Oleh: Ujang Komarudin*
Dalam Sidang Tahunan MPR RI, tanggal 16 Agustus 2023 yang lalu, Presiden Jokowi membuka pidato kenegaraannya dengan menyoal dan mengklarifikasi soal sebutan “Pak Lurah” yang kerap kali diucapkan oleh banyak pihak, termasuk ketum-ketum partai, ketika ditanya soal arah koalisi atau dukungan pada capres tertentu.
Sebutan atau diksi “Pak Lurah”, sejatinya bukanlah istilah asing dalam dunia politik Indonesia. Karena pasca Jokowi terpilih di Pilpres 2014, dan ketika kekuasaannya semakin kuat, banyak pihak menyebut presiden dengan nama pengganti, yakni Pak Lurah.
Sebutan “Pak Lurah” tersebut mungkin tidak nyaman bagi presiden, karena istilah Pak Lurah sering disalah artikan, dijual, diklaim, ditarik-tarik, jadi tameng, bahkan bemper untuk hal-hal yang negatif. Suatu contoh, ketika ketum partai ditanya oleh media soal arah dukungan partainya, sang ketum mengatakan, belum ada petunjuk atau arahan dari Pak Lurah.
Karena begitu seringnya nama “Pak Lurah” dijual dan disebut-sebut untuk cawe-cawe dalam koalisi, maka kelihatannya Jokowi mulai gerah dan dengan lantang dan tegas mengatakan, “Saya bukan Pak Lurah, tapi Presiden RI”. Sekilas pernyataan presiden tersebut bagus, untuk mempertegas dan memperjelas bahwa Jokowi tidak ikut cawe-cawe dalam arah dukungan partai dalam mendukung capres tertentu.
Namun saya melihatnya, apa yang disampaikan presiden tersebut, justru bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang pernah mengatakan, “Saya cawe-cawe demi kepentingan bangsa dan negara”.
Kenapa terjadi paradoks dari pernyataan presiden, para pendukungnya mengatakan, bahwa pernyataan cawe-cawe untuk kepentingan bangsa, beda konteksnya dengan tidak cawe-cawenya Jokowi dalam menentukan arah koalisi partai-partai. Karena kelihatannya Jokowi tidak mau Namanya dijual-jual dan tidak mau disalahkan.
Namun rakyat Indonesia sudah sangat cerdas, dalam membaca statement presiden. Publik melihatnya ada yang tidak konsisten dengan pernyataan-pernyataan presiden, inkonsistensi itulah yang dianggap Jokowi dalam menggunakan standar ganda atau standar berbeda dalam menilai sesuatu.
Cawe-cawe tak dilarang oleh Konstitusi, Undang-undang, dan regulasi turunan lainnya, tak ada yang melarang seorang presiden untuk bisa melakukan cawe-cawe dalam mendukung capres tertentu. Yang tidak boleh adalah, ketika presiden melakukan cawe-cawe, menggunakan kekuasaannya dengan berat sebelah atau tidak adil. Dan berpotensi menggunakan struktur negara untuk pemenangan dalam Pilpres.
Kembali pada persoalan “Pak Lurah”, saya sendiri menyaksikan banyak berbagai pihak, termasuk para elit dan politisi menyebut Jokowi dengan panggilan “Pak Lurah”. Tentu ini panggilan belakang layar. Dan termasuk panggilan popular bagi Jokowi.
Ketika saya berdiskusi dengan salah satu Menteri di cabinet Jokowi, sang Menteri menyebut “Pak Lurah” sambil menunjuk foto Jokowi yang ada di ruangan kerjanya. Begitu juga ketika saya banyak bertemu dan berinteraksi dengan anggota DPR RI, mereka juga tak canggung menyebut “Pak Lurah” terhadap Jokowi.
Ada seorang tokoh publik, punya sedikit atau terserempet soal hukum, ketika sang tokoh tersebut ditawari dan diminta untuk jadi cawapres oleh kubu tertentu, jawaban sang tokoh sangat lugas, saya bagaimana “Pak Lurah” saja.
Ada juga partai politik, yang setiap kali akan melaksanakan Munas (Musyawarah Nasional) atau apapun namanya, ketika terjadi pergantian ketumnya, selalu melibatkan Izin dan restu presiden untuk bisa menjadi ketua umum partai tersebut. Intinya, jika ingin menang dan terpilih jadi ketum partai, harus ada izin, restu, dan dukungan dari Pak Lurah. Dan ini bukanlah rahasia umum lagi. Semua sudah paham. Dan semua juga sudah tahu.
Jadi, dibantaj atau tidak, diklarifikasi atau tidak, disangkal atau tidak. Fakta dan kenyataan, bahwa sebutan “Pak Lurah” sudah sejak lama mengarah pada sebutan ke presiden. Presiden sendiri sudah tahu dan paham, bahkan mengatakan itu sudah resiko menjadi presiden.
Kelihatannya Jokowi belajar dari pengalaman-pengalaman presiden-presiden sebelumnya, yang ketika tidak melakukan cawe-cawe, pasca lengser dan tidak lagi menjabat sebagai presiden, cenderung akan dikerjai oleh lawan politik, dan kebijakan-kebijakan yang sudah ditanamnya, bisa dirusak oleh presiden baru yang terpilih yang bukan dari kelompoknya.
Bagaimana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ketika tidak jadi presiden, langsung menjadi ketum Partai Demokrat. Dan kita tahu bersama, Partai Demokrat sempat dan akan dikudeta oleh Moeldoko. Ini bagian dari ketika orang yang sudah tak berkuasa lagi, akan cenderung dimainkan dan dikerjai oleh pihak lain.
Jokowi paham itu, Jokowi tahu itu, dan Jokowi mengerti itu. Makanya, seolah-olah demi kepentingan bangsa, Jokowi ikut cawe-cawe. Padahal bisa saja cawe-cawenya itu, untuk kepentingan diri dan keluarganya, agar secara politik, hukum, dan bisnis aman, aman ketika sudah tak lagi jadi presiden, jika capres hasil cawe-cawenya itu menang.
Apakah bentuk cawe-cawenya untuk kepentingan bangsa, atau hanya untuk kepentingan diri dan keluarga, hanya waktu yang akan menjawab itu semua, dan cobalah tanya pada rumput yang bergoyang.
Cawe-cawe tak dilarang, dan jangan juga malu-malu untuk melakukannya. Asalkan bisa adil, dan tidak menggunakan struktur negara untuk pemenangan, ya silahkan saja. Tetapi kelihatannya Jokowi ingin main aman. Jadi seolah-olah jika cawe-cawenya untuk kepentingan bangsa mau, sedangkan cawe-cawe untuk dorong-mendorong soal capres membantah.
Apapun itu, cawe-cawe atau tidak, mau disebut “Pak Lurah” atau tidak. Sejatinya presiden harus menempatkan diri sebagai presiden yang bijaksana. Dan apa yang diucapkannya harus konsisten dan mengandung nilai-nilai kebenaran dan objektivitas.
Karena siapa pun kita, presiden atau pun rakyat jelata. Yang kita pegang adalah ucapannya. Baik dan buruknya seseorang juga bisa dinilai dari ucapannya. Berbohong atau tidak juga bisa dilihat dari ucapannya. Selamat berkata baik, agar kita penuh kebaikan.
Cawe-cawe boleh, namun yang elegan. Jangan sampai main belakang. Cawe-cawelah selalu agar aman. Mungkin dengan cawe-cawe, paling tidak setelah tak berkuasa, masih bisa tidur pulas, jika cawe-cawenya menang. Jika kalah, ya resiko, paling dikerjai lawan.
*Penulis Adalah Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) & Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta