MONITOR, Yogyakarta – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB University, Prof.Dr.Rokhmin Dahuri, MSc menjadi pembicara utama pada acara The 5th International Symposium on Marine and Fisheries Research (ISMFR) tentang “Perikanan dan Akuakultur Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan Global”, Yogyakarta, Senin, 24 Juli 2023. Dalam orasinya, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu membeberkan Lima Strategi transformasi biru dalam sektor perikanan.
Rokhmin mengatakan pertumbuhan populasi, kemajuan teknologi, dan meningkatnya populasi manusia pendapatan (daya beli) dan taraf hidup; perekonomian dunia telah berkembang pesat sebesar 3 – 4 persen per tahun sejak awal Revolusi Industri tahun 1750 hingga 2019. GDP (Produk Domestik Bruto) dunia pada tahun 1750 hanya USD 0,5 triliunb(Sach, 2015), kemudian pada tahun 2022 mencapai USD 100 triliun (Bank Dunia, 2022).
“Seperti tiga krisis ekologis jika tidak ditangani dengan baik dan benar cepat akan mengancam tidak hanya keberlanjutan pembangunan ekonomi tetapi juga kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Oleh karena itu, tantangan eksistensial yang dihadapi umat manusia abad ke-21 ini adalah bagaimana menghasilkan makanan, energi, air, pakaian, perumahan, produk farmasi, mineral, jasa lingkungan, dan kebutuhan manusia lainnya memenuhi kebutuhan manusia yang semakin meningkat secara berkelanjutan dalam lingkungan merendahkan Planet Bumi,” ujarnya.
Sejak awal abad ke-20, terang Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu perikanan tangkap dan akuakultur telah ada memainkan peran penting dalam menyediakan makanan (terutama protein hewani), meningkatkan nutrisi dan diet sehat, menyediakan mata pencaharian, dan mengurangi kemiskinan di seluruh dunia.
Sejalan dengan pertumbuhan populasi manusia yang terus meningkat, peningkatan pendapatan (daya beli), meningkatnya kesadaran akan manfaat kesehatan yang lebih baik dari makanan akuatik (ikan dan makanan laut) daripada makanan biasa (misalnya daging sapi, ayam, dan babi), dan stagnasi atau penurunan produksi peternakan dan pertanian di darat (ekosistem darat); Rokhmin menegaskan bahwa peran perikanan budidaya dan perikanan tangkap dalam menjamin ketahanan pangan dan gizi, penyediaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan akan semakin meningkat dan semakin penting di masa mendatang.
Namun, Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, terlepas dari peran dan fungsi penting perikanan tangkap dan akuakultur untuk makanan, keamanan, pembangunan ekonomi, dan kemakmuran; kelestarian perikanan tangkap mengalami tekanan luar biasa dari berbagai pembangunan (manusia) kegiatan seperti praktik penangkapan ikan yang merusak; penangkapan ikan berlebihan; IUU (Ilegal, Tidak Diatur, dan tidak dilaporkan) penangkapan ikan; polusi; degradasi fisik mangrove, padang lamun, karang terumbu karang, sungai, danau, dan ekosistem perairan alami lainnya; dan berbagai dampak negatif perubahan Iklim Global.
“Sebagai akibat wajar, produksi ikan dunia dari perikanan tangkap terus meningkat, tetapi juga menghasilkan stok ikan habis di banyak wilayah laut dan samudra dunia. Berdasarkan penilaian FAO, proporsi stok perikanan secara biologis tingkat berkelanjutan menurun menjadi 64,6 persen pada tahun 2019, 1,2 persen lebih rendah dari pada tahun 2019,” tuturnya.
Selain itu, jelas Rokhmin Tantangan lain untuk akuakultur termasuk kenaikan harga pakan dan input produksi lainnya, dan konflik penggunaan ruang dengan pembangunan lainnya sektor. Selain itu, pengasaman laut, cuaca ekstrim, dan banjir adalah lingkungan lainnya tantangan bagi perikanan tangkap dan akuakultur.
Atas dasar problematika tersebut, Menurut Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu untuk menjadikan perikanan budidaya dan perikanan tangkap sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan makanan, produk farmasi (obat-obatan), kosmetik, biotekstil, bioenergi, dan produk berbasis sumber daya hayati akuatik lainnya secara inklusif dan berkelanjutan; masyarakat global, khususnya negara-negara pesisir (bangsa), sangat mendesak perlu menerapkan Transformasi Biru.
“Dalam konteks ini, Transformasi Biru membayangkan penggunaan teknologi canggih termasuk teknologi industri 4.0 (mis. IoT, Blockchain, Big Data, Cloud Computing, Robotika, AI, Material Baru, dan Nanoteknologi) dan Sistem Manajemen Rantai Pasokan dan Nilai Terpadu di perikanan tangkap, budidaya, industri pengolahan ikan dan biota air lainnya, danvindustri bioteknologi akuatik untuk menghasilkan semua varietas berbasis sumber daya hayati akuatik komoditas dan produk termasuk produk farmasi, bioenergi, dan makanan tanaman yang dibudidayakan dalam ekosistem perairan, secara inklusif, ramah lingkungan, dan mode berkelanjutan,” katanya.
“Blue Transformation adalah upaya yang ditargetkan untuk mempromosikan inovatif teknologi dan pendekatan yang secara berkelanjutan meningkatkan kontribusi akuatik sistem ekonomi berbasis sumber daya hayati (perikanan tangkap, budidaya, pengolahan ikan industri, dan industri bioteknologi perairan) untuk makanan, produk farmasi, dan keamanan energi; penciptaan lapangan kerja; dan kemakmuran global atas dasar inklusif dan adil,” jelas Rokhmin Dahuri.
Pada tataran praktis, Rokhmin menyebut Transformasi Biru terdiri dari lima kebijakan inti. Pertama, pengelolaan yang efektif, bertanggung jawab, dan berkelanjutan dari semua perikanan tangkap di seluruh bumi untuk menangkap (menghasilkan) ikan dan biota perairan lainnya yang bersifat bio-ekologis berkelanjutan, dan secara sosial ekonomi membuat semua nelayan sejahtera secara berkelanjutan dasar.
«Hal ini memerlukan pengurangan intensitas penangkapan ikan (jumlah kapal penangkap ikan dan nelayan) di wilayah laut, danau, dan sungai yang sudah mengalami overfishing. Di sisi lain, intensitas (usaha) penangkapan ikan harus ditingkatkan di wilayah laut yang masih ada underfishing, hingga total upaya penangkapan sama dengan 80% MSY. Selain itu, dipilih langkah-langkah pengelolaan perikanan (sebagaimana direkomendasikan dalam Kode Etik FAO 1995 Perikanan Bertanggung Jawab) juga harus dilaksanakan sesuai dengan kondisi bioekologi, ekonomi, sosial, dan budaya setempat,» ungkapnya.
Kedua, intensifikasi (revitalisasi), ekspansi, dan diversifikasi akuakultur untuk menghasilkan ikan, krustasea, moluska, alga, invertebrata, dan biota lainnya secara inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Ini sangat penting untuk memenuhi permintaan manusia yang terus meningkat akan ikan, makanan laut, dan air lainnya komoditi dan produk yang tidak mungkin berasal dari perikanan tangkap dengan a MSY samudra global terbatas sekitar 95 juta ton per tahun, dan perairan pedalaman global MSY sekitar 35 juta ton per tahun (FAO, 2022).
“Revitalisasi dimaksudkan untukbmeningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan semua unit usaha perikanan budidaya yang ada di laut, pesisir, ekosistem air tawar, tambak, dan media budidaya lainnya (wadah),” kata Prof Rokhmin.
Perluasan akuakultur berkelanjutan, lanjut Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara itu memerlukan inovasi teknologi lebih lanjut, dukungan kebijakan dan insentif di sepanjang rantai pasokan dan nilai. Ini termasuk Praktik Akuakultur Terbaik, akses ke air, optimalisasi daya dukung, identifikasi dan alokasi zona akuakultur (rencana tata ruang), perampingan.
Selanjutnya, menurut Ketua DPP PDIP Bidang Kelautan dan Perikanan itu prosedur perizinan yang terkait dengan praktik dan pemantauan lingkungan yang baik, ketersediaan tenaga kerja (tenaga kerja) yang terlatih dan terampil, produksi benih yang berkualitas dan pakan, pengaturan penggunaan bahan kimia dan antibiotik, dan biosekuriti yang ketat protokol.
“Sedangkan diversifikasi berarti penggunaan spesies baru dalam akuakultur yang tidak termasuk spesies ikan baru, krustasea, dan moluska yang menjadi sumbernya protein hewani, tetapi juga spesies baru yang mengandung senyawa bioaktif dan lainnya zat untuk berbagai industri hilir, seperti farmasi, kosmetik, biofiber, bioplastik, dan bioenergi,” tegasnya.
Ketiga, penguatan dan peningkatan teknologi pengolahan dan pengemasan ikan, krustasea, moluska, alga, invertebrata, dan flora dan fauna air lainnya dihasilkan oleh perikanan tangkap dan akuakultur. Hal ini untuk meningkatkan nilai tambah dan efek pengganda ekonomi dari perikanan tangkap dan akuakultur. Hal ini untuk meningkatkan nilai tambah dan efek pengganda ekonomi dari perikanan tangkap dan akuakultur.
Keempat, memperkuat dan mengembangkan industri bioteknologi perairan (Lundin dan Zilinskas, 1993; Attaway dan Zaborsky, 1993) yang mencakup tiga bidang: (1) bioprospecting dan ekstraksi senyawa bioaktif dan zat lain dari biota perairan yang dihasilkan baik oleh perikanan tangkap maupun budidaya sebagai bahan baku berbagai industri antara lain makanan dan minuman fungsional, farmasi, kosmetik, danvbioenergi; (2) rekayasa genetika meliputi pengurutan DNA dan rekombinan DNA menghasilkan indukan dan benih berkualitas tinggi; dan (3) rekayasa genetika mikroba untuk membersihkan (menetralkan) pencemaran di lautan, laut, danau, sungai, dan perairan lainnya ekosistem.
Kelima, meningkatkan rantai nilai untuk menjamin ekonomi, sosial, dan lingkungan kelangsungan usaha perikanan tangkap, budidaya, industri pengolahan ikan, dan perairan industri bioteknologi, dan hasil nutrisi yang aman.
“Patut dicatat bahwa teknologi dan metode yang digunakan dalam lima kebijakan inti tersebut harus nol limbah dan nol emisi Gas Rumah Kaca, hemat sumber daya, dan ketahanan terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, gempa bumi, dan bencana alam lainnya,” pungkas Rokhmin yang saat ini menjadi Penasehat Menteri Kelautan dan Perikana itu.