasi Pemberitahuan Kebutuhan: Industri dalam negeri perlu diberitahu tentang kebutuhan mesin pertanian pemerintah minimal 6 bulan sebelumnya agar dapat mempersiapkan produksi.

4. Dampak pada Industri Lokal: Pentingnya belanja pemerintah untuk merangsang kemajuan industri dalam negeri dan menciptakan lapangan pekerjaan.

5. Komitmen Pemerintah: Kejelasan dan realisasi janji pemerintah dalam pembelian produk Alsintan lokal untuk mendukung industri pertanian nasional.

6. Hilirisasi komoditas pangan masih rendah, sebagian besar bahan pangan diekspor dalam bentuk raw materials -> nilai tambah nya rendah, kurang menghasilkan multiplier effects, kurang tahan lama, dan sukar didistribusikan

7. Luas lahan pertanian dan luas lahan usaha semakin menyusut akibat alih fungsi lahan → luas lahan pangan dan luas lahan usaha pangan (land to man ratio) semakin menurun, economy of scale tidak terpenuhi, volume produksi terancam, dan petani & nelayan miskin.

8. Kebanyakan UMKM bidang pangan mengalami kesulitan dalam mendapatkan sarana produksi yang berkualitas, harga relatif murah, dan kuantitas mencukupi

9. Produksi bibit dan benih unggul, dan pakan berkualitas, tidak mencukupi. Padahal, >60% keberhasilan usaha pangan ditentukan oleh faktor tersebut. Di usaha perikanan budidaya dan peternakan, 60% biaya produksi untuk pakan.

10. Tidak ada jaminan (kepastian) pasar dengan harga yang sesuai nilai keekonomian bagi komoditas hasil panen petani dan nelayan UMKM.

11. Infrastruktur dasar dan infrastruktur pertanian, baik secara kuantitas maupun kualitas kurang memadai

12. Mafia pangan, yang ingin nya hanya impor pangan untuk meraup keuntungan maksimal, tanpa peduli dengan kedaulatan pangan nasional dan kesejahteraan petani dan nelayan Indonesia

13. Dampak Perubahan Iklim Global (suhu bumi naik, heat waves, cuaca ekstrem (prolonged La-Nina, ElNino), kenaikan muka laut, ocean acidification), gempa bumi, tsunami, dan bencana alam lainnya

14. Alokasi kredit perbankan untuk sektor pangan masih rendah, suku bunga tinggi, dan persyaratan terlalu ketat.

15. Pada umumnya kualitas SDM (knowledge, skills, dan etoskerja) relatif masih rendah, dan mengalami ‘penuaan’ (aging-agricultural population)

16. Kebijakan politik-ekonomi (moneter, fiskal, RTRW, dan iklim investasi) kurang kondusif dan atraktif

Selain itu, 1. Kurangnya kesadaran pemegang kebijakan di berbagai kementerian dan daerah, 2. Kebutuhan menjalankan amanat Inpres No. 2 Tahun 2022 tentang penggunaan produk dalam negeri, 3. Menghambat pertumbuhan industri alat dan mesin pertanian dalam negeri, seperti combine harvester kecil, 4. Mahalnya biaya sertifikasi dan banyaknya jenis perijinan.

Sedangkan rekor impor beras dan darurat alih fungsi sawah, yakni: Terjadi jatuhnya produksi beras nasional secara signifikan. Jan-Jul 2023: 21,11 juta ton Jan-Jul 2024: 18,64 juta ton ↓13,3% 2,47 juta ton. diklaim akibat El Nino yang bermula sejak Juni 2023

Berpotensi mengimpor beras hingga 5,17 juta ton (2024). Jan-Apr 2024 : 1,77 juta ton Mei-Des 2024 : 3,40 juta ton. Rencana impor ini akan mengantarkan Indonesia menjadi negara importir beras terbesar di dunia, mengalahkan Filipina (4 juta ton/tahun).

Alih Fungsi Lahan Sawah: Luas panen padi di Indonesia 11,38 juta ha (2018) dan 10,21 juta ha (2023) → ↓ 10,28% selama 6 tahun. Di 8 provinsi sentra beras (Sumbar, Banten, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, dan NTB) Luas LBS : 3,97 juta ha (2019) Luas LSD : 3,84 juta ha (2021) 136.000 ha mengalami konversi

Dibanding 2012 penggilingan padi berkurang lebih dari 12.000, atau 6,81%. Kecil 169.033 menjadi 161.401 (4.52%), menengah 8.624 menjadi 7.332 (14,98%), Besar 2.075 menjadi 1.056 (49,11%)

Selanjutnya, anggota Dewan Pakar MN-KAHMI itu menegaskan, Indonesia perlu menerapkan pembangunan perikanan budidaya yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan. Menurutnya, tantangan penguatan industri kelautan dan perikanan di Indonesia, diantaranya suku bunga pinjaman bank masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain, dan fungsi intermediasi (alokasi kredit) untuk sektor tersebut sangat rendah.

Ia menjelaskan, dari total alokasi kredit perbankan nasional, pinjaman yang diberikan ke sektor kelautan dan perikanan hanya mencapai sekitar 0,29 persen dari total nilai pinjaman Rp2,6 triliun. Sementara alokasi kredit tertinggi diberi ke sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 26,94 persen.

Di sisi lain, Indonesia masih menjadi negara dengan pemberi suku bunga pinjaman tertinggi, yaitu sebesar 12,6 persen, dibanding beberapa negara Asia, seperti Vietnam (8,9 persen),  Filipina (7,1 persen), Brunei Darussalam (5,5 persen),  Singapura (5,3 persen), Malaysia (3,4 persen), Thailand (3,1 persen).  “Konsekuensinya, nelayan dari negara tersebut lebih kompetitif dibanding Indonesia,” sebut Prof. Rokhmin Dahuri.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER