Jumat, 22 November, 2024

Membangun Koalisi Demi Tiket Cawapres

Oleh: Imron Wasi*

Saat ini, dinamika politik yang tampil pada panggung depan politik (frontstage politics) nasional pada Pemilu 2024 tersaji secara gradual. Secara mutakhir, tercermin pada terbentuknya kongsi politik baru, terutama bergabungnya Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Amanat Nasional (PAN) ke koalisi yang sudah terbentuk sedari awal, seperti Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang terdiri dari Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kongsi politik baru ini berawal dari deklarasi dukungan yang diberikan oleh kedua partai koalisi pemerintahan ini untuk mengusung maupun mendukung bakal calon presiden Prabowo Subianto agar bisa melaju pada Pemilu 2024 mendatang. Deklarasi politik dukungan terhadap kandidat potensial ini dilakukan oleh Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) pada Minggu (13/8/2023) di Gedung Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat.

Sebelumnya, Partai Kebangkitan Bangsa sudah membangun koalisi dengan Partai Gerindra selama satu tahun yang lalu. Selama rentang waktu tersebut, kedua partai politik ini belum mencapai konsensus dalam menentukan posisi calon wakil presiden yang akan menjadi kandidat wakil presiden dari Prabowo Subianto. Dalam kaitan ini, setelah satu tahun tersebut, kondisi politik di internal koalisi ini juga belum mengalami perubahan, terutama dalam kondisi posisi cawapres, melainkan hanya sekadar perubahan pada bertambahnya komposisi koalisi, yakni bergabungnya Partai Golkar dan PAN.

Bahkan, sebelum kedatangan Partai Golkar dan PAN ke dalam KKIR, koalisi KKIR antara Gerindra dan PKB secara hubungan juga menimbulkan interaksi yang fluktuasi, seperti PKB yang selalu mencoba menampilkan figur Muhaimin Iskandar yang akan diusung sebagai cawapres dari Prabowo Subianto. Namun, sampai saat ini, posisi ini belum juga diumumkan. Dengan demikian, bergabungnya Partai Golkar dan PAN ke dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) juga akan menambah sikap politik Partai Gerindra semakin dilematis.

- Advertisement -

Sebab, bergabungnya kedua partai ini akan berimplikasi terhadap pembangunan koalisi pada Pemilu 2024. Bergabungnya kedua partai politik ini bukan tanpa alasan yang rasional, melainkan sudah menjadi bahan pertimbangan sebelum menentukan sikap politik, terutama dalam meraih posisi cawapres. Meskipun, bentuk dukungan ini secara eksplisit sangat cepat, di tengah tiada aral melintang secara politik. Hal ini ditengarai ada kekuatan atau blok politik yang besar yang turut memengaruhi keputusan politik dari Partai Golkar dan PAN. 

Koalisi Semu

Partai politik sebagai peserta pemilu 2024 sudah memiliki kongsi politiknya masing-masing dan sampai saat ini secara faktual sudah ada tiga kongsi politik yang sudah terbentuk dalam memberikan dukungannya kepada ketiga kandidat potensial yang akan menjadi capres 2024 yang terdiri atas Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Pertama, Koalisi Perubahan untuk Persatuan, misalnya, yang terdiri dari Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Demokrat sudah sejak awal mengusung Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden pada Pemilu 2024 mendatang. Kedua, partai politik sebagai pemilik golden ticket seperti PDI Perjuangan juga menjalin koalisi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Perindo, dan Partai Hanura.

Sebagai pemegang tiket utama, PDI Perjuangan mengusung Ganjar Pranowo sebagai kandidat yang akan diusung, karena Ganjar juga sebagai kader PDI Perjuangan yang dalam berbagai lembaga survei, namanya terus mentereng berada di posisi teratas. Kendati demikian, sebelum dideklarasikannya Ganjar Pranowo oleh PDI Perjuangan, PDI Perjuangan juga mengalami dinamika politik di internal, antara figur Puan Maharani atau Ganjar Pranowo yang akan diusung, terlebih dalam ruang publik memunculkan blok dukungan di internal. Namun, karena posisi Ganjar Pranowo yang selalu bertengger di atas dalam berbagai lembaga survei, membuat PDI P memberikan dukungannya kepada Gubernur Jawa Tengah ini untuk melaju dalam kompetisi elektoral 2024 mendatang. Setelah itu, partai berlambang banteng ini juga memperoleh dukungan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan sejumlah partai politik lainnya.

Kemudian, blok politik yang terakhir seperti Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya juga memiliki kekuatan politik yang besar. Hal ini tentunya membuka kans politik Prabowo Subianto semakin besar dan tentu sangat menguntungkan, terlebih didukung oleh lima partai politik seperti Gerindra, PKB, Golkar, PAN, dan PBB. Dalam hal ini, dari ketiga poros koalisi yang sudah terbentuk ini masing-masing memiliki kekuatan politiknya. Koalisi Perubahan untuk Persatuan memiliki kekuatan politik di parlemen sebanyak 163 kursi, di mana Partai Nasdem 59 kursi, PKS 50 kursi, dan Demokrat 54 kursi. Dengan kata lain, dari ketiga entitas politik ini, bisa mengusung kandidat Anies Baswedan menjadi calon presiden. Sementara itu, PDI Perjuangan yang sesungguhnya bisa mengusung kadernya secara otonom juga tampaknya membutuhkan partai politik lainnya untuk meraih tampuk kekuasaan untuk yang ketiga kalinya.

Di antara partai politik yang mendukung Ganjar Pranowo adalah PPP yang memiliki kursi di parlemen 19 kursi. Sedangkan, Prabowo Subianto memperoleh dukungan yang besar dari partai politik yang masuk ke dalam kabinet, seperti Gerinda memiliki kursi di parlemen sebanyak 78 kursi, Golkar 85 kursi, PAN 44 kursi, dan PKB 58 kursi. Di antara ketiga poros koalisi yang sudah terbentuk ini, terutama yang membangun blok politik besar adalah KKIR, yang secara akumulasi kursi parlemen memperoleh dukungan sebanyak 265 kursi. Jumlah ini lebih besar, apabila ditilik pada blok koalisi lainnya. 

Sebelum terbentuknya poros koalisi, partai politik secara intensif membangun komunikasi politik maupun yang sudah menciptakan koalisi lebih awal, tanpa menimbang dan memerhatikan aspek ideologi dan platform kerja partai politiknya. Partai politik sebagai peserta pemilu cenderung pragmatis dan mengabaikan sesuatu yang inheren bagi institusionalisasi partai politik. Hal ini karena partai politik tampaknya masih memiliki ketergantungan kepada para pemilik modal, terutama dalam menghadapi kompetisi elektoral ini di tengah keterbatasan anggaran yang dimiliki. Sehingga, membuat partai politik terisolasi dari identitasnya sebagai partai politik yang bersifat mandiri. Partai politik yang mengabaikan dimensi ideologi dan platform partai politiknya tentunya akan mudah terjerembab pada relasi kuasa yang berimplikasi pada mudahnya memberikan dukungan kepada kandidat tertentu sesuai instruksi dari para pemilik modal atau disebut juga sebagai oligarki politik.

Kondisi politik nasional ini juga belum mencapai titik kulminasi dalam pembentukan koalisi. Meskipun partai politik sudah membangun kongsi politiknya, entitas politik ini akan mengalami perubahan dalam menentukan dukungannya dengan indikator elektabilitas, logistik untuk kompetisi, dan yang paling utama preferensi pilihan dari Joko Widodo. Sebab, indikator yang terakhir ini memiliki kekuatan besar, karena dukungan publik terhadap pemerintahan Joko Widodo juga tinggi. Sebelum Partai Golkar dan PAN bergabung, kedua partai politik ini sesungguhnya sudah membentuk poros Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), termasuk Partai Persatuan Pembangunan. Sejak dukungan yang diberikan PPP ke Ganjar Pranowo, koalisi ini diambang batas friksi, terutama Partai Golkar, yang ketua umumnya digoyah oleh internalnya karena belum menentukan sikap politik yang utuh. Akibatnya, Partai Golkar dan PAN menentukan sikap bergabung dengan KKIR dan Koalisi Indonesia Bersatu akhirnya kandas sebelum kompetisi elektoral berlangsung. 

Berebut Tiket Cawapres

Meskipun ketiga poros koalisi sudah terbentuk menjelang masa pendaftaran pada Pemilu 2024, tidak ada yang menjamin atau memberikan garansi politik yang komprehensif di mana partai politik tersebut akan selalu berada dalam satu kongsi politik yang sama. Dukungan yang diberikan tentunya ada unsur vested interest partai politik tersebut, misalnya, sampai detik ini dari ketiga poros koalisi saat ini yang sudah terbentuk, belum ada satu koalisi yang sudah mendeklarasikan calon wakil presidennya. Oleh sebab itu, hal inilah yang akan membuka perseteruan politik dalam memperebutkan tiket cawapres di satu sisi, dan di sisi yang lain akan ada pula upaya komunikasi yang dilakukan dalam panggung belakang politik (backstage politics). Komunikasi politik dua arah ini akan dilakukan di balik layar oleh partai politik, di tengah pendulum politik yang masih dinamis, termasuk dalam koalisi, karena semua poros koalisi sudah mengunci satu sama lain jika entitas politik ini membangun komunikasi melalui  panggung depan politik.

Dari ketiga poros partai politik yang sudah ada, dua poros koalisi yang sudah memberikan dukungannya sekaligus yang terafirmasi saat menjalin kerja sama politiknya selalu memberikan “ultimatum politik” agar posisi cawapres segera diumumkan, misalnya, PKB juga mengusung ketua umumnya, Muhaimin Iskandar yang akan mengisi posisi cawapres dari Prabowo Subianto maupun Partai Demokrat yang tetap mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi cawapres dari Anies Baswedan. Kedua partai politik ini, baik PKB maupun Partai Demokrat memberikan ‘ultimatum politik’ ini bukan tanpa alasan. Sebab, jika tidak terakomodasi keinginan dari kedua partai politik ini, tidak menutup kemungkinan, entitas politik ini akan pergi dan memberikan dukungannya pada koalisi lainnya. Di tengah tidak terakomodasinya kepentingan partai politik ini, sudah tentu akan menimbulkan friksi di internal koalisi. Membangun harmonisasi dalam koalisi memang tidaklah mudah, membutuhkan komitmen, persamaan persepsi, kerja sama, pemahaman bersama dan soliditas yang ekstensif dan legowo terhadap keputusan yang sudah diambil secara kolektif.

Kehadiran Partai Golkar dan PAN pada KKIR juga membuat konsensus awal antara Gerindra dan PKB juga akan goyah, karena Partai Gerindra akan juga mempertimbangkan kekuatan politik dari Partai Golkar dan PAN, terlebih kedua partai politik ini juga mengusulkan kandidat alternatif untuk posisi cawapres dari Prabowo Subianto. Secara implisit, kehadiran dua entitas politik ini juga membuat posisi cawapres dari PKB akan sedikit terisolasi. Partai Golkar, misalnya, memiliki kader yang bisa ditawarkan seperti Airlangga Hartarto maupun Ridwan Kamil. Sedangkan, PAN juga dari awal memiliki prinsip politik di mana posisi koalisi politiknya, Erick Thohir yang harus menjadi cawapresnya, termasuk dalam KKIR. Semakin besar dukungan politik yang diberikan, akan semakin sukar juga dalam menentukan kandidat cawapresnya. Sebab, baik PKB, Golkar, maupun PAN memiliki figurnya masing-masing.

Menjelang masa pendaftaran, Partai Gerindra sudah tentu akan mencoba menjaga soliditas koalisi yang sudah terbentuk. Meski demikian, kasak-kusuk politik akan selalu berkelindan dalam KKIR, karena PKB, Partai Golkar, dan PAN turut menyodorkan kandidat-kandidatnya untuk bisa berjalan bersama dengan Prabowo Subianto. Partai Kebangkitan Bangsa, misalnya, ada figur Muhaimin Iskandar, di mana partai politik ini juga memiliki basis wilayah besar yang determinan dalam menentukan kemenangan pada kompetisi elektoral, termasuk jam’iyah Nadhlatul Ulama, terlebih PKB pada Pemilu 2019 juga menjadi penentu kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Keberhasilan PKB ini tampaknya menjadi bahan pertimbangan utama bagi Partai Gerindra.

Selain itu, Partai Golkar juga bisa saja mengusulkan figur Airlangga Hartarto maupun Ridwan Kamil, terlebih Ridwan Kamil secara elektabilitas dan akseptabilitas publik juga tinggi atau opsi terakhir dari Partai Golkar adalah mendukung Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal calon presiden dari Prabowo Subianto. Pilihan politik ini bisa muncul ketika sudah ada keputusan terkait ambang batas usia pencalonan capres-cawapres yang sedang dan masih diproses Mahkamah Konstitusi. Kemudian, PAN menyodorkan Erick Thohir. Salah satu menteri di kabinet Jokowi, Erick Thohir tentunya memiliki kans besar untuk bisa melaju  menjadi cawapres, terutama ia memiliki hubungan baik dengan pimpinan Nahdlatul Ulama. Dengan kata lain, dalam KKIR ini ada dua figur yang memiliki afiliasi ke Nahdlatul Ulama, yaitu Muhaimin Iskandar dan Erick Thohir, ditambah menteri BUMN ini juga didukung oleh PAN yang terasosiasi ke Muhammadiyah.

Dalam poros Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) juga masih dinamis. Dinamika di internal koalisi ini juga masih belum mendeklarasikan cawapresnya. Padahal, koalisi ini sudah dari awal mengusung dan mendukung Anies Baswedan. Secara faktual, koalisi ini mencoba melihat dan menunggu pasangan capres-cawapres dari koalisi lainnya. Sebagai partai koalisi di KPP, Partai Demokrat mengusung Agus Harimurti Yudhoyono untuk menjadi cawapres dari Anies Baswedan. Namun, hal ini tidaklah mudah. Sebab, partai koalisi lainnya, Partai Nasdem dan PKS juga akan mempertimbangkan figur-figur lainnya. Dan poros koalisi yang terakhir juga masih sama belum menentukan posisi cawapresnya. Tapi, bergabungnya Sandiaga Uno ke PPP dan dukungan yang diberikan PPP ke Ganjar Pranowo, membuka kans pasangan Ganjar Pranowo-Sandiaga Uno.

Peta politik ini bisa mengalami perubahan, tergantung pendulum politik menjelang masa pendaftaran capres-cawapres dan yang terakhir, restu atau dukungan politik Jokowi menjadi sangat penting bagi kandidat tertentu. Saat ini, hubungan Jokowi terlihat terjalin aktif dengan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Dalam kaitan ini, koalisi pemerintahan sebagian besar mendukung Prabowo Subianto untuk melenggang menjadi capres 2024. Sehingga, membuka diskursus baru terkait relasi Jokowi dan Ganjar serta PDI P yang mulai merenggang.

*Penulis Adalah Manager Riset dan Advokasi Publik Netfid Indonesia

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER