MONITOR, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan mengenai aturan pada Undang-undang Pilkada yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Komisi II DPR RI menilai, keputusan MK tersebut dapat menghindari fenomena melawan kotak kosong dan politik transaksional dalam pilkada.
“Saya mengapresiasi dengan adanya putusan MK ini yang meminimalisir kemungkinan calon di pilkada menghadapi kotak kosong. Sehingga pilkada serentak yang akan dihelat 27 November mendatang akan lebih akuntabel dan demokratis,” ujar anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus, Rabu (21/8/2024).
Penurunan ambang batas partai dalam mencalonkan kepala daerah diputuskan MK melalui putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Pada aturan baru ini, MK mengubah aturan pada Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur ambang batas perolehan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen akumulasi perolehan suara sah Pileg DPRD di daerah terkait.
Dengan putusan MK, ambang batas pengajuan paslon yang akan berkontestasi dalam Pilkada serentak berubah dari 20 persen menjadi mulai dari 6,5 persen sampai paling tinggi 10 persen yang diklasifikasikan berdasarkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) masing-masing Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Melalui aturan baru MK, artinya akan banyak partai berpeluang mengajukan paslon sendiri sehingga masyarakat dimungkinkan memiliki banyak variasi calon karena partai politik atau gabungan partai politik bisa mengusung paslon dalam Pemilihan kepala Daerah tingkat Provinsi sampai Kabupaten dan Kota didasarkan presentase dari jumlah Daftar Pemilih Tetap. Guspardi juga menilai putusan MK menghindari transaksional partai politik.
“Putusan MK yang memutuskan cara mengajukan calon dari partai politik di Pilkada, ini tentu akan bisa memberikan pilihan-pilihan kepada banyaknya varian-varian calon yang diajukan oleh partai politik karena memang ketentuan-ketentuannya sangat memberikan dampak positif,” paparnya.
“Dengan aturan ini artinya transaksional oleh partai politik yang tidak sesuai dengan demokrasi mudah-mudahan bisa dikurangi,” lanjut Guspardi.
Dengan ambang batas atau threshold berkisar antara 6,5 sampai 10 persen, Guspardi menilai hal tersebut memberikan kesempatan lebih terbuka kepada partai maupun pasangan calon untuk berkontestasi dalam pilkada.
“Putusan MK ini merupakan terobosan yang luar biasa dalam upaya menciptakan pemilu yang lebih demokratis dalam berbagai aspek,” kata Legislator asal Sumatera Barat II itu.
“Paslon yang akan bertarung tentunya akan lebih banyak dan masyarakat juga mempunyai ruang aspirasi dan pilihan yang lebih beragam dalam menentukan pilihannya untuk memilih calon kepala daerah,” sambung Guspardi.
Komisi II DPR yang bermitra dengan KPU itu meminta agar segera dilakukan penyesuaian aturan terkait pencalonan kepala daerah pada Pilkada Serentak 2024 ini. Guspardi menegaskan, KPU harus secepat mungkin melakukan revisi terhadap Peraturan KPU (PKPU) tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota agar disesuaikan dengan amanat keputusan MK.
“Kami minta KPU untuk segera sesuaikan aturan dengan keputusan MK,” tegasnya.
Guspardi mengungkap, Komisi II DPR akan menggelar rapat dengan KPU dan perwakilan Pemerintah dalam waktu dekat untuk membahas lebih detail terkait dengan perubahan aturan itu mengingat pendaftaran calon yang akan berlaga di Pilkada sudah tinggal menghitung hari.
“Kami di Komisi II siap mengadakan rapat dengan KPU dan pemerintah dalam rangka mengubah PKPU. Insyaallah hari Sabtu 24 Agustus karena Komisi II sudah mengagendakan konsinyering dengan KPU membahas PKPU tentang logistik pemilu. Kita akan sekalian bahas putusan MK terbaru ini,” urai Guspardi.
Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut, MK juga memberikan rincian ambang batas atau threshold yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota).
Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur. Serta calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota.
Tak hanya soal aturan ambang batas pencalonan, MK juga memutuskan gugatan soal syarat usia calon kepala daerah. MK menolak gugatan mengenai pengujian ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
Terkait aturan ini, MK menegaskan syarat usia calon kepala daerah dihitung sejak penetapan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah oleh KPU. Penegasan MK ini berkebalikan dengan tafsir hukum yang dilakukan Mahkamah Agung (MA) belum lama ini.
Melalui putusan nomor 24 P/HUM/2024, MA mengubah syarat usia calon dari sebelumnya dihitung dalam Peraturan KPU (PKPU) saat penetapan pasangan calon, menjadi dihitung saat pelantikan calon terpilih. PKPU itu merupakan aturan teknis dari UU Pilkada.
Adapun aturan soal syarat maju calon kepala daerah tertuang dalam UU Pilkada Pasal 7 ayat (2) huruf e. UU Pilkada mengatur mengenai mekanisme pencalonan dan syarat batas usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wali kota.