Jumat, 22 November, 2024

Untuk Kalian yang Akan Duduk di Senayan usai Pileg 2024, Bacalah Buku ini

Oleh: Rahmat Kamaruddin*

Genderang pesta demokrasi pemilihan legislatif 2024 perlahan mulai ditabu. Beberapa kalangan mulai merapat ke berbagai partai untuk mendapatkan tiket sebagai calon anggota legislatif. Masyarakat tentu saja berharap, DPR RI periode 2024-2029 diisi wakil rakyat yang paham persoalan dan mampu bekerja. Bukan karena berhasil lolos pemilu belaka. Apalagi yang, meminjam Iwan Fals, “hanya tahu nyanyian lagu setuju.”

Kritik terhadap DPR RI Periode 2019-2024 belakangan terus menyeruak di mana-mana. Kepentingan rakyat cenderung terabaikan. DPR RI dianggap cenderung lebih memihak kepentingan pengusaha dan kaum elite. Pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan terhadap Pemerintah dinilai tidak optimal. Rekomendasi maupun kinerja kelembagaan masih belum terlaksana seperti yang diharapkan publik.

Meski demikian, maraknya kritik terhadap lembaga DPR kiranya tidak mengurangi minat berbagai kalangan berupaya masuk ke Senayan. DPR RI adalah amanat konstitusi UUD 1945 dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan dalam mengawal kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, upaya perbaikan terhadap DPR RI adalah juga memperbaiki bangsa dan negara.

- Advertisement -

Di atas asumsi itulah kiranya buku Desmond J. Mahesa ini berpijak. Sebuah tilikan akademik berpadu dengan pengalaman empirik Desmond selama dua periode mengecimpungi Senayan. Melalui buku ini, Desmond mengajak kita membedah teks terkait fungsi-fungsi DPR RI dari perspektif historis-kritis. Bukan saja kita akan mengetahui apa dan mengapa latar belakang fungsi DPR RI, tapi juga bagaimana proses ia lahir. Kesemuanya bermuara pada ikhtiyar mengangkat harkat dan martabat DPR RI.

Stempel Pemerintah

Tinjauan historis-kritis fungsi-fungsi DPR RI di buku ini sejatinya adalah kisah penyingkapan bagaimana silang sengkarut politik hukum bekerja terhadap lembaga parlemen. Dalam buku “Politik Hukum di Indonesia”, Mahfud MD, meminjam Soedarto, menerangkan bahwa politik hukum merupakan cara untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu (2014: 2). Melalui pembacaan kritis, Desmond mendedahkan konteks ruang dan waktu yang melatari fungsi-fungsi DPR RI dalam dinamika konfigurasi politik dan implikasinya terhadap DPR RI.

Buku ini terdiri dari 11 bab. Disusun berdasarkan kronologi sejarah pembentukan fungsi DPR RI, Desmond mengajak kita menelusuri sejarah pergumulan yang terjadi hingga menjadi wajah DPR hari ini. Babakan kronologi sejarah DPR RI pada buku ini bermula dari Era Pra-Kemerdekaan, Parlemen Hinda-Belanda Volksraad (1981-1949), Masa Awal Kemerdekaan (1950-1960), Era Soekarno (1959-1966), Era Orde Baru (1967-1997), hingga kini Era Reformasi (1998-2018).

Salah satu hal yang patut digarisbawahi dalam perjalanan DPR RI adalah pengulangan sejarah yang tidak menggembirakan bagi demokrasi. Buku terbitan Penerbit Buku Kompas ini merekam beberapa drama relasi antagonistik antara DPR RI dan Pemerintah (eksekutif) yang berujung pada posisi DPR RI menjadi alat untuk melegitimasi kebijakan Pemerintah belaka. Misalnya tentang bagaimana Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto mempreteli tugas dan fungsi DPR di zamannya.

Pada Era Soekarno, DPR RI tak ubahnya seperti “tukang cap stempel” belaka. Begitu pun pada masa Orde Baru Soeharto. Desmond menulis, “Legislatif di masa Orde Lama, seperti juga nanti di masa Orde Baru, bekerja hanya sebagai tukang stempel (rubber stamp) untuk kemauan dan kebijakan eksekutif” (h.109). Mekanisme check and balances yang seharusnya hadir dengan adanya DPR RI dalam panggung demokrasi dibungkam oleh kekuasaan otoriter.

Batu Sandungan

DPR merupakan output dari hasil pelaksanaan fungsi pengkaderan dan rekrutmen calon pejabat publik oleh partai. DPR juga merupakan output dari perilaku masyarakat sebagai pemilih pada pemilihan umum. Dengan kata lain, DPR adalah cerminan masyarakat. Ada korelasi kuat yang saling memengaruhi di antara keduanya.

Namun demikian, meskipun perwakilan dari rakyat telah berhasil masuk ke Senayan, rupanya di dalam sana mereka sudah ditunggu kondisi struktural dan sistemik yang akan melemahkan mereka menjalankan fungsinya. Hal ini pun berujung pada kekecewaan rakyat itu sendiri.

Desmond menjelaskan berbagai alasan mengapa anggota DPR RI punya kecenderungan tidak bisa banyak berbuat untuk menyuarakan aspirasi rakyat saat Senayan. Pembacaan kritis Desmond terarah, baik kepada aspek internal di tubuh DPR RI itu sendiri, maupun kepada aspek eksternal di luar DPR RI.

Ketidakberfungsian DPR RI bukan tanpa sebab. Oleh karena itu, seharusnya, bagi Desmond, perlu diciptakan sistem dan mekanisme pelaksanaan fungsi DPR RI berorientasi kepada kedaulatan Anggota DPR RI yang mandiri dan berintegritas. Sebab, menurutnya, sistem yang membuat Anggota DPR lemah, hanya akan menghasilkan wakil rakyat yang lemah pula memperjuangkan aspirasi rakyat (h.478).

Salah satu aspek eksternal yang menurut Aktivis ‘98 ini dapat melemahkan DPR RI adalah partai politik. Pada beberapa bab, Desmond sengit mengkritik berbagai perilaku partai politik yang tak jarang melakukan intervensi terhadap kadernya yang duduk di legislatif.

Pada bab 10, misalnya, Desmond menulis, “Oligarki partai politik telah masuk ke dalam DPR, baik langsung seperti dalam penunjukan ketua DPR oleh pimpinan pusat partai politik yang mempunyai kursi terbanyak, maupun tidak langsung melalui tangan fraksi dalam day-to-day kerja parlemen”(h.612).

Apa yang ditulis Desmond sepertinya memang momok besar bagi Anggota DPR. Hal ini pun kiranya pernah tervalidasi ketika diakui secara jujur dan apa adanya oleh Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto atau yang akrab disapa Bambang Pacul. Dalam sebuah rapat di Komisi III, menanggapi permintaan Menko Polhukam Mahfud MD agar DPR RI mensahkan RUU Perampasan Aset yang terhambat, Bambang Pacul mengatakan,

“Saya terang-terangan ini. Mungkin RUU Perampasan Aset bisa (disahkan DPR), tetapi harus bicara dengan para Ketua Partai dulu. Kalau di sini enggak bisa, Pak. Lobinya jangan di sini, Pak,” kata Bambang di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 29 Maret 2023, sebagaimana dikutip dari media. Ucapan Bambang Pacul itu pun seketika viral di jagat maya se-Indonesia Raya.

Memperkuat Legislatif

Konstitusi telah jelas membagi kekuasaan penyelenggaraan negara kepada lembaga-lembaga negara berikut fungsi-fungsinya. DPR sebagai lembaga legislatif punya fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Harusnya, dengan tiga fungsi tersebut, rakyat dapat hidup dalam iklim demokrasi yang memakmurkan dan mensejahterakan.

DPR harus diperkuat agar Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, juga  lembaga yudikatif, terhindar dari perilaku zalim, serta membahayakan bangsa dan negara Indonesia. Akan tetapi, ketiga fungsi tersebut sayangnya belum terlaksana dengan optimal. Masih jauh dari harapan rakyat dan amanat konstitusi.

Desmond menulis, “Faktor-faktor politis selalu menjadi bayang-bayang bagi DPR untuk menjalankan kewenangannya. Akibatnya, pertimbangan-pertimbangan politis kerap kali dominan dibandingkan dengan faktor logis dalam menjalankan fungsinya” (viii).

Membaca buku ini dapat memantik kesadaran kita akan pentingnya DPR RI. Suka tidak suka, DPR RI adalah amanat konstitusi UUD 1945 dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan dalam mengawal kehidupan kita berbangsa dan bernegara: menjadi Indonesia. Sungguhpun terdapat ekses dan oknum yang dianggap melenceng dari yang seharusnya, maka kritik terhadap DPR RI adalah cara lain bagi kita untuk merawatnya, menjadikannya lebih baik.

Buku ini juga akan membawa kita juga memahami pelbagai lika-liku persoalan lainnya di luar persoalan fungsi-fungsi DPR RI. Ada beberapa hal penting lain yang juga turut disinggung seperti: isu gender dan keterwakilan perempuan di parlemen, proses kelahiran beberapa komisi, awal mula pengaturan hak kekebalan/imunitas Anggota DPR, latar belakang pergolakan diadakannya pemungutan suara terbanyak jika tidak tercapai mufakat di tubuh DPR RI, serta keberadaan Menteri Koordinator yang tidak lagi menjadi mitra DPR RI. Dan berbagai hal yang mewarnai wajah DPR RI hingga hari ini.

Menjaga Semangat Reformasi

Majalah Tempo 22 Mei 2023 menulis bahwa setelah 25 tahun, setelah enam presiden, Reformasi 1998 berjalan mengecewakan. Banyak aktivis larut dalam kekuasaan, mereka yang di luar gagal mengorganisasikan harapan. Buku ini menjadi bermakna karena Desmond sendiri adalah anggota DPR RI. Artinya, Desmond sadar betul kritik tersebut demikian adanya. DPR RI masih punya kekurangan di sana-sini, Desmond pun mengambil jalan otokritik.

Desmond telah duduk di Senayan dari Periode 2009-2014, 2014-2019, hingga kini 2019-2024. Nalurinya sebagai aktivis tidak tumpul di tengah kekuasaan. Malah dia justeru mewartakan kepada kita bagian apa saja yang perlu kita benahi agar lembaga legislatif senafas dengan semangat Reformasi. Dia terus terang menyampaikan persoalan apa saja yang membelit Anggota DPR RI hingga mereka pun tidak mampu optimal menjalankan fungsi-fungsinya.

Kita tentu patut bersyukur, di tengah kritik bertubi-tubi yang tertuju kepada DPR RI, rupanya masih ada anggota DPR RI yang setia merawat gagasan konstruktif bagi perbaikan legislatif. Ada semacam kegalauan yang tidak mampu dia ucapkan di tengah hiruk-pikuk jagat politik yang menistakan etika politik moral dan akal sehat.

Misalnya, ketika Desmond menulis terkait rendahnya fungsi legislasi periode lalu, “Apakah DPR Periode 2009-2014 sukses melaksanakan fungsi-fungsinya dan mengangkat citra DPR sebagaimana digariskan dalam UU MD3 2009 dan Renstra DPR RI 2010-2014? Dari 248 RUU yang masuk Prolegnas 2010-2014, DPR (dan Pemerintah), hanya mampu menyelesaikan pembahasan 69 RUU atau 27,8%”(h.476).

Mungkin upaya penguatan DPR tidak akan terwujud pada saat ini atau dalam waktu cepat. Hal ini merupakan perjuangan berkesinambungan lintas generasi dalam merawat demokrasi. Dalam konteks tersebut, sumbangsih politisi kelahiran Kalimantan Selatan ini dalam merekam perjalanan DPR RI dari masa ke masa, merupakan semacam “manuskrip” berharga bagi generasi muda yang kelak akan mengisi kursi DPR RI.

Sebagai informasi, ini bukan kali pertama Desmond melakukan otokritik terhadap lembaga tempat dia berjuang merawat demokrasi. 2013 lalu, misalnya, Desmond pernah menerbitkan “DPR offside, Otokritik Parlemen Indonesia”.

Ada semangat kritisisme yang terus Desmond perjuangkan dalam sunyi melalui jihad literasi. Nuraninya sebagai aktivis ‘98 pro-demokrasi tetap jujur dalam menyaksikan betapa demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja. Desmond pun kerap meresponi isu-isu besar di Republik ini dengan menerbitkan buku, yakni:

“Menatap Masa Depan lndonesia” (2005), “Menggugat Logika APBN: Politik Anggaran Fraksi Gerindra di Badan Anggaran DPR RI” (2012), “Presiden Offside, Kita Diam atau Memakzulkan” (2012), “Prahara Demokrasi di Tengah Pandemi” (2020), “Kekuasaan Biang Kerok Perusak Demokrasi” (2021), “Matinya Narasi Presiden ‘Wong Cilik’” (2022), dan “Desas-Desus Seputar Pemakzulan Presiden” (2023).

Ini adalah buku tentang kerisauan anggota DPR RI yang belum mampu berbuat banyak untuk melakukan perubahan besar bagi lembaga legislatif, sekaligus sebuah harapan dan ajakan bagi siapa saja yang ingin memperbaiki DPR RI. Pergumulan Desmond menghayati karir sebagai legislator, mewujud ke dalam bentuknya yang kadang kala memang tak mudah diterima: kritik.

*Penulis merupakan Wasekjen PP TIDAR

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER