MONITOR, Jakarta – Indonesia berusaha mencapai hilirisasi komoditas-komoditas unggulan yang dimiliki, tidak hanya pada komoditas mineral, tetapi juga komoditas nonmineral, hasil pertanian, dan kelautan. Proses hilirisasi juga harus melibatkan transfer teknologi dengan memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan (EBT), serta meminimalisasi dampak lingkungan.
Hal tersebut disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT ke-78 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Rabu (16/8). Presiden menuturkan, ekonomi hijau dan hilirisasi merupakan window of opportunity bagi Indonesia untuk meraih kemajuan, dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki, termasuk bahan mineral, hasil perkebunan, hasil kelautan, serta sumber energi EBT.
“Kaya SDA saja tidak cukup, jadi pemilik saja tidak cukup. Karena itu akan membuat kita menjadi bangsa pemalas yang hanya menjual bahan mentah kekayaannya tanpa ada nilai tambah, tanpa ada keberlanjutan,” tegas Presiden.
Karenanya, Indonesia harus menjadi negara yang juga mampu mengolah sumber dayanya, mampu memberikan nilai tambah, dan mensejahterakan rakyatnya. Kebijakan hilirisasi juga didorong untuk dapat mengoptimalkan kandungan lokal dan yang bermitra dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), petani, dan nelayan, sehingga manfaatnya terasa langsung bagi rakyat kecil.
Upaya hilirisasi terus dilakukan untuk mewujudkan ekosistem besar, yang apabila telah terbentuk, didukung dengan beroperasinya pabrik pengolahannya, akan berbuah manis, terutama bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sebagai gambaran, penghentian ekspor nikel ore pada tahun 2020 menumbuhkan investasi hilirisasi nikel secara pesat. Bila hilirisasi dapat dilakukan dengan konsisten bagi komoditas nikel, tembaga, bauksit, CPO, dan rumput laut, dalam 10 tahun pendapatan per kapita diperkirakan mencapai Rp153 juta (USD10.900). Sedangkan dalam 15 tahun, diperkirakan mencapai Rp217 juta (USD15.800), serta Rp331 juta (USD25.000) dalam 22 tahun.
Untuk bisa mencapai tahapan tersebut, pemerintah telah mulai membangun fondasi berupa pembangunan infrastruktur dan konektivitas yang pada akhirnya menaikkan daya saing Indonesia. Sementara itu, berdasarkan International Institute for Management Development (IMD), daya saing Indonesia di 2022 naik dari rangking 44 menjadi 34. Ini merupakan kenaikan tertinggi di dunia.
Untuk menjalankan amanat tersebut, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menerapkan kebijakan industrialisasi berbasis hilirisasi yang memberikan berbagai manfaat, baik dalam bentuk nilai tambah industri, penerimaan negara, serta kesejahteraan masyarakat. “Pada hilirisasi nikel, Kemenperin menghitung potensi nilai tambah pada industri smelter nikel yang dapat memproduksi hingga produk hilir. Dibandingkan harga nikel ore mentah yang sebesar USD30/ton, apabila diolah hingga menjadi MHP, nilai tambah komoditas tersebut dapat meningkat hingga 120,94 kali atau mencapai USD3.628/ton,” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Untuk mengoptimalkan peningkatan nilai tambah dengan mengolah komoditas menjadi produk-produk hilir, Kemenperin melakukan langkah-langkah menghadirkan industri, di antaranya melalui promosi investasi bagi produk hilir termasuk dengan insentif fiskal dan nonfiskal, perluasan kerja sama internasional untuk mengisi pasar ekspor baru, serta memperkuat kemampuan negosiasi dan posisi dalam upaya menghadapi tekanan dari perdagangan dan diplomasi internasional.
Pada sektor industri agro, Kemenperin mengupayakan hilirisasi dapat menghasilkan produk-produk inovatif yang memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama untuk mendukung keberlanjutan lingkungan. Hilirisasi komoditas kelapa sawit menghasilkan oleo food complex yang merupakan produk-produk baru pangan modern yang sehat dan bernutrisi. Kemudian, biomaterial complex yang juga dapat memacu penguasaan teknologi dan komersialisasi industri biomaterial baru untuk substitusi impor, serta bahan bakar nabati berbasis sawit (biodiesel, green diesel, green fuel, biomass) sebagai bahan bakar EBT untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca.
Indikator pencapaian program hilirisasi kelapa sawit ditunjukkan oleh perubahan komposisi ekspor antara bahan baku dan produk olahan. Pada 2015, komposisi ekspor minyak sawit meliputi 18% CPO dan 6 % CPKO, sisanya 61% produk refinery serta 15% produk lainnya. Pada tahun 2022, komposisi ekspor bahan baku mengalami penurunan menjadi 2% CPO dan 4% CPKO, dan selebihnya merupakan produk hilir, yang meliputi 73% produk refinery dan 21% produk lainnya. Industri kelapa sawit berkontribusi sebesar 3,5 persen terhadap PDB nasional.
Industri manufaktur juga didorong untuk memanfaatkan EBT untuk mewujudkan industri yang berkelanjutan. Tercatat, beberapa kawasan industri telah berinvestasi pada penyediaan listrik dengan EBT, baik yang berasal dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), maupun sumber EBT lainnya. “Kemenperin bekerja sama dengan berbagai pihak dalam mengembangkan Eco Industrial Park (EIP) atau kawasan industri ramah lingkungan yang berimplikasi penting terhadap pelestarian lingkungan dalam sektor perindustrian,” ujar Menperin.
Untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang mendukung berjalannya hilirisasi, Kemenperin mengakselerasi Pembangunan SDM industri yang produktif, kompeten dan berdaya saing global di era transformasi digital. Dengan terus memperhatikan perkembangan teknologi dan juga dinamika di dunia internasional, kita harus terus beradaptasi terhadap paradigma dari waktu ke waktu yang semakin berkembang, antara lain terkait EBT dan digitalisasi, untuk menghasilkan green product.
“Keberhasilan hilirisasi membutuhkan dukungan dan kerja sama dari berbagai pihak untuk mengatasi tantangan-tantangan yang ada, seperti ketersediaan infrastruktur, energi, logistik, perizinan, fasilitas fiskal, maupun keamanan,” pungkas Menperin.