Selasa, 30 April, 2024

Pasang Surut Mahkamah Konstitusi

Oleh: Hasin Abdullah*

Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana gugatan sengketa hasil pemilihan presiden Rabu, 28 Maret kemarin, pasangan Capres 01, dan 02 adalah sebagai pemohon yang menggugat keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang penetapan hasil pemilihan umum Pilpres, dan Pileg 2024.

Keputusan Komisi Pemilihan Umum tersebut menetapkan pasangan 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka adalah Capres-Cawapres terpilih. Pun Ketua KPU Hasyim Asy’ari memaparkan pasangan nomor urut 02 kian memperoleh 96.214.691 juta suara nasional dari total 38 provinsi.

Di tengah sengketa berlangsung, mungkinkah hak angket DPR berlanjut menjelang sidang sengketa perselisihan hasil pemilu (PHPU) di Mahkamah Konstitusi? Jawabannya adalah lebih mengutamakan strategi penangangan sengketa hasil Pemilu sekalipun harus bertarung dulu di persidangan.

- Advertisement -

Dalam beberapa kali sidang, tim hukum pasangan nomor urut 01 dan 03 menyampaikan permohonan tentang adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif, serta ada dugaan intimidasi, bansos, dan mobilisasi aparat. Bahkan, meminta majelis agar memutus Pemilu ulang tanpa pasangan 02.

Sejak awal permohonan ini adalah problematika yang cukup serius bagi kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi. Tak dapat dipungkiri, bahwa TSM yang dijadikan materi pokok permohonan kubu 01 dan 03 merupakan tindakan yang cacat formil karena hal itu sangat tidaklah relevan.

Jimly Asshiddiqie dalam buku (Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara: 2006) mengatakan, mekanisme peradilan konstitusi terhadap sengketa PHPU, maka setiap perbedaan pendapat tak boleh dikembangkan menjadi sumber konflik politik atau konflik sosial yang dapat diselesaikan di jalanan.

MK sebagai jalur hukum yang konstitusional bagi siapa pun yang hendak membuktikan dalam sidang sengketa perselisihan hasil Pemilu. Oleh karena itu, pelanggaran sejenis TSM adalah otoritas Badan Pengawas Pemilu sebagaimana secara normatif diatur dalam pasal 286 UU Nomor 7 Tahun Pemilu.

Tantangan Majelis Hakim

Dalam sidang MK, dimensi hukum pembuktian adalah hal paling krusial dalam suatu proses penyelesaian perkara oleh majelis hakim. Di sisi lain, hakim punya kewenangan memeriksa, dan menggali fakta-fakta yang disampaikan sepanjang pembuktian berlangsung di Mahkamah Konstitusi.

Pasal 12 Peraturan MK-RI Nomor 3 Tahun 2013 tentang PHPU juga mengatakan, hal yang sama bahwa alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilu surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, dan petunjuk, serta informasi elektronik atau dokumen elektronik.

Bahkan, dalam postulat hukum-nya, “actori incubit probatio”. Artinya, siapa yang mendalilkan (pemohon), dialah yang wajib membuktikan. Hal itu diatur dalam Pasal 36 ayat (1) sampai butir (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa bukti itu dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Dalam pembuktian ini, majelis hakim konstitusi tengah diuji baik dari aspek independensi, dan profesionalisme. Di sisi lain, moralitas dan integritas hakim sangat penting dalam hal hukum pembuktian guna mengembalikan marwah MK sebagai lembaga the guardian of constitution.

Karena sepanjang sejarah, MK tak pernah absen oleh masalah pelanggaran kode etik hingga proses hukum yang menjerat sebagian hakim. Mulai dari Akil Mochtar, dan Patrialis Akbar. Cukuplah peristiwa hukum tersebut menjadi refleksi dalam upaya mengatasi masalah internal MK.

Keseriusan menegakkan moralitas dan integritas hakim konstitusi adalah hal yang sangat menantang dalam konteks mengadili sengketa Pemilu. Dalam perkara ini, majelis hakim harus menggunakan Peraturan MK-RI Nomor 3 Tahun 2013 tentang PHPU sebagai pedoman dalam mengadili.

Oleh karena itu, merujuk pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hakim konstitusi harus memiliki integritas, dan kepribadian yang tak tercela, berpegang teguh pada etika-hukum yang berkeadilan, serta punya sikap negarawan yang bijaksana.

Dalam hal penyelesaian perselisihan hasil Pemilu memang perlu hakim yang memenuhi kriteria sesuai aturan hukum yang berlaku sebab itu terkait profesionalisme. Sikap profesional hakim konstitusi tersebut sebagai pedoman dalam memutus perkara berdasarkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

Mengutip pernyataan langsung Ketua Mahkamah Agung RI M. Syarifuddin (2022) dalam acara pembinaan teknis dan administrasi yudisial di Batam, “jangan harap publik percaya pada lembaga peradilan, sepanjang masih ada hakim dan aparatur peradilan, yang menggadaikan integritas.”

Pernyataan itu memperjelas masalah serius pada majelis hakim ialah terkait pentingnya moralitas, dan integritas sebagai senjata utama penegakan hukum. Maka, hal prinsip tersebut adalah tantangan awal bagi hakim konstitusi dalam konteks memutus perselisihan hasil pemilu dengan adil.

Kedudukan Yuridis MK

MK dalam struktur ketatanegaraan disebut dengan istilah kekuasaan kehakiman. Pun undang-undang dasar 1945 (UUD) meletakkan fungsi, dan kedudukan MK sebagai penyelenggara keadilan yang mempunyai tanggung jawab penting dalam menegakkan konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi.

Pasal 29 ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Mahkamah Konstitusi adalah kekuasaan kehakiman yang dapat memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Legal standing ini secara yuridis setidaknya dapat menegakkan keadilan.

Miftakhul Huda dalam jurnal konstitusi berjudul (Ultra Petita: 2007), kedudukan MK setingkat atau sederajat dengan Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka. Peradilan yang merdeka tersebut adalah independen, netral, dan imparsial, serta bebas dari campur tangan kekuasaan mana pun.

Kedudukan MK dalam hal menangani gugatan perselisihan hasil pemilihan umum 2024 tengah menguji majelis hakim dalam mengadili perkara secara fair. Nasib keberlangsungan suatu bangsa kian menunggu hasil keputusan MK, apakah peran tersebut dapat menjadi benteng keadilan atau tidak.

Menurut hemat penulis, putusan MK terkait sengketa hasil Pemilu 2024 menjadi harapan bagi setiap pencari keadilan. Pasalnya, MK adalah lembaga yang ideal dalam memulihkan kepercayaan publik pada lembaga peradilan, sehingga masyarakat tak lagi menempuh jalur-jalur yang inkonstitusional.

Dalam perspektif hukum, bagaimana kedudukan hakim konstitusi dapat mematahkan narasi kelompok-kelompok tertentu yang menghendaki pengadilan rakyat. Peristiwa demikian bukan sesuatu yang sangat prinsip dalam negara hukum, karena MK adalah garda terdepan yang lebih konstitusional.

Gugatan tim hukum pasangan Capres 01 dan 03 sebagai tantangan serius bagi majelis hakim karena menguji kedudukan, dan proporsional Mahkamah Konstitusi. Dalam menghadapi penanganan sengketa hasil Pemilu 2024, MK harus mengkungkap fakta-fakta hukum dengan terang di persidangan.

Putusan Final

Konstitusi negara adalah sumber hukum tertinggi yang menggali dari nilai-nilai UUD 1945, dan Pancasila dalam menegakkan hukum, dan keadilan. Maka, MK sebagai benteng terakhir penjaga konstitusi diharapkan mampu mengadili perselisihan hasil pemilihan umum sesuai ketentuan yang berlaku.

Deny Indrayana dalam buku (Strategi Memenangkan Sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi: 2019), menegaskan “MK tidak boleh hanya melulu menjadi peradilan teknis penghitung suara saja alias “Mahkamah Kalkulator”. Sebagai MK yang tuga utamanya adalah mengawal konstitusi bernegara, MK tetap perlu menegakkan marwah dan kehormatan konstitusi kalau ternyata ada proses Pemilu yang benar-benar dilanggar dan berpengaruh dengan hasil Pemilu.”

Pendapat tersebut menegaskan bahwa dalam mewujudkan Pemilu 2024 yang konstitusional adalah butuh keberanian hakim konstitusi dalam menggali fakta-fakta hukum di persidangan. Paling tidak, keyakinan majelis dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah demi kualitas hasil Pemilu.

Kualitas putusan majelis hakim konstitusi sangat menentukan keadaban hukum Pemilu 2024. Di sisi lain, langkah-langkah yang harus ditempuh adalah mengembalikan martabat MK di hadapan publik dengan menggunakan kearifan-kearifan yang ada dalam setiap bait-bait amar putusan.

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).

Putusan yang bersifat final dan mengikat, semoga majelis hakim tak mudah terpengaruh dengan pelbagai godaan-godaan politik (kekuasaan) yang berpotensi merusak citra peradilan konstitusi. Oleh sebab itu, MK harus menjadi garda terdepan dalam membela masyarakat sebagai pencari keadilan.

Dalam sengketa Pemilu 2024, putusan majelis hakim ini harus mencerminkan prinsip kebijaksanaan, dan kenegarawanan. Dengan demikian, seluruh elemen bangsa, termasuk masyarakat harus menerima, dan menghormati putusan hakim sebagai corong keadilan, dan kepastian hukum.

*Penulis adalah Praktisi Hukum/Pengurus Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER