MONITOR, Jakarta – Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sepakat bahwa penyelenggaraan ibadah haji 1445 H/2024 M jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disampaikan tokoh Nahdlatul Lukman Edy dan Tokoh Muhammadiyah Sunanto dalam kesempatan diskusi di Jakarta.
Hadir juga dalam diskusi ini, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief dan Direktur Cedes Indonesia Zaenul Ula.
“Saya melihat haji tahun ini jauh lebih baik dari tahun kemarin, semua dikelola dengan sangat baik oleh Kementerian Agama, secara teknis tagline yang diusung “Haji Ramah Lansia” sangat luar biasa jemaah terlayani dengan baik,” ujar Cak Nanto, panggilan akrab Sunanto, di Jakarta, Selasa (6/8/2024).
Cak Nanto melihat Kementerian Agama terus berupaya melakukan inovasi di setiap penyelenggaraan ibadah haji. Hal itu dilakukan guna memberikan kemudahan bagi jemaah dalam beribadah, misal manasik haji dengan fiqih taysir, sesuai syariat tapi tidak memberatkan jemaah.
“Menurut saya semua sudah berjalan dengan sangat baik dan tidak perlu ada yang dikritisi apalagi dengan adanya pembentukan Pansus,” tambah Cak Nanto.
Hal senada juga diungkap Lukman Edy, bahwa penyelenggaraan haji tahun ini terbilang lancar dan sukses, terutamaan saat ibadah puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). Ini menunjukan bahwa transformasi layanan haji sudah dirasakan jemaah haji, dan itu sangat baik.
“Tidak ada lagi jemaah yang terlantar atau menumpuk karena menunggu bus jemputan, seperti yang terjadi di Muzdalifah tahun lalu. Tahun lalu, banyak peserta haji yang kepanasan dan kelaparan imbas macetnya jalan menuju Mina,” sebutnya.
Menurut Lukman Edy, tidak perlu ada pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Haji yang mempersoalkan kepadatan di Mina dan pengalihan alokasi kuota tambahan. “Kedua permasalahan ini sebenarnya bukan menjadi persoalan krusial penyelenggaraan haji 2024 dan bisa didiskusikan secara internal untuk mencari solusi terbaik, tidak diperlukan pembentukan pansus haji,” ungkapnya.
“Akan lebih bijak jika persoalan ibadah tidak dipolitisasi, karena sudah jelas larangan untuk politisasi agama. Politisasi biasanya cenderung membawa keuntungan bagi pihak tertentu dengan menggulirkan berbagai isu negatif terhadap layanan haji,” tegas Lukman Edy.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Hilman Latief mengatakan Pasal 9 Undang-Undang Ibadah Haji menyebutkan bahwa menteri agamalah yang mengatur alokasi kuota tambahan itu. Menag lalu mengalokasikan 10 ribu untuk jamaah haji reguler dan 10 ribu untuk jamaah haji khusus. Pembagian tersebut telah mendapat persetujuan dari Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi dan dituangkan dalam MoU.
“Alokasi tersebut dengan pertimbangan Kemenag dan Kemenhaj Saudi, yakni berkaca pada wilayah Mina yang sangat terbatas, sementara jemaah Indonesia yang besar dan hanya ditempatkan di sektor 3 dan 4. Jemaah Indonesia harus berbagi tempat dengan jamaah Asia Tenggara lainnya termasuk China,” paparnya.
“Adapun sektor 1 dan 2 diperuntukkan bagi jemaah haji khusus. Sementara sektor 5 di wilayah Mina Jadid sudah tidak digunakan mengingat jarak yang sangat jauh ke Jamarat,” lanjutnya.
Hilman mengungkap dengan luas Mina yang terbatas, pihaknya tidak bisa membayangkan kepadatan yang terjadi apabila 20 ribu kuota tambahan berjubel di tenda yang sempit. Apalagi dengan kuota reguler normal saja, tenda-tenda yang ditempati sudah penuh.
“Sehingga alasan keselamatan jiwa menjadi faktor utama Kemenag dan Kemenhaj Saudi menyetujui pembagian alokasi kuota tambahan dibagi secara merata. Mereka tak ingin karena gara-gara egoisme malah menjadi petaka,” terang Hilman.
Ia menambahkan, Kemenag sudah mengupayakan layanan haji terbaik dengan menghadirkan berbagai inovasi yang bertujuan memberikan kemudahan bagi jemaah dalam melaksanakan ibadah haji.
Direktur Center for Economic and Democracy Studies (Cedes) Zaenul Ula juga menilai aroma politik terasa kental mewarnai putusan Rapat Paripurna Pengesahan Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji.
“Komunikasi politik yang tidak bagus sangat terlihat, di mana prosedur pembentukan Pansus Angket Haji terkesan buru-buru, seperti mengejar waktu. Padahal, saat proses ketuk palu, operasional pelaksanaan haji yang mau dievaluasi belum selesai,” ujar Zaenul Ula.
Bahkan ia menduga ada sesuatu yang tersembunyi karena adanya indikasi rivalitas kelompok yang mencoba memanfaatkan institusi DPR untuk melakukan tekanan secara politik.
Zaenul Ula menegaskan, kesuksesan penyelenggaraan ibadah haji dengan banyaknya inovasi yang telah berhasil dilakukan Kemenag patut diapresiasi. Tidak butuh Pansus Haji, sebab semua jemaah merasa terlayani dengan sangat baik dan dapat dikatakan penyelenggaraan ibadah haji terbilang sukses dan lancar.
“Kendati ada sejumlah permasalahan, namun tidak berdampak signifikan terhadap seluruh rangkaian penyelenggaraan. Dapat pula dikatakan bahwa Pansus Haji merupakan agenda kepentingan politisasi pihak-pihak tertentu bukan sebagai aspirasi dari masyaraka,” tandasnya.
Pembentukan Pansus Angket Haji 2024 ini telah memicu berbagai reaksi dan spekulasi di kalangan masyarakat dan politisi. Beberapa pihak mendukung pembentukan pansus dengan alasan bahwa evaluasi terhadap pelaksanaan haji sangat penting untuk perbaikan di masa mendatang. Namun, ada juga yang menilai bahwa langkah ini lebih dipicu oleh kepentingan politik daripada keinginan untuk melakukan evaluasi yang obyektif. Diskusi publik ini sepakat menyuarakan Closing Statement “Stop Pansus Haji, Transformasi Layanan Haji Yes”.