Oleh Dinno Brasco
“Meski kalian tidak bersaksi,
sejarah pasti akan mencatatnya
dengan huruf-huruf besar”
(al-Mukarrom KH. Mustofa Bisri)
“Anakku harus dikenang,
bukan bagaimana ia meninggal dunia.
Tapi bagaimana cara ia menjalani kehidupan.”
(Mayor Sandeep Unnikrishnan, film, 2022)
Iftitah
Terkenang dulu, pernah satu masa pernah membaca sebuah buku keren berjudul Langit-Langit Desa. Luar biasa, berisi cerita dan kisah salah satunya tentang seorang mahasiswa yang hobi melantunkan shalawat Muhammad Sang Nabi.
Mungkin mahasiswa itu mewakili kita semua di penjuru Indonesia. Katakanlah sebagai nostalgia!. Apalagi buku tersebut, entah kemana raibnya. Lupa dibawa siapa, jadinya hanya yang diinget sampai detik ini dialognya. Sekali lagi, itu buku keren!
Alkisah, seorang mahasiswa yang mengamalkan shalawat Sang Nabi seribu kali dalam sehari didatangi oleh sahabat kuliahnya saat ia tengah melakukan riyadhah-nya. Menyaksikan peristiwa itu, sahabatnya berucap, “Setiap Rasul telah dijamin masuk taman surga. Sama saja you lantunkan shalawat atau tidak kepadanya bro!”
“You salah paham. Saya membaca shalawat bukan untuk Rasul, melainkan untuk diri saya sendiri,” jawab mahasiswa itu.
“Kok bisa demikian?” tanya sahabatnya.
“Ketika saya membaca shalawat, saya ingat dua hal yang sangat penting artinya di dalam ‘proses menjadi’ diri saya,” jawab mahasiswa.
“Jika begitu apa hubungannya dengan dirimu cuk!” desak sahabatnya.
“Ya sudah jelas Mas bro, saya ingin menjadi seperti Nabi Muhammad Saw di dalam menggapai tujuannya!” jawab mahasiswa dengan kalem.
Sebuah kisah yang inspiring, buat kita semua. Mahasiswa itu, sekali lagi adalah perihal (Muhammad) Rafsanjani, pecinta Muhammad Sang Nabi. Bagaimana ia menggapai tujuan hidup seperti yang diajarkan ayahandanya Sayyidatina Fatimah az-Zahra dalam menghadapi arus kehidupan. “Sungguh, di dalam diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik bagimu, bagi orang-orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir, serta banyak mengingat-ingat-Nya” (QS. al-Ahzab [33]: 21).
Sebuah nama, sebuah cerita dan harapan besar. Mengapa Rafsanjani di depannya ada nama Muhammad. Seperti tujuan baik ayah-bunda tercintanya memberikan nama mulianya. Hiduplah dengan cara Muhammmad. Bagi sahabat Muhammad Rafsanjani, hidup bagaikan sampan di atas lautan. Dunia adalah lautan itu. Ia mengombang-ambing sampan kita. Gunakan dunia untuk menyampaikan kita pada tujuan! Allah!
Muhammad Rafsanjani
Immortality is itself a death for our dear, ephemeral lives. Hati kita berduka dan sungguh sangat kehilangan. Duka cita dari jutaan kader Islam Indonesia. Sahabat, adinda, mentor, senior dan koleganya yang pernah mewarnai siang dan malamnya dalam pergerakan. Tak ada kata lain selain kalimat; Muhammad Rafsanjani adalah manusia yang baik hati. Ia disayang dan dihormati oleh banyak sahabat-sahabati. Pengakuan dan testimoni dirapalkan antara lain oleh Sahabat Adung Abdurrahman, bahwa Muhammad Rafsanjani adalah sosok pembelajar yang santun, humble, berpendirian dan memiliki kemauan untuk maju. Sosok yang diharapkan Nahdlatul Ulama (NU) dalam memajukan anak-anak muda NU. Rafsanjani adalah aset bagi NU karena memiliki harapan cemerlang di masa depan.
Muhammad Rafsanjani tumbuh besar dari generasi terdidik dan beruntung. Hidupnya cinta akan ilmu dan tradisi intelektualisme. Dibina dan dikader langsung oleh para intelektual dan aktivis yang bersinar yakni Sahabat Muhammad Afifuddin, Sahabat Wildan Hasan Syadzili, Sahabat Hery Haryanto Azumi, Sahabati Erny, Sahabat Faizin dan senior lainnya.
Ia berproses dalam kawah candradimuka pergulatan di forum kajian Madzhab Ciputat di zamannya yang mengkaji para raksasa pemikir dari Barat dan Timur. Dari filsafat, sufisme hingga geopolitik. Dari panorama dunia Islam, atheisme, liberalisme, komunisme, kapitalisme hingga politik indentitas terkini. Para raksasa intelektual dilahapnya dengan baik dan gembira sambil ngopi ganteng dari pagi, siang dan malam. Ia menjadi progresif dan revolusioner.
Muhammad Rafsanjani dapat berbicara dengan memukau perihal filsuf kelas berat dari Sokrates, Martin Heidegger, hingga Zizek. Pendiri bangsa Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Gus Dur, Nurcholish Madjid, Dawam Raharjo, Kang Jalal, Buya Syafi’I Ma’arif dan para guru bangsa lainnya. Ia bisa berjam-jam ngopi bersama penulis dan sahabat lainnya membicarakan gagasan manusia besar sepanjang sejarah. Baginya, membaca sejarah itu penting. Tetapi menciptakan sejarah itu lebih penting Bang! Kemudian, ia ciptakan sejarah hidupnya dan korps. You can escape from politics but not from history.
Ia bergerak maju menggapai takdirnya. Memegang amanat menjadi Ketua Umum PMII Ciputat dan Sekjend PB PMII saat ini. Zaman berganti, atmosfir berubah, kita tak pernah berjumpa kembali. Tetapi ia senantiasa bergerak, menggerakkan Indonesia!
Adalah Muhammad Rafsanjani. Baginya, perbuatan, seperti kata penyair WS Rendra, berbicara lebih keras daripada kata-kata. Namun, bagaimana kita bisa memahami bahwa perbuatan kita mempunyai dampak, pengaruh yang besar terhadap tujuan akhir?
Ia ingin apa yang ada di firman-firman Tuhan mewujud, tegak dan terjadi di bumi manusia. Sebuah cita-citanya yang mulia. Hidupnya ditujukan untuk Islam Indonesia. Untuk keluarga, menjadi teladan, dan inspirasi anak-anak negeri. Tentunya dalam laku dan cara ia memperlakukan sesama. Sebagaimana ucapan Imam Ja’far Asshadiq, “Janganlah silau dengan banyaknya shalat dan puasa seseorang. Namun, bagaimana ia memperlakuan orang lain.”
Ya, perihal Muhammad Rafsanjani. Sosok pemuda santri, pejuang kaum pergerakan, anak muda yang santun, altruisme, nasionalis, dan cerdas. Ia dikenang sebagai sahabat yang baik hati oleh jutaan anak-anak bangsa. Kita semua bersaksi bersama, bahwa jalan hidup Muhammmad Rafsanjani bisa disimpulkan dengan tiga kata; lahir, bergerak, syahid. Allah!
Ia melawan Jean Paul Satre yang pernah berkata bahwa hidup itu absurd. Namun, kitab suci al-Quran mengatakan hidup ialah medan tempur untuk membuktikan amal-amal saleh. Sebagimana syair Ali Syariati, arsitek revolusi Islam; Jadilah manusia agung bagai seorang syahid. Seorang imam, bangkit, berdiri di antara rubah, serigala, tikus, domba. Di antara nol-nol, bagai yang satu.
Adinda Muhammad Rafsanjani telah membuktikannya. Terlibat dan menyaksikan langsung, bergumul dengan generasi muda bangsa yang kini disebut milenial dan gen Z. Sebuah zaman bahwa senjata ide dan gagasan yang ada di kepala harus diuji di medan perang kenyataan dan pengalaman keseharian.
Ia adalah intelektual yang punya empati dan terbuka, menemani anak-anak bangsa yang butuh pedoman dan kompas kehidupan. Inilah yang membuat Muhammad Rafsanjani mulia, menjadikan hidupnya bermakna dan berharga. Semuanya untuk Islam Indonesia! Allah! Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. (QS. al-Baqarah, 2:148).
Rendah Hati=Rafsanjani
A world without morals is like a universe without gravity. Dengan segenap cinta, penulis dan banyak sahabat memberikan alasan kuat kenapa Muhammad Rafsanjani sangat bermoral dan baik hati. Ia ternyata memegang kuat ajaran para wali dan sufi kekasih ilahi. Pernah saat kita membahas kisah para habaib dan sufi dalam perjalanan dari Ciputat menuju Garut, kediamannya. Ia begitu semangat, meresapi hikmah-hikmah sepanjang sejarah.
Adalah Jalaluddin Rumi sering kali bertutur, sudah seharusnya setiap manusia menekankan kebaikan dan pentingnya kesederhanaan dalam hidup di bumi Allah. Ia berucap bahwa pohon yang menjulang tinggi ke langit, dan membanggakan dirinya hanya karena ketinggiannya, mungkin tidak berbuah. Sebaliknya, pohon yang sarat buah, batangnya melengkung ke bawah. Dan karena itu, menampakkan kemuliaannya.
Pastinya, karena itu Muhammad Sang Nabi senantiasa sangat sopan dan rendah hati. Hal itu jua yang membuat Sang Nabi mengungguli Nabi-Nabi lainnya. Sang Nabi bersabda untuk kita semua di masa kini dan masa depan,“Hendaknya kamu senantiasa berhubungan dengan orang-orang dengan sopan dan rendah hati, dan hati-hatilah agar tidak ada yang dirugikan karenamu.”
Ketika dalam sebuah serangan yang membuat satu gigi Sang Nabi tanggal, beliau hanya berdo’a kepada Allah, semoga Dia membimbing umatnya berjalan di jalan yang terang benderang, nan lurus. Sang Nabi yang pemaaf, dan rendah hati. Karena itu pernah dikisahkan, sebelum beliau, tidak ada seorang pun, yang pernah memohonkan rasa kedamaian kepada segenap umat manusia dengan sangat ikhlas selain Muhammad Sang Nabi.
Di titik poin yang keren ini, Jalaluddin Rumi bersyair:
Manusia tercipta dari tanah, dan jika tidak ada tanah; Dengan apa manusia akan dicipta?
Ya, sebuah tanah. Metafor tanah adalah sesuatu yang selalu berada “di bawah” dan tentunya tidak di atas sebagaimana udara, cahaya, dan atmosfir. Tanah, adanya di posisi lebih rendah, di bawah kaki kita, terinjak-injak. Selalu tetap dalam posisi terendah, tak seperti bara api yang membumbung ke atas dengan rasa sombong dan congkak.
Ya, hanya tanah. Jadilah seperti tanah, seperti dawuh Syaikh Siti Jenar dalam kisah Majelis Wali Songo. Tanah setiap hari diinjak-injak oleh manusia, tapi menghidupi mereka. Dianggap hina-dina, tapi memakmurkan hidup mereka. Dibuang dan dicaki-maki, tapi tak pernah dendam. Bahkan, menyuburkan rezeki manusia di sepanjang masa, jadi penghidupan keluarga dan anak cucunya.
Nilai-nilai moral, rendah hati adalah kunci dalam laku pergerakan Muhammad Rafsanjani. Ia satu padu dalam pikiran dan tindakan. Karena, suri teladannya adalah Muhammad Sang Nabi. Ia adalah intelektual yang beriman. Faith is stronger than any other force on eart. And faith creates power and enduces it.
Hidupnya yang Bermakna
Tangisan kesedihan atas meninggalnya sahabat Muhammad Rafsanjani ditentukan karena posisinya di hati kita, dimana ia berada. Muhammad Rafsanjani adalah sosok yang istimewa. Itulah kesadaran kita sendiri sebagai sahabat pergerakan. Orang yang meninggal dunia bisa masuk menjadi objek kesadaran kita.
Kita sangat sedih memikirkan meninggalnya sahabat kita. Kita juga harus sadar untuk tidak menghiraukan hari akhir kita sendiri. Seperti dawuh Sayyidina Ali,”Aku takjub melihat orang yang tertawa mengantarkan jenazah. Ia tidak tahu bahwa jenazah itu adalah akhir hidupnya juga.”
Katakanlah, selama ini kita tidak memikirkan sebuah kematian, karena kita tidak memasukan kematian dalam kesadaran keseharian kita. Ingatan kepada kematian mendorong manusia untuk berbuat baik. Menjadikan amaliyah ilmiah sebagai bekal untuk kehidupan pasca kematian (after death). Kesadaran akan kematian berarti sadar akan ketiadaan ego dan non-being. Karena hidup kita akan berarti bila kita “memberikan diri (altruisme)” kita kepada sesama manusia. Dengan menghancurkan ego, kita memasukan sesama manusia ke dalam eksistensi kita. Orang lain adalah kita.
Joel Kovel dalam bukunya History and Spirit; An Inquiry into the Spirit of liberation, menyampaikan dengan cermat perihal dunia modern yang disebutkan sebagai dunia tanpa ruh, dan menawarkan pembebasan manusia dari egonya dengan memasukan kembali tetesan spiritualitas dalam meniti arus kehidupan. Salah satunya caranya ialah menyadarkan manusia akan kematian. Death is beautiful but maligned; without it, life would have no value!
Hidup yang bermakna adalah kehidupan yang menerima sesama. Kesadaran adanya kematian tak lain dan tak bukan hanya menjadikan kehidupan sebagai titik pandang utama. Dia-lah yang menjadikan kematian dan kehidupan agar Dia menguji kalian siapa yang di antara kalian yang lebih baik amalnya (QS. 67:2).
Menarik sekali bagi kita untuk merenungkan pitutur Syams At-Tabrizi Maha guru misterius yang membisikkan sesuatu yang menggetarkan ke telinga Jalaluddin Rumi kala itu. Rumi berubah total 360 derajat. “Gunakan hidupmu dengan baik, atau aku akan merenggutnya darimu!” Rumi akhirnya jadi sosok yang berbeda, mengalami epifani. Hidupnya dipenuhi dengan cinta kepada sesama sepanjang sejarah hidupnya. Hidupnya dipuja, dihormati senantiasa hingga akhir masa.
Muhammad Rafsanjani sudah mengalami itu. Menjadikan hidupnya lebih bermakna, hangat dan mendalam bagi sesamanya. Baginya paradigma yang tepat adalah pengkhidmatan. Khidmatnya kepada rakyat dan ilahi. To the world, you could be one person. But to one person, you could be the whole world.
Akhirul Kalam
Kenang, kenanglah Muhammad Rafsanjani, sahabat dan adinda kita. Dia adalah pemuda yang hidup di era digital yang memukau mata dan sanubari. Anak muda yang melibatkan dirinya dalam kelelahan demi kelelahan di zaman kekinian. Carilah keletihan, jangan engkau biasakan dirimu bersantai-santai, dan bermalas-malasan. Ketahuilah, orang yang berjuang di jalan Allah itu selalu sibuk dengan kemusykilan dan kesulitan sosial.
Apakah karena kesibukan ibadah lainnya menjadi hilang? Muhammad Sang Nabi selalu disibukkan oleh masalah-masalah sosial kemasyarakatan (di siang hari). Akankah kita lupakan jejak langkahnya, panutan kita? Apakah di waktu malamnya beliau tidur nyenyak sampai pagi? Tidak! Sekali-kali tidak.
Muhammad Sang Nabi tidak beristirahat kecuali sebentar. Maka, sekali lagi fa’idza faraghta fanshab berarti libatkanlah dirimu dalam kelelahan-kelelahan beramal saleh untuk Allah. Orang-orang mulia dilahirkan di masa-masa sulit, Jangan bermalas-malasan di era medsos, sebab itulah musuh manusia sepanjang sejarah, musuh pemuda, dan milenial nasionalis. Jadikan dirimu sebagai duplikat-duplikat kenabian di Bumi Pertiwi.
Itulah cara hidup, cara meniti kehidupan ala Muhammad Rafsanjani!
Ayo katakan, siapa dan sosok seperti apa Muhammad Rafsanjani? Apakah ia adalah kaum muda yang bertanya,“Apa yang dapat diperbuat negara bagimu?” Atau generasi yang berkata, “Apa yang dapat ia perbuat untuk negaramu, Indonesia?” Kalau termasuk yang pertama, maka ia hanyalah parasit. Kalau yang kedua, maka ia ibarat oase di padang gurun. Kita bersaksi Muhammad Rafsanjani adalah oase di padang sahara. Ia berbuat untuk negara-bangsa dengan senjata intelektualismenya.
Saat airmata ini tergenang di pelupuk. Mematung dan memandang dirimu di Masjid Al-Jadid, Pasar Rebo. Menyentuh kakimu yang gagah, sekian lama bergerak demi Islam Indonesia. Terasa ada getaran untuk mengenang dirimu kembali. Hidupmu bermakna dan berharga karena berguna bagi sesama manusia. Muhammad Rafsanjani adalah teladan dan inspirasi bagi anak-anak negeri, mahasiswa dan pemuda. Langkah meneruskan jejak-jejekmu harus dimulai kini oleh setiap kita dan di setiap masa. Jejak-jejakmu merahimi pencerahan dan kemajuan.
Ahli hikmah berpetuah;
“Wahai anak Adam, waktu Ibumu melahirkanmu, engkau menangis, padahal semua orang di sekililingmu tertawa bahagia. Berkhidmatlah kepada manusia, sehingga manakala engkau meninggal dunia, semua orang di sekitarmu menangis, padahal engkau sendiri tertawa bahagia.”
Akhirnya, dengan rasa penghormatan kita haturkan: Selamat Jalan kader terbaik, sahabat dan adinda yang baik, rendah hati, yang gandrung tradisi ilmu pengetahuan, intelektualisme dan khidmat kepada sesama. Selamat berjumpa dengan panutanmu Muhammad Sang Nabi. Tentunya bersama Allah Ta’ala yang kita perdebatkan dulu dalil-dalil-Nya. Lalu kita bersama wujudkan di bumi manusia.
Berbahagialah di taman syurga-Nya, Sekjend PB PMII kita!
Sebagaimana seruan Archimedes,”Eureka!
Akhirnya aku menemukannya.” If you have sincerely loved the world, the afterlife will love you warmly. Allah!
Penulis Adalah Dinno Brasco (Kolumnis dan Aktivis, Alumni PMII Ciputat)