Jumat, 22 November, 2024

Strategi Pengawasan Dengan Pendekatan Humanistik


Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)

Lembaga pemerintahan masih mendapatkan tantangan dalam penyelenggaraanya, seperti praktik penyalahgunaan wewenang dan kasus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Pada sisi yang lain, pemerintah juga telah melakukan berbagai upaya untuk memerangi korupsi, termasuk pembentukan lembaga anti-korupsi, penguatan aturan, dan upaya-upaya lainnya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di sektor publik.

Seperti diketahui pada tahun 2021 Indonesia mendapat skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 37 dari 100. Skor ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki tingkat korupsi yang dianggap signifikan, namun terdapat upaya yang dilakukan untuk memerangi korupsi. Meskipun begitu, masih ada pekerjaan yang perlu terus dilakukan untuk mengurangi korupsi dan meningkatkan indeks persepsi korupsi di Indonesia

Pada sisi yang lain kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengawasan pemerintahan juga perlu terus ditingkatkan. Unsur-unsur penting terkait dengan transparansi dan kinerja, komunikasi dan edukasi, kasus yang diperiksa dan diungkap, keterbukaan dan akuntabilitas, serta kesadaran Masyarakat. Sehingga Lembaga pengawasan perlu secara konsisten membangun kepercayaan masyarakat yang lebih luas terhadap peran mereka dalam mencegah KKN.

- Advertisement -

Inspektorat Jenderal Kementerian Agama juga berperan penting dalam mengawal tercapainya Pembangunan bidang Agama. Pertama, pembangunan material yang mencakup pembangunan fisik yang meliputi politik, sosial, ekonomi, pertahanan dan keamanan. Kedua, pembangunan moral spiritual, yaitu pembangunan non-fisik yang meliputi ideologi, budaya dan agama. Indonesia dengan berbagai keragaman yang ada harus dijaga, dilestarikan serta dirawat agar tidak terjadi perpecahan, dan hal tersebut dapat dilakukan dengan menghargai perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan, dialog dan kerjasama antar agama dan antar budaya, menolak intoleransi dan radikalisme serta mengutamakan sikap moderat.

Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 72 Tahun 2022 Pasal 436 mengamanatkan tugas Inspektorat Jenderal adalah menyelenggarakan pengawasan internal pada Ke¬men¬¬terian Agama. Untuk melaksanakan tugas dimaksud, berdasarkan Pasal 437 Itjen Ke¬men¬¬te¬rian Agama menyelenggarakan fungsi penyusunan kebijakan teknis pengawasan in¬ter¬nal di lingkungan Kementerian Agama dan pelaksanaan pengawasan internal di lingkungan Kementerian Agama terhadap kinerja dan keuangan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengasawan lainnya;

Selain itu Itjen yang mulai tampil dengan wajahnya yang keren berfungsi sebagai pelaksanaan pengawasan untuk tujuan tertentu atas penugasan Menteri, penyusunan laporan ha¬¬sil pengawasan di lingkungan Kementerian Agama, pelaksanaan administrasi Inspektorat Jen¬¬deral dan tak kalah pentingnya adalah pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Problem Pengawasan

Budaya kerja lembaga pengawasan yang tidak humanis, sesungguhnya berdampak pada beberapa masalah. Potensi lahirnya masalah terkait ketidakpuasan pegawai dan mitra pengawasan dapat terjadi bila model pengawasan yang dilakukan cenderung otoriter dengan otonomi peran yang terbatas. Selanjutnya, kurangnya perhatian terhadap kebutuhan individu dan lembaga yang dapat memicu lahirnya ketidakpuasan layanan yang diberikan.

Problem lain yang muncul adalah rendahnya motivasi, kinerja dan produktivitas pegawai dan mitra pengawasan. Hal ini disebabkan karena tidak manusiawi-nya model pengawasan dan terlalu ketat, pengabaian yang dilakukan, dan positioning mitra sebatas alat untuk mencapai tujuan dan kewajiban administratif semata. Padahal, setiap orang memiliki sisi batin yang perlu disentuh.

Penghargaan terhadap ide-ide baru yang muncul dalam pengelolaan kelembagaan, juga perlu terus di dorong. Inovasi dan kreativitas, akan lahir dengan ekosistem kerja yang mendukung dan saling memberi apresiasi. Selain itu, kurangnya komunikasi dan kepercayaan juga seringkali hadir pada budaya kerja yang tidak humanis. Pengawasan yang kurang humanis dapat menghambat keterbukaan komunikasi dan tidak terwujudnya kepercayaan antara pimpinan dan pegawai.

Pengawasan yang tidak memperhatikan aspek kemanusiaan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan kinerja organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan strategi pengawasan yang memperhatikan dan menghargai sisi kemanusiaan dalam lingkungan kerja pada Kementerian Agama.

Paradigma Baru Pengawasan

Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Gus Men, Yaqut Cholil Qaumas menghendaki agar lembaga ini menjadi kementerian untuk semua agama. Menjadi Kementerian yang bersih dan melayani. Secara formal telah dirumuskan ke dalam visi Kemenag 2020-2024 yaitu Kementerian Agama yang professional dan andal dalam membangun masyarakat yang sa¬¬leh, moderat, cerdas dan unggul untuk mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, man¬¬diri dan berkepribadian berdasarkan gotong royong.

Harapan tersebut di atas diterjemahkan melalui kebijakan Inspektorat Jenderal dibawah komando Faisal Ali Hasyim dengan Strategic Partner and Center of Excellent indicator early warning system, quality as¬surance and Trusted Advisor (consulting cervices). Kebijakan yang dimaksud adalah Pertama, optimalisasi peran Inspektorat Jenderal kementerian Agama sebagai konsultan dan qua¬lity assurance yang dapat memberikan nilai tambah (value added) bagi pe¬ning¬kat¬an kinerja dan budaya anti korupsi.

Kedua, menitikberatkan pengawasan internal kementerian pada program prioritas nasional bidang agama, pendidikan, tata kelola dan berdasarkan perintah (prioritas) menteri; Ketiga, optimalisasi fungsi pengawasan internal oleh Satuan Pengawas Internal (SPI) PTKN dan Satuan Kerja.

Bagi penulis, kebijakan tersebut adalah paradigma baru pengawasan yang dilakukan Inspektorat Jenderal. Dalam implementasinya dirumuskan dalam sejumlah Agenda Prioritas Pengawasan (APP) Inspektorat Jenderal Kementerian Agama Tahun 2023. Sebuah peta priority product delivery kepada stakeholder utama yai¬tu Menteri Agama, dengan tema yang keren yaitu Akselerasi Program Prioritas, Ting¬kat¬kan Layanan Umat.

APP ini menyajikan cakupan area strategis yang menjadi prioritas pengawasan Inspekto¬rat Jenderal, prinsip-prinsip pengawasan, penjabaran rencana pengawasan, distribusi pe¬lak¬sa¬na (koordinator dan kontributor) serta sebaran waktu pelaporan hasil pengawasan. Pada tahun anggaran 2023, APP terdiri dari 3 sektor, 10 tema dan 29 topik. Pada tahun 2024 akan terus didorong peningkatannya. Sektor Penguatan Pemahaman dan Pengamalan Ajaran Agama, Sektor Penguatan Pengawasan Pendidikan dan Sektor Tata Kelola dan Reformasi Birokrasi.

Pengawasan Humanistik

Elton Mayo dalam teorinya yang menjelaskan hubungan antar manusia menegaskan bahwa budaya kerja yang membuat individu merasa dihargai adalah yang mampu menghadirkan rasa hangat dan kenyamanan. Karena itu, stakeholder pengawasan akan lebih termotivasi dalam bekerja karena adanya perhatian secara pribadi, apresiasi, dan dilibatkan dalam kelompok.

Abraham Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya tentang Hierarchy of Needs menyatakan bahwa manusia mempunyai lima macam kebutuhan, antara lain: Psychological need (kebutuhan psikologis), safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and belonging needs (kebutuhan akan kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs (kebutuhan akan harga diri), dan self actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri). Pengawasan humanistik harus mempertimbangkan beberapa hal tersebut.

Sejalan itu Aloni (2014) mengatakan bahwa pendekatan humanistik mengutamakan pengembangan, kesejahteraan dan martabat manusia sebagai akhir dari seluruh pemikiran dan tindakan utamanya. Pemikiran dan tindakan ini melebihi batas dari cita-cita dan nilai-nilai agama, ideologi dan kebangsaan.

Pendekatan humanistik berkomitmen untuk memanusiakan manusia, termasuk pada mitra pengawasan dengan semangat kebebasan berpikir, otonomi moral dan demokrasi keberagaman. Memberdayakan mitra pengawasan untuk mengaktualisasikan potensi-potensi manusiawinya dan menjalani kehidupan mandiri, berkecukupan dan mencukupi.

Tujuan pendekatan humanistik, menurut Aloni meniscayakan, antara lain: 1) individu yang secara mandiri dan otentik menyadari akan potensi yang dimilikinya, 2) warga negara yang ikut andil dan bertanggung jawab dalam demokrasi, dan 3) umat manusia yang kaya dan sempurna melalui keterlibatannya yang penuh makna dan konstruktif dalam pencapaian kolektif kebudayaan manusia. Sementara menurut Romo Mangun (dalam Syafei, 2019), tujuan pendekatan humanistik untuk mempersiapkan setiap orang mampu mengambil tangggung jawab atas kehidupannya, memberdayakannya sehingga mampu membuat keputusan-keputusan yang tepat, sehingga mampu menentukan arah hidupnya.

Implementasi terhadap strategi pengawasan dengan menggunakan pendekatan humanis berfokus pada pada aspek kemanusiaan, empati, dan penghargaan terhadap individu dalam konteks pengawasan atau manajemen.

Startegi yang menurut penulis bisa dilakukan untuk mendukung terciptanya model pengawasan humanistic, adalah: Pertama, Digitalisasi Sistem dan Prosedur Pengawasan. Di era yang menurut Anthony Giddens, sebuah dunia yang lari tunggang langgang (runway world), yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih, pengelolaan lembaga pengawasan tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara konvensional, tetapi harus dengan berbagai inovasi baru dan adaptif terhadap teknologi digital.

Kedua, Meningkatkan Kemitraan dengan Satuan Kerja yang Diawasi. Lembaga pengawasan yang seringkali diidentikan dengan kesan yang ‘tidak ramah’ dan hanya mencari-cari kesalahan, perlu diperbaiki. Inspektorat Jendreal Kemenag adalah lembaga pengawasan sebagai mitra kerja yang da¬pat memberikan pembinaan, pendampingan dan konsultasi bagi satuan kerja lainnya.

Ketiga, Pemberdayaan dan Peningkatan Profesionalisme SDM. Peningkatan kompetensi SDM perlu dilakukan akselerasi. Instansi wajib memberikan dukungan akses dan sumber daya kepada ASN untuk belajar dan terus belajar. Dalam hal ini, kita bisa merujik kepada Undang Undang ASN Nomor 20 tahun 2023, yang mengamanatkan tujuh agenda transformasi, yaitu transformasi rekrutmen dan jabatan, kemudahan mobilitas talenta nasional, percepatan pengembangan kompetensi, penataan tenaga non-ASN, reformasi pengelolaan kinerja dan kesejahteraan ASN, digitalisasi manajemen ASN dan penguatan budaya kerja dan citra institusi.

Keempat, Komunikasi Dialogis. Komunikasi dua arah diperlukan dalam pengelolaan lembaga pengawasan seperti Inspektorat Jenderal untuk membangun lingkungan, di mana komunikasi antara pengawas dan yang dipimpinnya didasarkan pada kejujuran, transparansi, dan saling pengertian. Freire (2017) menawarkan metode dalam pendekatan humanistik, yaitu komunikasi dialogis, yang juga sejalan dengan pemikiran Romo Mangun (2019), yang menginginkan selain membangun kemampuan berpikir kreatif, bersikap terbuka dan toleran, juga berkomunikasi secara dialogis.

Kelima, Bimbingan dan Dukungan. Sikap otoriter dan cenderung individualis harus dihilangkan. Pentingnya lembaga pengawasan memberikan bimbingan intensif pada mitra dengan baik. Lembaga pengawasan juga harus memberikan dukungan pada inisiatif dan kreativitas program yang mengakselerasi capaian visi dan misi Kementerian Agama.

Keenam, Mendorong Keterlibatan dan Partisipasi. Lembaga pengawasan juga perlu terus mendorong adanya partisipasi aktif stakeholder, baik dalam proses pengambilan keputusan, memberikan umpan balik, dan mengakui kontribusi mereka. Ketujuh, Penghargaan dan Pengakuan. Selain Punishment yang menjadi konsekuensi pada pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang, lembaga pengawasan perlu memberikan reward berupa apresiasi dan pengakuan atas pencapaian, kontribusi, dan kinerja yang baik yang dilakukan oleh pegawai maupun mitra pengawasan.

Goal dari strategi pengawasan berbasis humanisme adalah untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung, memotivasi, dan menghargai setiap individu secara keseluruhan. Hal ini dapat membantu meningkatkan produktivitas, kualitas kerja, dan kesejahteraan karena para pihak mengedepankan nilai-nilai humanisnya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER