Jumat, 23 Agustus, 2024

Prof Rokhmin Dahuri Soroti Isu Kedaulatan Pangan Di Tengah Ketidakpastian Global

MONITOR, Jakarta – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menyatakan, bahwa pangan memiliki peran strategis bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa. Untuk itu, ia meminta tiap wilayah di Indonesia berkonsentrasi dalam mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan.

Hal itu dikatakan Prof. Rokhmin Dahuri dalam paparannya pada Economic Talk “Food Security And The Global Uncertainty” PB – HMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia) di Jakarta, Senin, 15 Juli 2024.

“Pertama, pangan menentukan tingkat kesehatan, kecerdasan, dan kualitas SDM. “You are What you eat” (FAO dan WHO, 2000). Kualitas SDM adalah kunci kemajuan sebuah bangsa!” kata Prof Rokhmin Dahuri dengan tema “Pembangunan Kedaulatan Pangan Yang Mensejehterakan Petani Dan Nelayan Secara Berkelanjutan Di Tengah Ketidakpastian Global”.

Kedua, seiiring dengan pertambahan penduduk dunia permintaan berbagai jenis bahan pangan bakal terus meningkat. Ketiga, sementara, suplai pangan global sangat fluktuatif dan cenderung menurun akibat: (1) alih fungsi lahan pertanian; (2) Triple Ecological Crisis (Global Climate Change, Biodiversity Loss, dan Pollution); (3) semakin meningkatnya tensi geopolitik (seperti Perang Rusia vs Ukraina, Genosida Israel terhadap Palestina, dan Rivalitas China vs AS); dan (4) negara-negara produsen pangan mulai membatasi ekspor pangannya demi mengamankan food security bangsanya di tengah risiko global (global uncertainties).

- Advertisement -

Keempat, akibat pandemi Covid-19 dan perang Rusia vs Ukraina, Israel vs Palestina, AS vs China, dunia menghadapi krisis pangan, energi, dan resesi ekonomi (FAO, 2022; Bank Dunia, 2022).

Kelima, kekurangan pangan dapat memicu gejolak politik kejatuhan Rezim Pemerintahan.

Keenam, “Urusan pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa” (Pidato Presiden Soekarno pada Peletakan Batu Pertama Pembangunan Gedung Fakultas Pertanian, IPB di Bogor, 27 April 1952)..

Ketujuh, suatu negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa tidak mungkin bisa maju, sejahtera, dan berdaulat, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor (FAO, 2000)..

Kedelapan, sektor pertanian/pangan (pertanian, kehutanan, dan perikanan) menyerap sekitar 36% total angkatan kerja (142 juta orang, usia 15 – 64 tahun), dan menyumbangkan sekitar 18% PDB (Kementan, 2022).

Kesembilan, sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia mestinya memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama).

Dalam kesempatan itu, Prof Rokhmin Dahuri memaparkan, pada abad terakhir ini terjadi peningkatan dramatis dalam permintaan manusia terhadap segala jenis sumber daya alam. § Pada tahun 2020, untuk pertama kalinya, konsumsi gabungan bahan konstruksi, mineral, bahan bakar fosil, dan biomassa mencapai 100 miliar ton, lebih dari 10 kali lipat dibandingkan tahun 1990 (https://www.theguardian.com/environm ent/2020 /jan/22/worlds-consumption of material mencapai rekor 100 miliar ton per tahun).

Dunia perlu memproduksi setidaknya 50% lebih banyak pangan untuk memberi makan 9,7 miliar orang pada tahun 2050. (Bank Dunia, 2016). § Meskipun meningkatnya permintaan akan sumber daya alam mendorong pertumbuhan ekonomi, hal ini juga memberikan tekanan yang semakin besar terhadap ekosistem bumi, sehingga menyebabkan permasalahan lingkungan termasuk polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan Pemanasan Global.

Terkait pengaruh perang dagang terhadap harga tanaman, Prof Rokhmin Dahuri mengungkapkan studi kasus: Tiongkok vs AS.  Meningkatnya ketegangan perdagangan antara AS dan Tiongkok, dua pemain pasar terbesar di bidang pertanian, hingga saat ini memberikan dampak yang sangat buruk terhadap pasar pertanian.

Pada tahun 2018 ketika perang dagang dimulai, Tiongkok membeli produk pertanian dari petani Amerika senilai $9,3 miliar, turun dari $14 miliar pada tahun sebelumnya.

“Tiongkok telah secara efektif berhenti membeli produk pertanian AS, sehingga hal ini memberikan banyak tekanan pada harga. Departemen Pertanian AS kemudian melakukan intervensi untuk memberikan kompensasi kepada petani sebesar $28 miliar atas rendahnya harga dan hilangnya penjualan akibat perselisihan tersebut.” Terangnya mengutip JP Morgan (2019)

Status Ketahanan Pangan Dan Gizi Bangsa Indonesia

Prof Rokhmin Dahuri membeberkan Indeks Ketahanan Pangan (IKP) menurut provinsi, 2023, yaitu dari 34 provinsi, provinsi dengan status sangat tahan sebesar 55,88 %, tahan (29,41%), agak tahan (8,82%), dan rentan (5,88%).

Lalu Impor Pangan (Ribu Ton), 2018– 2023 Dari data impor 6 komoditas di atas, secara volumetrik cenderung mengalami kenaikan dari 13,6 Juta Ton (2018) menjadi 14,2 juta ton (2023).

“Total impor beras 2023 sebesar 3,2 juta ton (BPS, 2024). vRencana impor beras 2024 : 5,3 juta ton, sepanjang sejarah NKRI (1945 – sekarang), tertinggi kedua setelah impor beras 1998 sebesar 6 juta ton (BPS, 1999; BPS, 2024),” terangnya.

Yang mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.

“Berdasarkan laporan Kemenkes dan BKKBN, bahwa 30.8% anak-anak kita mengalami stunting growth (menderita tubuh pendek), 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi. Dan, penyebab utama dari gizi buruk ini adalah karena pendapatan orang tua mereka sangat rendah, alias miskin,” sebutnya.

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, kata UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Tak heran, bila kapasitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) bangsa Indonesia hingga kini baru berada pada kelas-3 (lebih dari 75 % kebutuhan teknologinya berasal dari impor). Sementara menurut Unesco suatu bangsa dinobatkan sebagai bangsa maju, bila kapasitas Iptek-nya mencapai kelas-1 atau lebih dari 75 % kebutuhan Iptek-nya merupakan hasil karya bangsa sendiri.

“Menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%).  Dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%),” ujarnya.

Maka, kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia tersebut, biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan.

Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020). “Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut,” kata Prof Rokhmin Dahuri mengutip Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022.

Selain itu, kategori tingkat kelaparan skor GHI:  Skor 0—9,9: Tingkat kelaparan rendah,  Skor 10—19,9: Tingkat kelaparan sedang, Skor 20—34,9: Tingkat kelaparan serius,  Skor 35—49,9: Tingkat kelaparan mengkhawatirkan, Skor 50—100: Tingkat kelaparan sangat mengkhawatirkan/ekstrem.

Berdasarkan kategorisasi tersebut, pada 2023 Indonesia memiliki skor 17,6, masuk kategori kelaparan “sedang”. Skor itu juga menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kelaparan tertinggi (atau terburuk) ke-2 dari 9 negara ASEAN yang diriset. Hal ini, tandasnya, implikasi rendahnya ketahanan pangan dan gizi buruk terhadap kualitas SDM Indonesia.

Kemudian, kata Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu, soal daya saing kita parah. Dari rata- rata IQ warga Negara ASEAN, IQ kita hanya di ranking ke 136. “Daya literasi kita terburuk ke 2 di dunia, stunting, gizi buruk. Jadi, negara ini sakit sebenarnya,” tandasnya.

Hasil survei Program International for Student Assessment (PISA) 2022, yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains pelajar kelas 3 SLTP seluruh dunia, mengungkapkan, pada 2018 dari 78 negara yang disurvei, peringkat 1-10 ditempati negara non-Muslim. Sedangkan Indonesia peringkat ke-69 dari 81 negara.

TFP (Total Productivity Factor) Indonesia menurun 50% sejak 2010, jauh di bawah negara-negara ASEAN (World Bank, 2023). Hingga 2022, peringkat GII (Global Innovation Index) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN.

Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin memaparkan sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan.  Antara lain, 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).

Sedangkan perbandingan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan  koefisien Gini antara sebelum dan saat masa Pandemi Covid-19, perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2023), yakni pengeluaran Rp 580.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya (pangan dan non-pangan) dalam sebulan.

Sementara menurut garis kemiskinan Bank Dunia (3,2 dolar AS/orang/hari atau 96 dolar AS/orang/bulan (Rp 1.500.000)/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2023 sebesar 111 juta jiwa (37% total penduduk).

Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. “Kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia,” kata Prof. Rokhmin Dahuri mengutip Oxfam

Bahkan, ungkapnya, sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). “Institute for Global Justice menyebutkan, sekitar 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing,” kata Anggota Dewan Pakar MN-KAHMI itu.

Tak kalah rumitnya, lanjut Prof. Rokhmin Dahuri, permasalahan bangsa lainnya adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 55% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).

Pertumbuhan ekonomi dan kontribusi PDRB menurut pulau, 2023 dan 2024 TW I masih di dominasi oleh kelompok provinsi Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB 2023 sebesar 57,05% dan 2024 TW I sebesar 57,70%.

Disisi lain, sambungnya, deindustrilisasi terjadi di suatu negara, manakala kontribusi sektor manufakturnya menurun, sebelum GNI  (Gross National Income) perkapita nya mencapai US$ 12.536. “Hingga 2021, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-87 dari 132 negara, atau ke-7 di ASEAN,” kata Prof. Rokhmin Dahuri yang juga Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu.

Masalah lainnya kekurangan rumah sehat dan layak huni. Dari 65 juta Rumah Tangga, menurut data BPS tahun 2019 dimana 61,7 persen tidak memiliki rumah layak huni. “Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” terangnya.

Apa Itu Pangan?

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan definisi Undang-undang Pangan (UU No 18, 2012). Yaitu: Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Sedangkan definisi Ketahanan Pangan, terangnya, kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (UU no. 18/ 2021).

Menurut FAO (2016), ketahanan pangan adalah kondisi dimana individu atau rumah tangga menerima akses secara fisik ataupun ekonomi untuk mendapatkan pangan bagi seluruh anggota rumah tangga dan tidak berisiko kehilangan keduanya. 

Menurut Oxfam (2001), ketahanan pangan adalah kondisi ketika setiap orang dalam segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat. Sedangkan kerangka ketahanan pangan, kemandirian dan kedaulatan pangan sesuai UU No. tentang Pangan, antara lain: Ketahanan Pangan, yakni Kualitas Konsumsi (Diversifikasi Pangan dan Kualitas Gizi), Ketersediaan (Produksi, Cadangan & Impor), Aksesibilitas (Distribusi & Harga Terjangkau), Masalah Pangan (Kemiskinan & Bencana Alam).

Kemandirian Pangan, yaitu kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Kedaulatan Pangan adalah Hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya local.

Sedangkan ruang lingkup sektor pangan, kata Prof Rokhmin Dahuri terdiri, Tanaman Pangan: 1. Beras, 2. Jagung, 3. Kedelai ,4. UmbiUmbian dll. Hortikultur: 1. Buahbuahan, 2. Sayuran, 3. Rempahrempah, 4. Tanaman Obat, 5. Tanaman Khas dll.

Perkebunan: 1. Sawit (CPO), 2. Kopi, 3. The, 4. Tebu (Gula), 5. Kakao, 6. Vanila dll. Peternakan: 1. Sapi, 2. Unggas, 3. Kerbau, 4. Domba dll. Komoditas Pangan dari Hutan: 1. Madu, 2. Kopi, 3. Agro- forestry dll.

Perikanan Budidaya: 1. Laut, 2. Payau, 3. Tawar/ Darat dll. Perikanan Tangkap: 1. Laut, 2. PUD (Danau, Bendunga , Sungai dll.

Potensi lahan pangan di kawasan hutan, antara lain: a. Potensi luas hutan untuk tanaman pangan adalah 54 juta ha (Hutan Produksi untuk Pengusahaan Skala Besar), b. Jika 20% luas lantai hutan digunakan untuk budidaya tanaman pangan akan menghasilkan Ubi kayu, Garut, Ganyong, Talas, Kimpul, Ubi jalar, Jagung.

Permasalahan dan tantangan kedaulatan pangan, antara lain: 1. Mayoritas buruh tani, peternak, nelayan ABK, dan produsen pangan (on-farm) lainnya masih miskin. 2. Sebagian besar usaha (bisnis) di sektor pangan masih tradisional, tidak menerapkan: (1) economy of scale, (2) Integrated Supply Chain Management System (hulu – hilir), (3) teknologi terbaik (tepat – guna) dan mutakhir, dan (4) prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (RTRW, pengendalian pencemaran, dan konservasi biodiversity).

“Akibatnya produktivitas rendah, kurang efisien, komoditas dan produk pangan kurang berdaya saing, kontribusi terhadap PDB rendah dan cenderung menurun, petani dan nelayan miskin, dan kurang sustainable (berkelanjutan),” kata Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat itu.

3. Hampir semua perusahaan pangan besar dan modern (korporasi) yang menerapkan keempat prinsip diatas (butir-2), yang sangat jaya, berdaya saing, menguntungkan (kaya), dan world class, itu ‘egois’ (rendah Nasionalisme nya), tidak bekerjasama dengan UMKM bidang pangan.

4. Porsi keuntungan (profit margin) terbesar dalam usaha (bisnis) di sektor pangan itu bukan dinikmati oleh petani dan nelayan (usaha on-farm), tetapi oleh pengusaha industri pengolahan dan pemasaran.

5. Hilirisasi (industri pengolahan) komoditas pangan masih rendah, sebagian besar bahan pangan dijual (ekspor) dalam bentuk raw materials (bahan mentah). Akibatnya: nilai tambah (added value) nya rendah, kurang menghasilkan multiplier effects, kurang tahan lama, dan sukar didistribusikan.

6. Luas lahan pertanian dan luas lahan usaha (garapan), khususnya di sektor tanaman pangan, hortikultur, dan peternakan, semakin menyusut akibat alih fungsi untuk pemukiman, kawasan industri, infrastruktur, dan penggunaan lahan (land use) lainnya. Akibatnya: luas lahan pangan dan luas lahan usaha pangan (land to man ratio) semakin menurun, economy of scale tidak terpenuhi, volume produksi terancam, dan petani dan nelayan (usaha on-farm) miskin.

7. Kebanyakan UMKM bidang pangan mengalami kesulitan dalam mendapatkan (membeli) sarana produksi (seperti benih, pupuk, pakan, obat-obatan, BBM) yang berkualitas, harga relatif murah, dan kuantitas mencukupi.

8. Produksi bibit dan benih unggul, dan pakan berkualitas, masih rendah, tidak mencukupi. Padahal, lebih dari 60% keberhasilan usaha pangan ditentukan oleh bibit dan benih unggul serta pakan. Di usaha aquaculture (perikanan budidaya) dan peternakan, 60% biaya produksi untuk pakan.

9. Tidak ada jaminan (kepastian) pasar dengan harga yang sesuai nilai keekonomian (menguntungkan petani dan nelayan) bagi komoditas hasil panen petani dan nelayan UMKM 10.Infrastruktur dasar dan infrastruktur pertanian (pangan), baik secara kuantitas maupun kualitas, kurang memadai.

Raport Merah Food Estate

Food Estate, terang Prof. Rokhmin Dahuri, merupakan program strategis nasional 2020-2024. Pengembangan integrasi pertanian, perkebunan, dan peternakan. Melibatkan 4 Kementerian terkait ➢ Total lahan 165.000 ha Rp 1,5 triliun (anggaran 2021-2022)

Kalimantan Tengah: Komoditas Padi dan Singkong 17.000 ha sawah baru tak kunjung panen. 600 ha perkebunan singkong mangkrak.

Sumatera Utara: Komoditas Bawang Merah, Bawang Putih, dan Kentang. Sudah ditanam 1.000 ha, dengan luas efektif yang akan dikelola 748,6 ha. Ratusan hektare lahan Food Estate ditinggalkan para petani lantaran tak sanggup lagi menanam usai gagal panen.

Nusa Tenggara Timur: Komoditas Sorgum, Jagung, Tomat & Kacang Hija. Tanaman Jagung di lahan Food Estate di Kabupaten Belu mati pada April 2022. Alasannya ialah sistem irigasi sprinkle tidak berfungsi dengan baik dan bahkan mubazir.

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, faktor kegagalan food estate antara lain: Kesesuaian tanah dan agro climate yang tidak terpenuhi di beberapa proyek lumbung pangan; Budaya kerja pengelolaan; Ketiadaan dan ketidaklayakan infrastruktur; Tidak ada perencanaan yang matang; Kelayakan budi daya dan teknologi yang rendah; Kapasitas SDM yang kurang memadai

Dia menegaskan, program ketahanan pangan indonesia era presiden jokowi dan presiden soeharto Food Estate mengancam Pertanian Rakyat. Ketika pangan dikendalikan segelintir orang (kekuatan besar), maka perut rakyatnya tersandera oleh kekuatan tersebut.

“Dampak negatif ke Lingkungan Memperburuk masalah banjir, erosi tanah, serta memaksa perubahan praktik pertanian local,” tandas Profesor Kehormatan (emeritus) dari Department of International Development Cooperation Shinhan University, Korea Selatan tersebut.

Di sisi lain, Indonesia masih menjadi negara dengan pemberi suku bunga pinjaman tertinggi, yaitu sebesar 8,9 persen, dibanding beberapa negara Asia, seperti Vietnam (7,8 persen), Filipina (7,1 persen), Brunei Darussalam (5,5), Singapura (5,3), Malaysia (3,4), Thailand (3,1). “Konsekuensinya, nelayan dari negara tersebut lebih kompetitif dibanding Indonesia,” sebut Prof Rokhmin Dahuri.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER