MONITOR, Jakarta – Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 mengungkapkan pemerintahan Prabowo akan menambah pembiayaan utang sebesar Rp775,87 triliun di tahun pertama kepresidenan. Penambahan utang ini akan menjadi penambahan terbesar dalam sejarah Indonesia di luar tahun pandemi 2020—2021.
“Hal ini sangat ironis mengingat tema kebijakan fiskal 2025 dinamai pemerintah sebagai ‘Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan’. RAPBN 2025 sama sekali tidak menunjukkan adanya perubahan paradigma kebijakan fiskal yang lebih berkelanjutan,” ungkap Awalil Rizky, Ekonom Senior Bright Institute dalam acara Reviu RAPBN: Ngegas Utang 2025 di Jakarta, Selasa (2/8/2024).
Postur RAPBN 2025 merencanakan kenaikan belanja cukup pesat, melampaui target laju kenaikan pendapatan sehingga defisit diproyeksikan akan melebar baik secara nominal dan rasio atas Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio utang terhadap PDB per Juli 2024 adalah 38,68%. Dengan penambahan utang di RAPBN 2025, rasio ini diproyeksikan akan meningkat menjadi 39,51%.
Penarikan utang ini akan semakin meningkatkan rasio utang pemerintah dibandingkan pendapatan negara yang selama era Jokowi meningkat dari 168,27% di 2014 menjadi 315,81% di 2024. Mengikuti RAPBN 2025, rasio ini akan meningkat lagi menjadi 321,15%.
Pembayaran bunga utang pun akan semakin meningkat. Porsi pembayaran bunga utang terhadap seluruh belanja pemerintah pusat terus meningkat di era Jokowi dari 9,94% di tahun 2014 menjadi 19,50% di 2024. Nilainya akan melampaui 20% menjadi 20,53% di 2025 berdasarkan RAPBN.
“Dengan RAPBN ini, pemerintah diprakirakan akan membayar Rp650 triliun pokok utang dan bunga utang sebesar Rp552,85 triliun, ” jelas Awalil.
Awalil menambahkan, risiko kenaikan defisit RAPBN 2025 cukup besar oleh karena potensi melesetnya asumsi dasar ekonomi makro, sehingga pembiayaan utang melebihi yang direncanakan. Bahkan, risiko penambahan posisi utang masih bisa meningkat karena risiko pelemahan nilai tukar. “Asumsi dasar ekonomi makro untuk tahun 2025 yang pernah diproyeksikan pada Nota Keuangan tahun 2022, 2023, dan 2024 hampir seluruhnya meleset dari perkembangan saat ini. Asumsi yang dipakai RAPBN 2025 lebih buruk dari proyeksi Nota Keuangan tahun-tahun terdahulu.”, tuturnya.
Asumsi dasar ekonomi makro jangka menengah untuk tahun 2026 hingga 2028 pada RAPBN 2025 juga dinilai Awalil tidak realistis dan kembali mengikuti tren RAPBN tahun-tahun sebelumnya yang kerap luput dari realisasi. Dalam RAPBN 2025, nilai tukar rupiah diprediksi akan berada di rentang Rp14.800—15.400/US$ di tahun 2029, dan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,8—6,6%. “Andai terealisasi pun, masih jauh dari angka 8% seperti harapan Prabowo”.
Sementara itu Faisal Basri, Ekonom Senior dan Pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyayangkan tren pertumbuhan utang yang semakin bengkak selama ini tidak menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang sama tingginya pula.
“Kok utang tambah banyak tapi pertumbuhan ekonomi turun. Era SBY. pertumbuhannya 6%, era Jokowi 5%. Di era Jokowi 5% terus. Katanya berutang itu untuk mempercepat pembangunan,” kata Faisal.
Faisal pun menunjukkan daftar studi internasional yang meneliti hubungan antara utang negara dengan pertumbuhan ekonomi. Dari 24 studi yang dipaparkan, hampir seluruhnya menunjukkan pengaruh yang justru negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan hanya dua yang no effect atau tidak memiliki pengaruh.
Analisis yang dilakukan Bright Institue menemunkan bahwa RAPBN 2025 memiliki permasalahan-permasalahan yang umum ditemukan dalam pengelolaan APBN selama era Jokowi, dengan poin-poin seperti berikut:
Fiskal ekspansif sebagai alasan defisit yang lebar; namun detail ekspansif ini tak tergambar dalam perincian. Defisit yang kembali melebar, dengan laju kenaikan belanja melebihi laju kenaikan pendapatan. Ruang fiskal akibatnya semakin menyempit.
Pembiayaan utang lanjut meningkat melebihi defisit karena besaran pengeluaran pembiayaan.
Penarikan utang baru cenderung makin besar diperlukan untuk pelunasan utang lama, pembayaran bunga utang, menutupi defisit dan pengeluaran pembiayaan. Pendapatan negara melambat laju kenaikannya, kurang memiliki struktur yang kuat, berisiko dalam berkelanjutannya, masih sangat terpengaruh dinamika global.
Belanja Negara meningkat terlampau cepat, tidak efisien dan kurang efektif
Pembiayaan Non Utang terindikasi kurang terkontrol dengan baik, yang dilihat dari pengeluaran investasi, PMN kepada BUMN, serta investasi non permanen.
Pengelolaan APBN terindikasi mengutak-atik nomenklatur dan narasi berlebihan, yang kurang didukung oleh pelaksanaan yang konsisten Narasi APBN dari pemerintah cenderung memakai nilai input; tidak mengedepankan output, apalagi outcome dan impact. Output yang diutarakan memilih yang tampak mengesankan.
Ada masalah besar dalam “business process” kebijakan fiskal. Salah satu di antaranya adalah kementerian keuangan memiliki kewenangan yang terlampau tinggi namun terindikasi dikelola dengan perspektif jangka pendek.