MONITOR, Jakarta – Tanggal 12 Agustus 1902 Dr. Mohammad Hatta yang populer dipanggil Bung Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat. Sejarah menempatkan Bung Hatta sebagai salah satu pemimpin bangsa, negarawan dan Proklamator Kemerdekaan Bangsa bersama Bung Karno (1901 – 1970), dan sebagai Wakil Presiden Pertama. Teks Proklamasi 17 Agustus 1945 didiktekan oleh Bung Hatta kepada Bung Karno yang menuliskannya di atas secarik kertas.
Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono sewaktu pembukaan Sekolah Pemikiran Bung Hatta Angkatan I, 15 Agustus 2024 menuturkan, ayahnya seorang yang konsisten dalam pemikiran tentang Indonesia. Menurut Bung Hatta, sebagaimana diungkapkan Meutia Hatta, supaya rakyat Indonesia hidup bahagia, harus dilindungi oleh negara, disediakan kebutuhan hidupnya dan ada kedamaian. Bung Hatta adalah konseptor pasal 33 dan 34 Undang-Undang Dasar 1945 mengenai kesejahteraan sosial. Ia juga ikut merumuskan pasal 18, 27 dan 28 mengenai pemerintahan, hukum dan hak-hak warga negara.
Bung Hatta berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka sejak usia muda, baik di Tanah Air maupun di negeri penjajah sewaktu menuntut ilmu di Rotterdam. Bung Hatta mengalami masuk penjara kolonial Hindia Belanda hingga diasingkan ke Boven-Digul dan Banda Neira di pedalaman terjauh Kawasan Timur Indonesia karena aktivitas pergerakannya membahayakan stabilitas pemerintahan kolonial.
Dalam pidato pembelaannya di Pengadilan Belanda di Den Haag (1928) berjudul Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka), Bung Hatta mengatakan, “Bersama rakyat, kami akan dihukum, atau kami akan dibebaskan. Karena bersama dengan rakyat itu kami mendapat kehormatan, dan bersama dengan rakyat kami akan tenggelam….”
Sejarah mengenang Bung Hatta sebagai tokoh besar dan salah satu founding fathers negara Indonesia. Dalam segala tindakan dan keputusannya Bung Hatta tidak pernah tersandera dengan kepentingan pribadi. Ia adalah pemimpin yang bersih, jujur dan sederhana.
Dwitunggal Soekarno-Hatta
Republik Indonesia pernah memiliki Dwitunggal Soekarno-Hatta, simbol kepemimpinan yang menyatukan bangsa dari Sabang sampai Merauke. Dwitunggal Soekarno-Hatta hanya sekali dalam sejarah, dari 1945 hingga 1956.
Dalam memimpin negara di masa itu Presiden Soekarno lebih banyak berperan sebagai man of action, sedangkan Wakil Presiden Mohammad Hatta adalah man of substance. Menurut Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, Bung Hatta juga seorang man of action, tetapi yang sering melakukan reflection.
Pada 1 Desember 1956, karena alasan yang bersifat prinsip Bung Hatta meletakkan jabatan Wakil Presiden RI. Dalam kedudukan sebagai rakyat biasa, Bung Hatta tetap memberikan perhatian dan pemikirannya untuk kebaikan bangsa yang dicintainya. Bung Karno dan Bung Hatta, meski dalam dekade 50-an berselisih pendapat menyangkut strategi politik, tapi hubungan pribadi mereka tetap akrab. Bapak Bangsa itu kadang berjumpa dan berbicara empat mata mengenai persoalan negara di rumah Bung Hatta dan di Istana Negara.
Sikap yang langka, kecuali pada negarawan sekelas Bung Hatta, ketika diminta menjadi komisaris perusahaan negara atau BUMN, Bung Hatta tidak bersedia, ia lebih memilih memenuhi permintaan mengajar sebagai dosen terbang di perguruan tinggi seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin, Universitas Padjajaran, Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat dan membimbing kelompok diskusi rutin mahasiswa Universitas Indonesia (UI).
Dalam buku Mengenang Bung Hatta (1988) karya I. Wangsa Widjaja, mantan Sekretaris Wakil Presiden dan Sekretaris Pribadi Bung Hatta diceritakan, dua hari sebelum Bung Karno wafat tahun 1970, Bung Hatta menjenguknya di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Kesadaran Bung Karno saat itu sudah menurun. Ia tiba-tiba siuman dan berucap pelan dalam bahasa Belanda yang artinya, “Oo Hatta, kau ada disini. Kau juga Wangsa.” Bung Hatta menjawab, “Ya, sudahlah. Kuatkan hatimu, tawakal saja pada Allah. Saya doakan agar lekas sembuh.”
Prof. Dr. Emil Salim selaku Ketua Dewan Redaksi Karya Lengkap Bung Hatta (Penerbit LP3ES, edisi pertama jilid 1 tahun 1998) dalam pengantarnya mengemukakan apabila kita kini – dalam perjalanan kehidupan bangsa – mengalami berbagai krisis dan kesulitan, maka timbul kebutuhan untuk menggali kembali sumber-sumber inspirasi kemerdekaan dari para Bapak-Ibu Pendiri Republik Indonesia untuk dijadikan masukan bagi pemantapan orientasi ke arah cita-cita kemerdekaan semula. Emil Salim melukiskan kepemimpinan Bung Hatta yang sudah langka ditemukan kini. Pemimpin yang berjuang tanpa pamrih. Pemimpin yang memulai dan mengakhiri hidup dalam serba kesederhanaan.
Pembinaan Bangsa
Semasa memperdalam ilmu ekonomi di Handels Hooge School Rotterdam Belanda dan mempelajari ilmu hukum konstitusi, Bung Hatta memimpin organisasi Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda yang waktu itu menjajah Indonesia. Sepulang ke tanah air, ia menjadi Ketua Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-baru) menggantikan Sutan Sjahrir yang melanjutkan pendidikan ke Belanda.
Sebagai pemimpin pergerakan kemerdekaan Bung Hatta sering menulis dan berpidato guna membangun kesadaran berkebangsaan. Tulisan Bung Hatta sejak dekade 1920-an dimuat di majalah dan surat kabar Daulat Ra’jat, Persatoean Indonesia, Panji Islam, Hindia Poetra, Islam dan Masjarakat, dan lain-lain.
Dalam ceramahnya pada Kursus Liburan Internasional yang diadakan oleh Liga Wanita Internasional tahun 1927 di Gland, Swiss, Bung Hatta mengatakan, nama “Indonesia” bagi kami adalah lambang suci bagi sebuah negeri yang pada masa depan akan merdeka. Untuk mencapai cita-cita ini kami sekarang sedang berjuang melawan imperialis Belanda dan mengurbankan kepentingan pribadi kami.
Sebagai pendidik bangsa ia menaruh perhatian besar pada pendidikan karakter, di samping peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Dalam Kumpulan Karangan jilid IV, Bung Hatta menjelaskan bahwa seseorang boleh jadi jenius atau berbakat tetapi tidak mempunyai karakter, tidak mempunyai kemauan untuk membela bangsanya. Kejeniusan yang tidak dipergunakan untuk kepentingan umum hanya menjadi perhiasan orang itu saja, sedangkan masyarakat umum tidak mendapat hasil dari kecerdasannya itu.
Seumur hidupnya Bung Hatta menentang segala bentuk korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Mengenai bahaya korupsi ia mengatakan, “Korupsi harus dibasmi dengan tiada pandang bulu.” Jika melihat sesuatu yang menyimpang dan berlawanan dengan hati nurani, Bung Hatta memberi teguran dan nasihat dengan cara terhormat dan bijaksana.
Pada Hari Alumni I Universitas Indonesia tanggal 11 Juni 1957 Bung Hatta dalam pidatonya mengatakan, “Pangkal segala pendidikan karakter ialah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar. Kurang kecerdasan dapat diisi, kurang karakter sukar memenuhinya, seperti ternyata dengan berbagai bukti di dalam sejarah. Ilmu dapat dipelajari oleh segala orang yang cerdas dan tajam otaknya, akan tetapi manusia yang berkarakter tidak diperoleh dengan begitu saja.”
Dalam hal ketertiban dan kedisiplinan, Bung Hatta semasa hidupnya adalah tokoh yang tertib dan disiplin, terutama disiplin waktu, di atas rata-rata orang Indonesia. Sikap disiplin Bung Hatta tidak hanya menyangkut aspek kehidupan duniawi, tetapi juga disiplin dalam beribadah.
Bapak Kedaulatan Rakyat
Dalam brosur Bung Hatta, Kearah Indonesia Merdeka ditulis tahun 1932 di Negeri Belanda, digambarkannya bentuk negara, tata politik dan ekonomi setelah Indonesia merdeka dari penjajahan.
Bung Hatta adalah pemikir dan perumus “Kedaulatan Rakyat” yang menjadi dasar utama demokrasi Indonesia. Konsepsi Kedaulatan Rakyat berbeda dari Volksouvereiniteit di negara-negara Barat yang hanya mencakup demokrasi politik saja. Kedaulatan rakyat yang digagas Bung Hatta mencakup demokrasi ekonomi.
Melalui tulisannya untuk penerbitan pertama Majalah Daulat Ra’jat, Edisi 1, tanggal 20 September 1931, Bung Hatta menyampaikan persoalan yang amat mendasar tentang kedudukan rakyat dalam Indonesia yang kelak akan menjadi negara merdeka. Di dalam tulisannya Bung Hatta berbicara tentang kedaulatan rakyat dan bedanya dengan demokrasi Barat maupun feodalisme di Indonesia yang tumbuh merebut daulat rakyat selama berabad-abad.
Bung Hatta menegaskan rakyat adalah jantung demokrasi. Sejak zaman kolonial ia juga mengingatkan bahwa demokrasi bisa membunuh demokrasi bila tidak dijalankan dengan benar. Oleh karena itu Bung Hatta memunculkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Bung Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden bulan November 1945 mengenai kepartaian agar Indonesia tidak menjadi negara kekuasaan.
Dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia tanggal 30 Agustus 1975 Bung Hatta mengucapkan pidato yang berjudul “Menuju Negara Hukum”. Ia antara lain menandaskan, semakin bertambah keinsafan hukum dalam masyarakat, semakin dekat kita pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna. Sejalan dengan tumbuhnya perasaan negara hukum itu, akan berlaku apa yang ditulis Prof. H. Krabbe dalam bukunya yang tersohor Die Lehre der Rechtssouveranitat bahwa kedaulatan hukum akan menggantikan kekuasaan penguasa.
Salah satu tujuan bernegara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Apa yang dimaksud dengan mencerdaskan kehidupan bangsa? Bung Hatta menjelaskan saat ditanya putrinya Meutia Farida Hatta Swasono, “….agar bangsa Indonesia tidak berjiwa Inlander.”
Mengenai pemimpin, menarik direnungkan pernyataan Bung Hatta dalam Daulat Ra’jat, 30 Desember 1933 dan dimuat kembali dalam Karya Lengkap Bung Hatta Buku 1 bahwa nasib dan derajat seorang pemimpin bergantung kepada waktu dan tempat. Waktu dan tempat itulah yang menentukan, apakah ia penjahat ataukah pahlawan, apakah ia pengganggu ketenteraman umum ataukah pembela dan penganjur kemanusiaan. Ia dipandang jahat dan berbahaya selama ia dalam oposisi atau selama negerinya belum merdeka. Serentak ia beroleh kemenangan atau naik memegang tampuk kekuasaan negeri, serentak itu juga ia bernama pahlawan dan pembela, dari segala pihak ia mendapat kehormatan.
Politik Perekonomian Negara
“Pembangunan ekonomi tujuannya adalah memperbesar kemakmuran rakyat. Bukan hanya kemakmuran sebagian rakyat saja, melainkan seluruh rakyat,” pesan ini disampaikan Bung Hatta sewaktu penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Hasanuddin pada 10 September 1974. Menurut Bung Hatta, pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan fondasi politik perekonomian negara kita menuju kemakmuran.
Dalam Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945 tahun 1977 dan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) tahun 1979, dikemukakannya, apabila kita pelajari pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 nyatalah bahwa yang diurusnya ialah politik perekonomian Republik Indonesia. Isinya sebagai berikut:
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tentang ayat 1 Pasal 33 UUD 1945, substansinya menurut Bung Hatta ialah koperasi. Perkataan koperasi memang tidak disebut dalam Pasal 33, tetapi asas kekeluargaan itu ialah koperasi.
Koperasi adalah bangun organisasi ekonomi yang dituntut oleh Undang-Undang Dasar Negara kita. Koperasi harus menjadi dasar perekonomian rakyat. Bung Hatta memperjuangkan gerakan koperasi sebagai soko guru ekonomi Indonesia. Cita-cita koperasi Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental.
Menurut Bung Hatta, tujuan koperasi ialah memperbaiki nasib orang-orang yang lemah ekonominya dengan jalan kerjasama. Sandaran koperasi adalah orang, sedangkan uang faktor kedua. Dalam buku Bung Hatta Menjawab (wawancara Dr. Mohammad Hatta dan Dr. Zainul Yasni, 1978) diuraikannya, asas kekeluargaan yang membedakan koperasi Indonesia dari koperasi Barat yang berorientasi kepada ekonomi semata.
Penjelasan Intisari Pancasila
Dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 Bung Hatta mengutarakan, kalau kita mendirikan negara merdeka jangan disamakan saja dasar-dasarnya dengan negara di Eropa dan tak usah mengulangi sejarah negara-negara di sana. Jangan kita tiru sejarah negara-negara Barat yang mengalami pertentangan antara agama dan negara.
Sekitar tahun 70-an Presiden Soeharto mengangkat Bung Hatta sebagai Penasihat Komisi Empat untuk pemberantasan korupsi dengan ketuanya Wilopo (Ketua Dewan Pertimbangan Agung) dan Ketua Panitia Lima untuk menyusun tafsiran Pancasila yang benar.
Penjelasan tafsir Pancasila tertuang dalam buku Bung Hatta, Pengertian Pancasila. Ia menjelaskan, “Di bawah bimbingan sila yang pertama, sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kelima sila itu ikat-mengikat. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya sebagai dasar hormat-menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan dan lainnya.”
Pesan Bung Hatta, Pancasila itu harus diamalkan benar-benar dengan perbuatan, janganlah dipergunakan sebagai lip service saja. Pengakuan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dipermain-mainkan. Tidak saja berdosa, sebagai manusia kita menjadi makhluk yang hina, apabila kita mengakui dengan mulut dasar yang begitu tinggi dan suci, tetapi di hati tidak dan diingkari dengan perbuatan.
Menurutnya, salah satu tugas negara ialah mempergunakan sumber daya alam menjadi kapital kemakmuran rakyat. Prinsip konstitusi sebagai pokok-pokok pelaksanaan kesejahteraan sosial, antara lain; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Bung Hatta Muslim Yang Taat
Sebagai muslim yang memperoleh pendidikan ajaran Islam yang berkualitas sejak kecil dari kakeknya dan belajar mengaji di surau Syekh Muhammad Djamil Djambek di Bukittinggi, Bung Hatta menaruh perhatian besar terhadap pembinaan masyarakat Islam. Dalam makalahnya “Islam dan Pembangunan Masyarakat”, disampaikan di depan pertemuan Badan Kontak Organisasi Islam di Jakarta 31 Oktober 1958, ia mengajak umat Islam bahwa kita perlu mempunyai satu pandangan hidup Islam yang tersusun. Bukan hanya petunjuk-petunjuk yang tersebar, melainkan yang tersusun sebagai paham agama dan penyelidikan ilmiah tentang masyarakat.
Dalam pidato Nuzul Qur’an di Masjid Matraman pada tanggal 9 Januari 1966 Bung Hatta mengingatkan, tugas kita yang terutama, umat Islam Indonesia, ialah menyusun tenaga bersama berdasarkan program kerja bersama, membangun kemakmuran yang positif serta menegakkan dasar pemerintahan keadilan. Dasar-dasar dan cara bekerja bersama dapat kita jumpai semuanya di dalam Al-Quranul Hakim. Kita pergunakan ilmu untuk memakaikan dasar-dasar Islam itu guna membangun masyarakat yang adil dan makmur.
Bung Hatta berpulang ke rahmatullah tanggal 14 Maret 1980 di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Wasiatnya sebelum meninggal hanya ingin dikubur di pemakaman rakyat biasa, agar selalu dekat dengan rakyat yang ia perjuangkan nasib mereka seumur hidupnya. Ia tidak meninggalkan deposito, gedung atau saham perusahaan, tetapi meninggalkan pelajaran yang baik kepada pemimpin dan rakyat Indonesia.
“Seluruh bangsa Indonesia berhutang pada Bung Hatta, hutang budi yang tidak dapat dibayar, hutang yang akan dibawa mati, yaitu jasa dan perjuangan Bung Hatta untuk Indonesia Merdeka,” kata Buya Prof. Dr. Hamka (Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia) sewaktu memimpin doa pada upacara pemakaman jenazah almarhum Bung Hatta secara kenegaraan dengan Inspektur Upacara Wakil Presiden Adam Malik hari Sabtu 15 Maret 1980 di TPU Tanah Kusir Jakarta Selatan.
Setelah Bung Hatta wafat, I. Wangsa Widjaja menunjukkan kepada Prof. Dr. Emil Salim dompet Bung Hatta yang berisi lipatan kertas iklan (advertisement) sepatu Bally made in Swiss. Sepatu yang sangat diimpikan Bung Hatta, tapi tidak sanggup membelinya sampai meninggal dunia. Sambil menangis terharu Emil Salim ketika menyampaikan keynote speech pembukaan Sekolah Pemikiran Bung Hatta berucap, jangan ada pemimpin yang semakin kaya-raya, sementara rakyatnya semakin miskin sengsara. Bung Hatta tokoh kesederhanaan, tokoh kejujuran.
Menyongsong Indonesia Emas 2045 bertepatan dengan Seratus Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, dibutuhkan kualitas pemimpin dan generasi penerus bangsa yang mampu meneladani segi-segi terbaik dari warisan pemikiran dan integritas para pendiri bangsa dan founding fathers negara guna menjaga dan menghargai Indonesia merdeka yang abadi.
Penulis: M. Fuad Nasar, mantan Sesditjen Bimas Islam. Peserta Sekolah Pemikiran Bung Hatta Angkatan I, LP3ES Jakarta, tahun 2024.