MONITOR, Jakarta – Ketua DPR RI Puan Maharani mengkritisi tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang belakangan ini kerap terjadi di Indonesia. Puan meminta aparat kepolisian untuk menindak tegas semua pelaku KDRT dan kekerasan terhadap perempuan juga anak.
“Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga merupakan hal serius yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah dan aparat penegak hukum,” kata Puan, Rabu (14/8/2024).
“Tidak ada toleransi atau zero tolerance untuk pelaku KDRT dan tindak kekerasan, khususnya kepada perempuan dan anak. Harus disanksi dengan tegas sesuai hukum yang berlaku,” imbuhnya.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, terdapat 15.459 kasus kekerasan sejak awal hingga pertengahan tahun 2024 ini di mana sebanyak 13.436 dialami oleh perempuan dan 3.312 oleh laki-laki. Kekerasan dalam rumah tangga menjadi kasus tertinggi.
Sedangkan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat sepanjang tahun 2023 ada 401.975 kasus kekerasan.
Terbaru, kasus KDRT menimpa selebgram Cut Intan Nabila yang dilakukan oleh suaminya, Amor Toreador. Cut Intan memposting video kekerasan yang dilakukan Amor Toreador di akun instagramnya hingga viral di media sosial.
Kasus KDRT ini pun menuai banyak perhatian publik, pasalnya Amor Toreador tak hanya memukul Cut Intan hingga berkali-kali, tapi pelaku juga turut menendang anaknya yang masih bayi. Saat ini, pelaku sudah ditahan pihak kepolisian.
“Keprihatinan mendalam atas kekerasan yang lagi-lagi menimpa perempuan. Walaupun korban KDRT bisa terjadi pada siapa saja, tapi perempuan yang paling banyak menjadi korban,” ujar Puan.
Puan juga menyoroti respons cepat pihak kepolisian dalam menangkap suami Cut Intan, tak sampai 24 jam dari video diposting dan pelaporan korban.
“Kita apresiasi gerak polisi yang cepat menangkap pelaku dan memberikan perlindungan pada korban. Kita berharap gerak cepat aparat juga ditunjukkan untuk semua korban kekerasan, maupun bagi kasus-kasus hukum lainnya,” tutur perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.
“Dengan begitu, keadilan dapat tercipta bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa harus menunggu kasus viral terlebih dahulu. Fenomena no viral no justice seperti yang saya sampaikan sebelumnya harus diminimalisir,” imbuh Puan.
Mantan Menko PMK ini menilai, isu KDRT masih menjadi tantangan bagi Indonesia. Puan pun menekankan pentingnya mengatasi fenomena KDRT secara efektif demi menciptakan masyarakat yang adil dan berperikemanusiaan.
“Pemerintah, bersama dengan seluruh stakeholder terkait, dan tentunya masyarakat, harus berkomitmen untuk memerangi KDRT agar tercipta lingkungan keluarga yang bebas dari kekerasan,” tegasnya.
Puan juga menyoroti bagaimana dalam isu KDRT, tak banyak orang yang berani ikut campur meski mengetahui atau melihat sendiri. Sebab kekerasan dalam rumah tangga sering dipandang sebagai masalah pribadi.
“KDRT ini kan menjadi isu yang sulit diatasi karena berbagai faktor yang membentuk budaya dan norma sosial. Jadi si pelaku akan merasa dapat bertindak semaunya tanpa khawatir akan konsekuensi hukum dengan keyakinan ini kan masalah rumah tangga,” kata Puan.
“Padahal KDRT adalah tindak pidana yang ancamannya hukumannya cukup besar juga. Harusnya norma hukum ini menjadi norma utama yang diperhatikan,” imbuh cucu Bung Karno itu.
Puan menilai, kasus Cut Intan dan suami yang menjadi sorotan publik dapat dijadikan katalis untuk perubahan sistemik. Hanya saja hal tersebut tidak cukup kuat untuk mengubah normal dan stigma yang sudah mengakar di masyarakat.
“Memang perlu ada gerakan yang berani untuk memberantas KDRT ini. Stigma atau reaksi negatif dari lingkungan sekitar justru menjadi sebuah ancaman bagi korban yang sebenarnya ingin berbicara. Dan ini tidak benar,” papar Puan.
Terlepas dari hal itu, Puan menilai budaya baru berupa pengawasan dari publik melalui platform media sosial dapat mengubah stigma pembenaran KDRT.
“Sisi positif dari kemajuan teknologi dapat membantu korban bersuara, dan dibela oleh masyarakat luas. Netizen menjadi pengawas terhadap hal-hal di luar kewajaran. Saya kira ini perkembangan yang baik,” sebutnya.
Di sisi lain, Puan meminta Pemerintah untuk melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat agar terbentuknya kesadaran bahwa KDRT adalah isu penting yang harus diperangi bersama.
Sebab kasus KDRT merupakan fenomena gunung es, namun edukasi dan sosialisasi terkait penanganan atau pemberian tanda pertolongan jika mengalami KDRT masih kurang. Sehingga hanya segelintir orang yang berani bertindak dan memberi tanda dirinya menjadi korban KDRT.
“Pemerintah harus melakukan kampanye nasional perihal KDRT agar mengubah norma sosial dan stigma yang mengelilingi KDRT. Ini untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi korban agar berani melapor dan meminta bantuan,” urai Puan.
“Pendidikan dan kesadaran publik mengenai KDRT harus diperluas dan itu penting. Karena korban biasanya tidak berani buka suara karena takut terhadap judgement sosial,” tambahnya.
Puan menambahkan, layanan penanganan yang belum optimal serta fasilitas yang kurang memadai untuk korban KDRT juga masih menjadi kendala di Indonesia. Terbatasnya rumah aman, konselor, visum masih berbayar sampai tidak ada BPJS bagi korban kekerasan adalah masalah yang harus segera diatasi oleh Pemerintah.
“Maka kami mendorong Pemerintah untuk meningkatkan fasilitas layanan pendampingan bagi korban KDRT agar proses pemulihan berjalan dengan cepat,” kata Puan.
Kolaborasi antar Kementerian/lembaga dan organisasi non-Pemerintah pun disebut harus dilakukan untuk memastikan bahwa kasus KDRT ditangani secara holistik. Puan mengatakan, upaya bersama ini diharapkan dapat menciptakan sistem yang lebih solid untuk melawan tindak kekerasan dalam rumah tangga.
“KDRT dapat ditangain hanya dengan tindakan tegas dan komprehensif,” pungkasnya.