Sabtu, 23 November, 2024

Karpet Merah untuk Kaesang

Oleh: Imron Wasi*

Putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep sudah merambah ke politik praktis mengikuti jejak langkah keluarganya, dimulai dari Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dan Bobby Nasution.

Hal ini terekam dalam acara Kopi Darat Nasional (Kopdarnas) Partai Solidaritas Indonesia, di mana Kaesang diperkenalkan sebagai ketua umum dari partai yang mengklaim sebagai salah satu representasi partai politik anak muda. 

Keterlibatan Kaesang dalam dunia politik praktis, kini telah mengafirmasi bahwa keluarga Jokowi turut dalam melanggengkan kekuasaannya melalui anak dan menantunya, alih-alih sebelumnya ‘putra mahkota’ ini tidak tertarik memasuki gelanggang politik. 

- Advertisement -

Namun, peristiwa politik ini telah membuka kontak pandora dalam arena politik Indonesia dan sesuatu yang mudah ditemui di tingkat regional maupun lokal, terutama pasca-reformasi atau dalam bahasa yang sederhana disebut juga sebagai upaya membangun kekuatan dinasti politik. 

Sementara itu, masuknya Kaesang ke institusi entitas politik seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini menciptakan diskursus politik di ruang publik. 

Sebab, putra bungsu Presiden ini, secara eksklusif menjadi ketua umum, di tengah dominasi ketua umum partai politik lainnya, yang sampai saat ini dikuasai oleh bukan anak muda lagi, terlebih tidak pernah menciptakan regenerasi kepemimpinan. 

Tak hanya itu, Kaesang tentunya memiliki hak privilese secara politik yang juga dimiliki oleh putra maupun putri eks Presiden Indonesia sebelumnya, misalnya, Puan Maharani dari PDI-Perjuangan maupun Agus Harimurti Yudhoyono dari Partai Demokrat. 

Kesetiaan politik Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terhadap patron politiknya, Jokowi, tampaknya telah berhasil berbuah manis. Secara umum, partai berlambang kepalan tangan ini secara konsisten telah mendukung pemerintahan selama Jokowi memimpin. 

Gayung bersambut, melihat dinamika politik domestik yang terus mengalami transformasi, Kaesang akhirnya tertarik memasuki arena politik, setelah dirinya kerap dibahas dalam panggung politik. 

Pilihan politik putra bungsu Jokowi ini tentunya sudah dibahas dengan Jokowi sebagai figur ayah sekaligus yang kini menjabat sebagai Presiden, terutama secara pilihan entitas politik berbeda dengan Jokowi dan Gibran yang sudah menjadi kader PDI-Perjuangan. 

Sikap politik yang berbeda di tubuh keluarga ini juga direspons secara berbeda oleh khalayak publik, terutama oleh partai politik yang telah membesarkan Jokowi, yaitu, PDI-Perjuangan. 

Partai Solidaritas Indonesia turut membuka gerbang politik dan menciptakan lift atau elevator politik bagi Kaesang alias karpet merah menuju kekuasaan. Dalam perspektif penulis, keduanya saling menguntungkan; baik dari aspek Kaesang maupun PSI. 

Dari aspek Kaesang, misalnya, ia tidak mungkin memasuki arena politik tanpa menjadi ketua umum. Sebab, posisi politik yang sangat sentral dan substansi dalam pengambilan keputusan adalah dengan menjadi pimpinan. 

Dengan kata lain, menjelang masa pendaftaran capres-cawapres pada Pemilu 2024 yang tinggal menghitung hari, sikap partai politik sangat menentukan dalam mengusung maupun mendukung kandidat tertentu. 

Artinya, Kaesang di satu sisi, dan Jokowi di sisi yang lain, bisa meningkatkan daya tawar politik terhadap figur maupun partai politik lainnya, terutama Presiden sudah seharusnya memiliki kekuatan partai politik menjelang purna sebagai panglima tertinggi di Indonesia. Hal ini dalam rangka mempertahankan status qou politiknya. 

Sebab, jika Kaesang berlabuh mengikuti jejak Jokowi dan Gibran, keluarga politik Jokowi secara politik, terutama dari dimensi kekuatan partai politik akan cenderung terisolasi, karena tidak berada dalam puncak kekuasaan partai politik, terlebih approval rating terhadap Jokowi sangat tinggi. Jadi, momentum politik ini bisa menjadi alat utama untuk melakukan konsensus dalam politik. 

Selama ini, politik akan selalu berkelindan terhadap upaya untuk membangun rekonsiliasi, negosiasi dan konsensus untuk mencapai kekuasaan. Tanpa adanya elemen politik ini, sangat sukar untuk menciptakan daya tawar politik.

Sedangkan, dari aspek Partai Solidaritas Indonesia (PSI), misalnya, partai politik ini secara implisit memperoleh kekuatan politik baru yang sudah dilegitimasi dengan masuknya Kaesang menjadi kader PSI. 

Dalam bahasa lain, PSI memperoleh efek ekor jas dari tingginya tingkat kepercayaan publik (approval rating) terhadap Jokowi di satu sisi, maupun efek basis massa anak-anak muda dari Kaesang, terlebih Kaesang merepresentasikan anak muda yang menjadi ketua umum partai politik di Indonesia, terlebih pemilih pada Pemilu 2024 didominasi oleh pemilih muda. 

Sehingga, apa yang diharapkan oleh PSI untuk memasuki parlemen secara mutakhir semakin terbuka dan lebih meningkatkan daya tawar politiknya. Selain itu, para kandidat politiknya juga akan membangun komunikasi politik dengan PSI. 

Saat ini, dukungan politik PSI terhadap kandidat tertentu akan menjadi salah satu terbukanya kans untuk mencapai kemenangan pada Pilpres 2024 mendatang. Dalam hal ini, akan diperebutkan oleh Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. 

Kendati demikian, PSI tampaknya cenderung akan mengalihkan dukungan ke Ganjar Pranowo. Meskipun, tidak direspons secara kilat oleh PDI-Perjuangan sebelum Kaesang menjadi ketua umum. Namun, setelah Kaesang menjadi ketua umum PSI, sikap PDI-P diprediksi bisa berubah. 

Langkah politik ini diambil mungkin untuk membangun konsensus antara Jokowi dan PDI-P yang seolah tidak pernah mencapai titik-temu, yang secara kasatmata cenderung akan menduetkan Ganjar dan Prabowo.

Dengan demikian, PSI sebagai partai politik yang relatif baru ini tentunya akan mendorong figur-figur potensial untuk menambah komposisi kekuatan politiknya agar bisa meningkatkan kepercayaan publik dan mencapai ambang batas parlemen, yang suatu saat pada proses elektoral mendatang bisa terlibat mengusung kader atau membangun koalisi dengan partai politik lainnya. 

Perilaku partai politik yang menggaet figur potensial ini sesungguhnya sudah klise untuk meningkatkan perolehan suara partai politik dalam Pemilu. Hal ini mencerminkan, wajah politik di Indonesia sampai saat ini masih mengutamakan figur atau tokoh tertentu. Sesuatu yang secara gradual akan terus berlangsung dalam arena politik.

*Penulis Adalah Peneliti dan Manager Riset dan Advokasi Publik Indonesia

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER