MONITOR, Jakarta – Sebagai keluarga Kementerian Agama, saya berbangga melihat Gusmen, Yaqut Cholil Qoumas, dengan penuh kewibawaan menerima Tanda Kehormatan “Bintang Mahaputera Utama” di Istana Negara yang diserahkan langsung Presiden Joko Widodo, pada Rabu, 14 Agustus 2024.
Betapa tidak. Sesuai pasal 28 UU Nomor 20 Tahun 2009, Bintang Mahaputera Utama ini hanya diberikan kepada orang yang memenuhi persyaratan: 1) berjasa luar biasa di berbagai bidang yang bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan negara; 2) pengabdian dan pengorbanannya di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan beberapa bidang lain yang besar manfaatnya bagi bangsa dan negara; dan atau 3) darma bhakti dan jasanya yang diakui secara luas di tingkat nasional dan internasional.
Gusmen Yaqut Cholil Qoumas, pasti telah memenuhi kriteria tersebut yang memungkinkannya menerima Tanda Penghargaan tertinggi negara itu. Maka “Mari menari! Mari beria!”
Kita bersuka, kita bergembira karena Bintang Mahaputera Utama yang diterima Gusmen itu penuh suspens. Ia memukau dan menarik ingin. Sekaligus juga memeteraikan sebuah kisah sebagai post factum bahwa Tanda Kehormatan ini adalah juga kehormatan bagi kerukunan umat.
Tanda kehormatan ini tentu tidak terlepas dari kepercayaan yang diberikan Presiden yang memberi kepercayaan saya untuk mengabdi kepada bangsa dan negara dengan memimpin Kementerian Agama,” katanya di Jakarta usai menerima Bintang Kehormatan ini. “Sesuai namanya, Tanda Kehormatan, saya kira penghargaan ini bukan untuk saya pribadi, tapi sebuah kehormatan untuk kerukunan Indonesia.”
***
Pernyataan Gusmen ini tampaknya sederhana saja, bahkan mengesankan klise, namun tak sesederhana seperti yang dibayangkan. Agar dapat mengajukan pernyataan ini dibutuhkan sebuah kompetensi etis, yaitu bela rasa atau compassion.
Pribadi yang tidak memiliki kompetensi etis ini tidak akan mampu membiarkan pernyataan ini muncul dari dalam sanubarinya. Dia akan melihat Tanda Kehormatan ini sebagai kebanggaan pribadi semata.
Kompetensi etis ini melahirkan kesadaran akan kompetensi etis lainnya yaitu Kerjasama. Kerjasama bukan sekadar ketrampilan praktis, melainkan kompetensi etis. Kalau bersaing apalagi konflik tak perlu latihan. Tapi untuk kerjasama dan berkolaborasi kita perlu terus melatih diri kita, jiwa kita, roh kita.
Tantangan kehidupan beragama terlalu banyak dan terlalu berat untuk kita hadapi atau atasi sendiri-sendiri. Diperlukan kerjasama yang benar-benar kokoh dengan landasan yang kokoh pula.
Masalahnya adalah: Bagaimana pertanyaan “apa yang harus kita lakukan” itu dapat kita jawab?
Sejak ditunjuk menjadi Menteri Agama oleh Presiden Joko Widodo pada 23 Desember 2020, Gusmen tampil dengan elegan: Agama harus dikembalikan ke fitrahnya sebagai basis inspirasi dan bukan aspirasi.
Gusmen sepertinya melihat bahwa dalam sejarah panjang kehidupan berbangsa dan bernegara, agama sering sekali dijadikan sebagai aspirasi politisasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Kini waktunya untuk menyadarkan dan mencerahkan masyarakat dengan ajaran-ajaran yang mencerdaskan.
Dalam pidato perdananya sebagai Menteri Agama pada HAB Kementerian Agama ke-75, 3 Januari 2021, dengan tema Indonesia Rukun, Gusmen menggelorakan semangat Kementerian Agama baru dan semangat baru dalam mengelola Kementerian Agama. Salah satu kata kunci nya adalah: Persaudaraan, yang meliputi merawat persaudaraan umat seagama, memelihara persaudaraan sebangsa dan setanah air dan mengembangkan persaudaraan kemanusiaan.
Di tengah fenomena radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang menyeruak, juga nasionalisme yang sempit, Gusmen terpanggil untuk memberikan testimoni, memberikan kesaksian mengenai fitrah agama yang mengedepankan spirit persaudaraan universal. Jika spirit persaudaraan mulai meresap dan membekas di setiap sanubari hati, maka ajakan apa pun untuk menjadikan agama sebagai aspirasi akan terpental.
Semangat baru ini menandakan bahwa kita tidak cukup hanya hidup bertetangga, tetapi perlu menjadi saudara, yang musti bertanggungjawab atas yang lain sebagai saudara. “Human Fraternity For World Peace And Living Together”, nama dokumen bersama Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayeb yang ditandatangani pada 4 Februari 2019 di Abu Dhaby.
Saya kira inilah yang menjadi orientasi Gusmen dalam memimpin Kemenag dan berjalan bersama umat beragama di seluruh Indonesia.
Sepanjang jejak kepemimpinannya, kita seperti menemukan bahwa Gusmen selalu berusaha membudayakan kerangka pikir, pola sikap dan struktur yang mendorong kita untuk membangun kerukunan dan bekerjasama dengan orang-orang yang berbeda agama dan keyakinan yang diikat oleh kasih persaudaraan.
Setelah mencanangkan ‘Indonesia Rukun’ di tahun 2021, dalam peringatan HAB ke 76, tahun 2022 Gusmen merasa perlu melakukan Transformasi Layanan Umat. Setelah membenahi penata-layanan Kemenag, tahun 2023, Gusmen kembali memperkuat basis “Kerukunan Umat untuk Indonesia Hebat.”
Tekad ini meyakinkan kita bahwa kerukunan beragama tidak boleh dan bisa lagi hanya sekadar dipahami secara negatif sebagai kondisi tidak adanya pertentangan atau konflik yang berkepanjangan. Kerukunan harus dihayati dan dipahami secara positif sebagai suasana di mana orang saling memahami, saling menghargai dan sanggup menyelesaikan perbedaan di antara mereka secara damai.
Kerukunan yang positif ini hanya terjadi dalam suasana kebebasan dan perikemanusiaan yang adil dan beradab. Tanpa ini kerukunan umat untuk Indonesia tidak lebih dari kehidupan berdampingan yang dipaksanakan.
Dan di tahun terakhir kabinet Jokowi-Amin, pada perayaan HAB ke-78, 3 Januari 2024, Gusmen mendaulat keyakinannya bahwa Indonesia Hebat, Indonesia Emas hanya bisa terwujud kalau bersama umat. Indonesia Hebar Bersama Umat.
Dengan tema ini Gusmen seakan ingin mewariskan sebuah kesadaran baru kepada kita bahwa untuk membangun kerukunan sejati, tidak cukup dengan slogan. Dibutuhkan aksi nyata seluruh jajaran Kementerian Agama untuk beralih dari the ethics of obedience to the ethics of responsibility. Dari mentalitas tunggu komando kepada kreatifitas dan inisiatif yang diambil dari kekayaan spiritual dan teologi masing-masing agama. Karena etika tanggungjawab adalah kita semua sebagai khalifah di muka bumi ini.
Agama memang sangat mudah dilukai namun sangat sulit disembuhkan. Butuh waktu yg sangat lama untuk pemulihan. Karena itu kemilau Bintang Gusmen sekaligus juga menjadi psikologi harapan umat bagi Kemenag.
Dengan kedudukannya yang amat penting dan inheren dengan kehidupan umat, Kementerian Agama tidak hanya sekadar memberikan jaminan keamanan dan perlindungan agar semua agama yang ada di Indonesia bisa mereproduksi diri secara wajar, tetapi juga, dan ini yang penting, adalah menjaga supaya jangan ada luka di antara umat beragama.
Jika ini mampu dilakukan maka Kementerian Agama tidak hanya membuat Indonesia menjadi my lovely country, tetapi juga menjadi polis, kota glocal yang teramat aman dan nyaman bagi semua umat yang mendiami negeri ini, karena dapat merasakan indahnya janji dan harapan.
Penulis: JB Kleden (Dosen IAKN Kupang)