MONITOR, Jakarta – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengutuk keras segala bentuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang kembali terjadi di Gang Royal, Kota Jakarta Utara, DKI Jakarta. Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati mengungkapkan kasus TPPO yang kembali terjadi di Gang Royal berkedok tawaran kerja di klinik kecantikan namun para korban perempuan dipaksa menjadi pekerja seks komersil dan pemandu lagu.
“Kami menyampaikan keprihatinan yang begitu mendalam khususnya kepada 30 (tiga puluh) orang perempuan korban TPPO yang dipaksa untuk menjadi pekerja seks komersil dan pemandu lagu. Kasus TPPO di Gang Royal ini bukanlah yang pertama kalinya terjadi, Kepolisian Republik Indonesia yang dibantu oleh beberapa pihak terkait pun telah beberapa kali berhasil mengungkapnya,” ujar Ratna dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (20/5/2023).
Ratna turut mengapresiasi langkah cepat dan kerja akurat tim Kepolisian Republik Indonesia, Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DPAPP) Provinsi DKI Jakarta, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) DKI Jakarta, dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta, serta seluruh pihak yang turut andil menangani kasus TPPO di Gang Royal.
“Dalam upaya penanganan para korban TPPO di Gang Royal ini kami akan berkoordinasi secara intens dan berkelanjutan untuk terus memantau perkembangan kasus ini sebagai bentuk pemenuhan hak-hak para korban. Kami tentunya siap mendampingi para korban baik secara fisik maupun psikologis jika dibutuhkan,” tegas Ratna.
Ratna mengemukakan, kasus TPPO merupakan suatu kasus yang kompleks dan berbasis sindikat sehingga penanganannya pun dibutuhkan keseriusan dan keberlanjutan yang melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, elemen masyarakat, dunia usaha, lembaga masyarakat, akademisi, hingga media untuk bersama-sama menjalankan komitmennya melalui berbagai aksi nyata sesuai dengan tugas, fungsi, dan peran masing-masing dalam pemberantasan TPPO.
“Seperti yang kita ketahui bersama, TPPO rentan terjadi kepada perempuan terutama di kota-kota besar seperti Jakarta yang memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk meningkatkan taraf ekonominya. Dengan berbagai modus yang dijalankan, sindikat TPPO mampu memancing para korban yang mayoritasnya adalah perempuan dengan iming-iming pekerjaan bergaji besar melalui proses perekrutan yang begitu sederhana dan mudah. Bahkan sindikat TPPO pun kini telah menggunakan media sosial sebagai salah satu media perekrutan yang mudah menggapai seluruh lapisan masyarakat,” ungkap Ratna.
Lebih lanjut, Ratna menjelaskan, berulangnya kasus TPPO di Gang Royal merupakan gambaran nyata begitu pelik dan kompleksnya kasus TPPO dan perlu menjadi perhatian bersama bahwa pencegahan dan penanganan TPPO harus diselenggarakan secara serius, terpadu, multi pihak, dan berkelanjutan dimulai dari tingkatan akar rumput hingga pemerintah pusat.
“Berpijak dari berulangnya kasus TPPO di Gang Royal ini, saya berharap masyarakat luas mulai dari keluarga, rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), desa/kelurahan, kabupaten/kota, pemerintah daerah, provinsi, pusat, dan terutama Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT PP TPPO) untuk semakin serius dan berkontribusi dalam upaya pencegahan dan penanganan TPPO. Komitmen yang kuat, implementasi nyata, sinergi dan kerjasama berkelanjutan dari semua pihak merupakan kunci dari pemberantasan TPPO,” tutur Ratna.
Tidak sampai disitu, Ratna pun mengingatkan kepada setiap wilayah dengan kota besar seperti Jakarta perlu kembali mengkaji ulang dan menertibkan bisnis sewa indekos, hunian sementara, apartemen, perhotelan, hingga bisnis berkedok hiburan yang kerap kali menjadi ladang untuk transaksi TPPO dan berbagai bentuk kejahatan terkait lainnya. Ratna pun menekankan, edukasi kepada masyarakat terkait TPPO secara terus menerus yang dilakukan secara berkesinambungan dengan pemberdayaan ekonomi harus terus dilakukan sebagai langkah awal dalam upaya pencegahan dan mengurangi terjadinya ancaman TPPO.
Salah satu upaya pencegahan yang telah dilakukan oleh Kemen PPPA pun turut disampaikan Ratna. Kemen PPPA bekerjasama dengan pemeritah daerah dan Kementerian/Lembaga terkait lainnya berkoordinasi dalam upaya pencegahan dan penanganan melalui edukasi kepada masyarakat di area kantong-kantong pekerja migran Indonesia (PMI) yang rawan TPPO. Pada peringatan Hari Dunia Anti TPPO pada 30 Juli 2023 silam, Kemen PPPA bersama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian/Lembaga terkait lainnya menyelenggarakan edukasi yang dilakukan secara masif kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait di kawasan RPTRA Kalijodo Jakarta Utara. Kemen PPA pun terus menggaungkan kampanye Dare to Speak Up atau Berani Berbicara pada masyarakat luas.
“Selain mengadukasi masyarakat dalam bentuk tradisional, Kemen PPPA juga melakukan edukasi yang dikemas melalui kampanye secara masif dalam memerangi, melawan, dan menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak dimana TPPO termasuk di dalamnya melalui kampanye Dare to Speak Up atau Berani Berbicara. Kampanye tersebut mendorong agar para perempuan, terutama yang menjadi korban dan juga masyarakat luas untuk berani berbicara melawan segala bentuk tindak kekerasan dengan mengungkapkan dan melaporkannya,” jelas Ratna.
Kemen PPPA mendapatkan mandat tambahan fungsi sebagai penyedia layanan rujukan akhir bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang diimplementasikan melalui Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dimana masyarakat yang menjadi, mengetahui, melihat, dan mendengar perempuan dan anak korban tindak kekerasan dapat melaporkan dan mengadukan melalui kanal hotline 129 atau WhatsApp 08111-129-129. Kemen PPA mengimbau kepada seluruh masyarakat di Indonesia untuk berani berbicara dan melaporkan segala bentuk tindak kekerasan yang terjadi ataupun dialami disekitarnya.