Senin, 29 April, 2024

Merayakan Revolusi Politik Berbasis Sains dan Teknologi

Oleh: Rahmat Kamaruddin*

Beberapa kalangan mengkritik situasi politik belakangan ini, terutama jelang Pemilu 2024. Pasalnya, perbincangan yang beredar dianggap jauh dari gagasan bermutu untuk perbaikan taraf hidup masyarakat dan arah pembangunan Indonesia ke depan. Media sosial juga didominasi perkara sumpah serapah, reproduksi hoaks dan isu basi, hingga glorifikasi buta demi upaya politik tanpa etika dan gagasan. Politik pun tak ubahnya perihal riuh rendah perebutan kekuasaan belaka.

Atas perihal semacam itulah kehadiran buku “100 Ide untuk Presiden dan DPR Baru” ini menemukan relevansinya. Agar perbincangan politik kita diisi gagasan produktif. Baik oleh kandidat maupun pemilih. Agar politik tidak kehilangan makna aslinya, yakni sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Melalui karya ini, Dirgayuza Setiawan mencoba memantik diskusi publik terkait politik di Indonesia jelang Pemilu 2024 agar mengedepankan gagasan yang lebih produktif. Buku ini juga mengandung harapan ke depan bagi pemegang jabatan mampu melahirkan kebijakan publik yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

- Advertisement -

“Pemilihan Umum adalah waktunya berbagi ide konkrit untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat diusulkan, dibahas, diperdebatkan, diperjuangkan dan pada akhirnya dipilih,” tulis Dirgayuza (hlm. 2).

Buku terbitan Media Pandu Bangsa ini menghimpun 16 topik kebijakan publik yang relevan diimplementasikan di Indonesia. Ia merentang dari aspek pendidikan, kesehatan, keselamatan, ekonomi, jaring pengaman sosial, lapangan kerja, perumahan, lingkungan hidup, keadilan sosial, infrastruktur, transportasi, pemerintahan dan demokrasi, keuangan negara, hukum dan HAM, kebudayaan, hingga pertahanan.

Kebijakan publik

Dirgayuza menawarkan berbagai kebijakan yang telah berhasil dilakukan oleh para pemimpin dari berbagai negara. Mulai dari presiden, gubernur, bupati, walikota, juga Anggota DPR. Berbagai kebijakan tersebut telah berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.

Buku ini ditulis secara sangat sederhana, ringkas dan to the point. Setiap usulan kebijakan dipaparkan secara ringkas dengan menyertakan empat hal: (1) contoh di negara mana saja kebijakan publik itu telah diimplementasikan; (2) konteks kebijakan; (3) dampak atau hasil kebijakan tersebut setelah terimplementasi; dan (4) relevansinya bagi Indonesia. Setelah setiap paparan empat hal tersebut, Dirgayuza juga memberikan keterangan tambahan singkat berupa data statistik dalam bentuk tabel.

Dirgayuza membuat format buku seperti itu agar memudahkan pembaca langsung menangkap substansi buku. Bahkan sejak daftar isi. Buku yang berjumlah 215 halaman, daftar isinya sebanyak 14 halaman.

“Disusun dengan ringkas, pembaca yang tidak hobi membaca akan mendapat banyak manfaat dari sekedar membaca daftar isi buku ini,” tulis Dirgayuza (hlm. 3).

Seperti apa contoh kebijakan publik yang disajikan? Beberapa di antaranya telah dilaksanakan di Indonesia, namun belum optimal dan perlu pembenahan. Misalnya, terkait Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Di Indonesia, program BLT kerap diberitakan penuh dengan masalah. Mulai dari pendataan, penyaluran, hingga penggunaannya. Bahkan, menurut hasil riset Economic and Development Studies (CEDS) Universitas Padjajaran pada tahun 2020, ditemukan banyak orang miskin penerima BLT justeru membelanjakan uang BLT beli rokok.

Mencontoh kebijakan dari negara Brazil, Dirgayuza pun mengajukan proposal agar persyaratan BLT tidak hanya berdasarkan pendapatan dan kepemilikan aset si penerima bantuan. Tapi juga harus bersyarat. Di sana, kebijakan BLT bersyarat semacam itu dikenal dengan program Bolsa Familia.

Penerima BLT adalah ibu rumah tangga. Syarat yang harus dipenuhi oleh ibu penerima BLT ada tiga. Pertama, tingkat absensi kehadiran di sekolah anak si penerima BLT harus di atas 80%. Kedua, mendapatkan vaksin reguler secara berkala. Ketiga, cek kesehatan rutin di Puskesmas untuk memastikan keterpenuhan gizi anak.

Apa dampak dari BLT bersyarat semacam itu? Dirgayuza menulis, “Angka kemiskinan turun menjadi 12,3% populasi, indeks gini turun 4,6%, partisipasi anak di sekolah naik 2,5%, pekerja anak turun 2,7% dan kematian balita turun 1,2%” (hlm. 81).

Beberapa ide cukup menarik dan out of the box. Misalnya, perlunya Menteri Keselamatan Internet (hlm. 61) dan Menteri Generasi Mendatang (hlm. 141) seperti di Inggris, Angkatan Luar Angkasa seperti di Amerika (hlm. 189), pajak pendapatan hingga 57% bagi kaum tajir melintir seperti di Denmark (hlm. 159), diklat dan ujian pra-pernikahan dengan konselor terakreditasi, gedung terintegrasi tempat Presiden/Perdana Menteri beserta para menteri kabinetnya guna efektifitas dan efisiensi pemerintahan seperti di Singapura (hlm. 83). Dan masih banyak lagi.

Aral melintang

Tidak semua gagasan yang Dirgayuza ambil dari negara lain kiranya dapat dengan mudah diterapkan di Indonesia. Perlu dimodifikasi agar berkesesuaian dengan kondisi dan situasi setempat. Contohnya terkait bidang hukum dan keamanan.

Misalnya ketika Dirgayuza menawarkan agar setiap mesin ATM diberi kode khusus agar jika terjadi situasi darurat seperti di Spanyol. Gunanya, jika terjadi penodongan, pengguna ATM dapat menekan kode tersebut agar polisi segera datang. Di Spanyol, kebijakan ini memang berhasil menurunkan 20% perampokan di ATM sejak kali pertama diterapkan di tahun 2006 (hlm. 57).

Di Indonesia? Salah satu institusi hukum yang sarat akan kritik dari publik adalah kepolisian. Setengah matinya rakyat dalam mencari perlindungan hukum dan keadilan, secara mudah dapat kita ketahui dari banyaknya kesaksian netizen di jagat maya. Akumulasi kegundahan publik terhadap kepolisian pun bahkan mewujud ke dalam berbagai ungkapan satire.

Kepayahan masyarakat mencari keadilan jika sebuah perkara belum tersebar luar diungkapkan dengan “No Viral, No Justice”. Ada pula ungkapan mengenai potensi kerugian secara finansial yang harus ditanggung seseorang akibat mahalnya biaya untuk mengurus sebuah perkara yang dapat justeru dapat membuat seseorang justeru kehilangan harta benda. Hal ini bagaikan, “Hilang kambing, sapi ikut hilang”.

Adalah Alvin Lim, sosok yang belakangan ini begitu getol mengkritisi aparat penegakan hukum di Indonesia. Berangkat dari kepedulian dan kecintaannya terhadap institusi Polri, Alvin Lim yang merupakan seorang advokat kerap mengkritisi oknum-oknum Polri yang menurutnya telah menodai institusi kepolisian. Dalam channel YouTubenya, Quotient TV, Alvin Lim membuat sebuah video berjudul “Blak-Blakan: Tarif Oknum Polri”.

Dari pengalaman praktisnya sebagai mengurus perkara di kepolisian, Alvin Lim mengulas tarif yang harus dia keluarkan untuk mengurus suatu kasus hukum. Bisa sampai ratusan juta rupiah. Mulai dari tahap pelaporan, penyidikan, penyelidikan, hingga status tersangka semua ada biayanya. Permintaan pun masih belum pasti terwujud jika pihak lawan bisa membayar dengan harga yang lebih tinggi.

Contoh lain lagi dari buku Dirgayuza, yakni terkait kebijakan guna pengentasan kemacetan dengan solusi transportasi publik massal. Seperti upaya pengentasan macet dan polusi udara dengan pengadaan transportasi publik seperti di Australia (hlm. 123) dan China (hlm. 129).

Kiranya gagasan semacam ini berpotensi memantik murka durjana pengusaha raksasa di bidang otomotif. Mereka begitu menikmati keuntungan besar dari penjualan ratusan ribu unit kendaraan saban tahun dan telah menjejali jalan-jalan kita. Belum lagi tantangan ketersediaan ABPN dan kondisi sosio-kultural dan politik di Indonesia.

Dengan demikian, persoalan buku ini ada pada tataran implementasi. Pada titik ini, kita pun bertanya, maukah elite politik kita menaikkan taraf hidup masyarakat? Di tahun politik ini, jelang Pemilu 2024, di sinilah berbagai gagasan seperti yang ditawarkan Dirgayuza menemukan relevansinya. Kita perlu mendesak para calon pemimpin dan wakil rakyat, meskipun beragam aral melintang, agar mereka berkomitmen terhadap gagasan yang berpihak pada kepentingan masyarakat.

Upaya Dirgayuza memantik percakapan publik dan menginspirasi pembuat kebijakan merupakan hal yang amatlah berharga. Buku ini juga menyisakan ruang interaktif dan reflektif bagi pembaca agar juga turut serta menuangkan gagasan (hlm. 200-204).

Saintifikasi politik

Pada bab akhir buku, Dirgayuza mengajak pembaca melakukan semacam refleksi kritis terhadap berbagai kebijakan yang telah terimplementasi di Indonesia. “Periode menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu momen terbaik untuk melakukan evaluasi atas kebijakan publik yang sudah berjalan, dan menghasilkan revisi kebijakan atau kebijakan baru,” tulisnya (hlm. 195).

Dirgayuza pun mengungkapkan proses kreatif pembuatan buku ini yang merupakan hasil pengolahan data yang diperoleh dari Kecerdasan Buatan, Artificial Intelligence (AI). Dia menghimpun ide-ide kebijakan publik tersebut dalam rangka menginspirasi penaikan taraf hidup masyarakat terjadi di Indonesia. Berbagai kebijakan itu telah berdampak positif dan terbukti berhasil diimplementasikan di berbagai negara.

Dirgayuza menjelaskan, saat mengambil S2 jurusan ilmu sosial di Universitas Oxford, dirinya belajar bagaimana kemajuan teknologi, terutama Big Data dan Artificial Intelligence, dapat digunakan dalam menyusun kebijakan publik yang tepat. Dalam kapasitas tertentu, Kecerdasan Buatan bahkan dapat jauh lebih cerdas dari manusia dalam membantu merumuskan kebijakan publik.

Kita tentu masih ingat misalnya Juni 2023 lalu saat Presiden Joko Widodo geram lantaran anggaran penanganan stunting di sebuah daerah tidak optimal dan tepat sasaran. Diberitakan bahwa daerah itu telah dialokasikan dana Rp.10 miliar untuk mengatasi stunting.

Konyolnya, dari total dana Rp.10 miliar itu, hanya Rp.2 miliar yang digunakan untuk membeli telur, susu, daging dan sayur guna menangani stunting. Sebesar Rp.6 miliar digunakan untuk rapat dan perjalanan dinas. Efisiensi dan efektifitas yang ditawarkan teknologi kiranya dapat meminimalisir kejadian pemborosan anggaran semacam itu.

Jika ditilik secara mendalam, implikasi dari pesan moral buku ini punya daya ledak untuk menciptakan semacam revolusi politik di Indonesia. Dirgayuza seperti ingin menginjeksikan sains dan teknologi ke dalam tubuh politik kita yang selama ini bekerja memproduksi kebijakan publik.

Politik yang bekerja dalam ruang gelap dan tertutup harus disinari oleh sains dan teknologi yang punya karakter rasional, obyektif, empirik dan akumulatif. Sehingga diharapkan dapat menaikkan kualitas perpolitikan kita di Indonesia. Sebab, terlalu banyak rangkaian kedunguan pada kebijakan publik yang telah menjerat kehidupan sehari-hari kita berbangsa dan bernegara.

Buku ini kiranya juga akan mengancam keberadaan kaum politisi “luddite”. Luddite merupakan orang yang menentang dan tidak suka dengan teknologi atau tidak kompeten ketika memakai teknologi baru. Konon, sikap anti-teknologi semacam itu terutama berangkat dari alasan bahwa perangkat teknologi yang mengancam atau mengganggu privasi.

Melaui buku ini, Dirgayuza semacam sedang menawarkan eksperimen “saintifikasi politik” di Indonesia. Agar politik bekerja secara positivistik, dalam hal perumusan kebijakan publik dan anggaran yang dihabiskan Pemerintahan. Agar keputusan-keputusan politik yang berkaitan hajat orang banyak berjalan transparan dan akuntabel. Bukan semata faktor like-dislike, apalagi hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok belaka.

Selain efektifitas dan efisiensi, paling tidak dengan teknologi kita bisa meminimalisir kecenderungan manusia untuk berperilaku seperti ungkapan “manusia adalah tempatnya salah dan lupa” (al-insanu mahallul khatha’ wan nisyan).

Peran teknologi

Kita bisa ambil contoh dari bagaimana teknologi bekerja di dunia olahraga. Ketika sepakbola baru pertama kali menerapkan teknologi Video Assistant Referee (VAR) pada Piala Dunia 2018 di Rusia, banyak pesepakbola dan manajer yang menentang. VAR dianggap merusak integritas liga dan membunuh intuisi wasit sebagai manusia dalam mengambil keputusan akibat digantikan mesin.

Ternyata, terbukti kemudian, VAR justeru berjasa dalam meminimalisir kesalahan maupun kecurangan, serta meningkatkan akurasi keputusan sepanjang pertandingan. Semua mata penonton bahkan dapat terlibat mengawasi dan memahami berbagai keputusan wasit di lapangan. Implikasi hadirnya sains dan teknologi dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik tentu tidak sederhana.

Memang Dirgayuza tidak langsung menunjuk hidung aktor dan carut-marutnya politik sebagai biang kerok rendahnya taraf hidup masyarakat Indonesia. Lagi pula, sains dan teknologi tidak punya kapasitas menjadikan politik bekerja secara mekanistik-deterministik. Akan tetapi, kiranya implikasi penerapan tawaran Dirgayuza “mensaintifikasi” kebijakan publik pada gilirannya akan merombak tatanan politik itu sendiri. Sebab, kebijakan publik adalah produk politik.

Sebagai informasi, Dirgayuza mengenyam pendidikan Ilmu S1 jurusan Politik dan Media Komunikasi di Universitas Melbourne, Australia. Dia pernah bekerja magang sebagai WNI pertama di Kantor DPRD setempat untuk membuat, mengusulkan, dan mendebatkan berbagai kebijakan publik di Negara Bagian Victoria, Australia. Pria kelahiran 1989 ini juga punya pengalaman berkeliling ke berbagai negara saat bekerja di perusahaan konsultasi manajemen nomor satu di dunia: McKinsey dan Company.

Dirgayuza telah menulis dan mengeditori puluhan buku dengan topik beragam, di antaranya: teknologi digital, media sosial, leadership, militer, dan eko-politik. Buku terbarunya ini selain tersedia dalam versi cetak, juga tersedia dalam bentuk PDF.

Demi menggugah percakapan politik kita menjadi lebih berkualitas dengan mengarahkannya pada gagasan perbaikan taraf hidup masyarakat, untuk kemajuan bangsa dan negara, Dirgayuza mewakafkan file PDF buku ini secara gratis bagi siapa saja yang ingin memilikinya.

Ada ungkapan mengenai teori Butterfly Effect, “Kepak sayap kupu-kupu di Brazil mengakibatkan sebuah tornado di Texas”. Semoga ikhtiyar Dirgayuza Setiawan menerbitkan buku inspiratif ini dapat menciptakan angin perubahan besar bagi perbaikan politik dan taraf hidup masyarakat di Indonesia. Sebuah buku sederhana untuk menyongsong kemajuan bangsa dan negara kita.

*Penulis merupakan Wasekjend PP TIDAR

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER