Selasa, 3 Desember, 2024

Musyawarah KUPI II Hasilkan Lima Isu Utama, ini Fatwanya

MONITOR, Jakarta – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) sukses menyelenggarakan musyawarah ke-2 pada 24-26 November 2022 lalu di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah. Forum KUPI ini penting untuk memproduksi pandangan keagamaan dalam merespon persoalan kemanusiaan, kebangsaan dan kesemestaan berdasarkan persoalan dan pengalaman perempuan, atau berdampak langsung pada kehidupan perempuan.

Ketua Pengarah Majelis KUPI II, Nyai Badriyah Fayumi, menjelaskan musyawarah keagamaan KUPI dilakukan melalui prosedur yang bertahap, diawali sejumlah halaqah yang dilakukan empat organisasi keagamaan, yaitu Fahmina, Rahima, Alimat, dan Aman; kemudian dilanjutkan dengan kajian khusus di Jepara, Medan, Yogyakarta, dan Makassar, serta dikonsolidasikan melalui halaqah nasional di Jakarta untuk menfinalisasi naskah yang dibahas dalam pertemuan utama dalam kongres.

Setelahnya, lanjut Badriyah, hasil kongres dirumuskan kembali oleh tim perumus dan disahkan sebagai hasil resmi Musyawarah Keagamaan KUPI. Ada lima isu utama yang telah dihasilkan KUPI 2 tahun 2022 ini, diantaranya:

Pertama, Peminggiran Perempuan dalam Menjaga NKRI dari Bahaya Kekerasan Atas Nama Agama

- Advertisement -

Tingginya bahaya yang dialami perempuan karena praktik peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama menempatkan perempuan mengalami kerentanan berlapis. Padahal, perempuan memiliki pengalaman dan agensi yang terbukti berhasil dalam penyelesaian konflik dan menjaga NKRI dari disintegrasi bangsa.

Karenanya, terdapat 3 isu musyawarah KUPI, yaitu 1) apa hukum menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama?, 2) Apa hukum peminggiran perempuan yang berdampak pada tidak terjaganya NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama? 3) Siapakah pihak-pihak yang bertanggunggjawab untuk melindungi perempuan dari bahaya kekerasan atas nama agama.

Hasil musyawarah KUPI menetapkan bahwa, pertama, hukum menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah wajib bagi setiap warga negara Landasan utama yang digunakan adalah, bahwa NKRI merupakan hasil dari konsensus kebangsaan (mu’ahadah wathaniyyah) dan negara kesepakatan (dar al mitsaq) yang harus dijaga dan ditepati (Qs. Al Maidah:1, Qs. Al Isra:70, Qs. Huud: 85). NKRI terbukti menjadi rumah besar yang aman bagi implementasi al-maqâshid asy-syar’iyyah dan spirit persaudaraan (trilogi ukhuwah). Karenanya, cinta tanah air menjadi prasyarat kesempurnaan iman seseorang yang sejalan dengan Pasal 27 UUD 1945.

Kedua, Hukum peminggiran perempuan yang berdampak pada tidak terjaganya NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah haram bagi setiap lembaga negara, masyarakat sipil, organisasi sosial dan keagamaan sesuai dengan otoritas yang dimilikinya. Hal ini didasarkan pada 2 alasan hukum, yaitu a) risiko dan bahaya yang lebih buruk pada perempuan karena ketika perempuan dimarginalisasi dari peran-peran politik, sosial dan budaya akan semakin meningkatkan kerentanan perempuan; dan b) negara dirugikan karena kerja Negara menjadi tidak maksimal dalam melindungi segenap warganya. Islam menolak segala bahaya dan kerentanan atas bahaya tersebut, termasuk pada perempuan (adl-dlararu yuzâlu & adl-dlararu lâ yuzâlu bi adl-dlarari); sementara meminggirkan perempuan sejatinya juga bentuk melawan prinsip UUD 1945 pasal 30.

Ketiga, Semua pihak bertanggungjawab untuk melindungi perempuan dari segala bentuk bahaya kekerasan atas nama agama, terutama negara dalam berbagai tingkat otoritasnya, lembaga keagamaan, lembaga sosial, dunia usaha, masyarakat sipil, keluarga dan media.

Kedua, Pengelolaan Sampah untuk Keberlanjutan Lingkungan Hidup dan Keselamatan Perempuan

KUPI menilai pengelolaan sampah yang tidak tepat dan berdampak serius pada kerusakan lingkungan dan mengancam kehidupan manusia, baik pada perempuan, seperti dapat menyebabkan kemandulan dan keguguran; maupun pada laki-laki yang menyebabkan impotensi, dan kepada anak yang menyebabkan pertumbuhan stunting.

Meskipun Indonesia telah memiliki UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, namun permasalahan sampah masih belum teratasi dengan baik, dan masih mengancam keberlanjutan lingkungan dan keselamatan manusia, terutama perempuan.

Selama ini, perempuan tidak hanya dianggap sebagai penyumbang utama sampah rumah tangga, tetapi juga dibebankan pengelolaannya secara tidak adil. Berdasarkan persoalan di atas, diajukan pertanyaan (as’ilah) berikut ini, 1). Apa hukum melakukan pembiaran sampah yang merusak lingkungan hidup dan mengancam keselamatan manusia, terutama perempuan? 2). Apa hukum membangun infrastruktur politik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung pengelolaan sampah untuk keberlangsungan lingkungan hidup dan keselamatan manusia, terutama perempuan? 3). Siapakah pihak-pihak yang bertanggungjawab untuk mengelola sampah demi keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan.

Di dalam surat Ar Rum ayat 41, secara eksplisit Al-Qur’an menegaskan bahwa kerusakan lingkungan hidup adalah bersumber dari aktifitas manusia. Allah SWT akan membuat manusia merasakan akibat perbuatannya itu, agar mereka kembali ke jalan yang benar (QS. Ar-Rûm (30): 41).

Ayat tersebut menunjukkan larangan membuat kerusakan lingkungan hidup yang digambarkan dengan kerusakan di darat dan laut dan manusia diseru agar menghentikan aktifitasnya yang merusak itu. Alih-alih merusak, manusia sebagai khalifah fil ardl harus merawat dan melestarikan lingkungan yang sehat (QS. al-Baqarah (2))30.

Demikian pula sunnah Nabi SAW menegaskan, bahwa semua manusia adalah pemimpin dalam hidupnya dan harus mempertanggungjawabkan aktifitasnya. Berdasarkan ayat dan hadits di atas serta memperhatikan dampak yang sangat berbahaya dari pengelolaan sampah yang tidak tepat.

Musyawarah Keagamaan KUPI memutuskan sikap keagamaan dan pandangan sebagai berikut: pertama, hukum melakukan pembiaran sampah yang merusak kelestarian lingkungan dan mengancam keselamatan manusia, terutama perempuan, adalah haram.

Kedua, hukum membangun infrastruktur politik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang mendukung pengelolaan sampah untuk keberlangsungan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan adalah wajib bagi yang memiliki wewenang, yaitu pemimpin dan para pemegang kebijakan dengan semua fasilitas yang dimiliki.

Ketiga, semua pihak, baik individu, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun korporasi, wajib mengurangi dan mengelola sampah, sesuai kemampuan dan kewenangan masing-masing, serta membangun kesadaran warga tentang bahaya sampah yang tidak dikelola dan tata cara pengelolaannya, baik dengan cara sederhana maupun dengan penggunaan teknologi maju yang berwawasan lingkungan.

Ketiga, Perlindungan Jiwa Perempuan dari Bahaya Kehamilan Akibat Perkosaan.

Perempuan yang menjadi korban perkosaan mengalami situasi dan kondisi yang sangat berat, baik secara fisik maupun psikis. Kondisi ini semakin buruk saat menghadapi kehamilan. Jiwa perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan sangat rentan mengalami stigmatisasi, diskriminasi, disalahkan, dikucilkan dan kekerasan lainnya secara berkelanjutan.

Membiarkan perempuan korban perkosaan dalam bahaya kehamilan adalah melanggar prinsip-prinsip hukum Islam (maqashid syari’ah). Diantara prinsip yang utama adalah perlindungan agama (hifzh ad-din), jiwa (hifzh an-nafs), organ reproduksi (hifzh an-nasl), akal (hifzh al-‘aql) dan harta kekayaan (hifzh al-mal).

Dari konteks tersebut, terdapat 3 (tiga) isu utama, yaitu  1). Apa hukum melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan? 2). Siapakah pihak-pihak yang mempunyai tanggung jawab untuk melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan? dan 3). Bagaimana hukum bagi pihak-pihak yang berkewajiban dan mampu, namun tidak melakukan kewajibannya untuk melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan?

Sikap dan pandangan keagamaan KUPI adalah, pertama, hukum melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan adalah wajib di usia berapa pun kehamilannya, baik dengan cara melanjutkan atau menghentikan kehamilan dengan aman secara medis maupun psikis (QS. An-Nisa, 4: 75).

Kedua, semua pihak mempunyai tanggung jawab untuk melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan, terutama diri sendiri, orang tua, keluarga, tokoh agama, tokoh masyarakat dan adat, tenaga medis, tenaga psikiatris, serta Negara.

Pelaku juga wajib bertanggungjawab untuk melindungi jiwa korban dengan cara yang tidak semakin menambah dampak buruk (mafsadat) bagi korban, sebagaimana QS al-Isra,17:70, QS. Al-Anbiya’, 21: 107, QS. Ibrahim, 14:1, QS. Al-Ahzab, 33:58, QS. al-Hujurat, 49:11; 3. Hukum bagi pihak-pihak yang mempunyai tanggungjawab dan kemampuan namun tidak melakukan perlindungan pada jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan adalah haram.

Keempat, Perlindungan Perempuan dari Pemotongan dan/atau Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) yang Membahayakan Tanpa Alasan Medis

Pemotongan dan/atau Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) adalah seluruh bentuk pemotongan alat kelamin perempuan baik sebagian atau keseluruhan atau dalam bentuk apapun yang melukai alat kelamin perempuan, dengan alasan diluar (kepentingan) medis. Organ kelamin laki-laki dan perempuan memiliki struktur dan anatomi yang berbeda, sehingga melahirkan fungsi dan perbedaan yang sangat siginifikan ketika melakukan tindakan pemotongan dan/atau pelukaan organ kelamin keduanya.

Tindakan pemotongan dan/atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) yang membahayakan tanpa alasan medis, terutama pada klitoris dapat merusak banyak jaringan syaraf dan pembuluh darah sehingga menyebabkan komplikasi jangka panjang hingga kematian. Tindakan pemotongan dan/atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) yang membahayakan tanpa alasan medis hingga kini masih terus terjadi.

Atas dasar tersebut, pemotongan dan/atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) yang membahayakan tanpa alasan medis tidak dapat dibiarkan. Terdapat 3 pertanyaan musyawarah KUPI, yaitu: 1). Apa hukum melakukan tindakan pemotongan dan/atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) yang membahayakan tanpa alasan medis?; 2). Siapakan pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk mencegah tindakan P2GP yang membahayakan tanpa alasan medis?, dan 3). Apa hukum menggunakan wewenang sebagai keluarga, tokoh agama, tokoh adat, tenaga medis dan media dalam melindungi perempuan dari tindakan P2GP yang membahayakan  tanpa alasan medis adalah wajib (QS. al-Taubah, 9:71).

Hasil musyawarah keagamaan KUPI menetapkan bahwa, pertama, hukum melakukan tindakan Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) yang membahayakan tanpa alasan medis adalah haram (QS. Al-Ahzab, 33: 58). Kedua, semua pihak bertanggungjawab mencegah tindakan Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) yang membahayakan tanpa alasan medis, terutama anggota keluarga, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, LSM, pemerintah, dan media (QS. At-Tahrim, 66: 6 dan QS. Al-Baqarah, 2:195).

Ketiga, hukum menggunakan wewenang sebagai tokoh agama, tokoh adat, tenaga medis dan keluarga dalam melindungi perempuan dari bahaya  tindakan pelukaan dan/atau pemotongan genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis. Hukum menggunakan wewenang sebagai keluarga, tokoh agama, tokoh adat, tenaga medis dan media dalam melindungi perempuan dari tindakan Pemotongan dan/atau Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) yang membahayakan  tanpa alasan medis adalah wajib (QS. al-Taubah, 9:71).

Kelima, Perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan

Kasus pemaksaan perkawinan terhadap perempuan di Indonesia  masih tinggi, terutama pasca Covid 19. Data putusan Mahkamah Agung selama tahun 2018-2022 terdapat 213 kasus pernikahan bermasalah akibat pemaksaan perkawinan. Seratus sembilan belas (119) kasus di antaranya diputuskan dengan perceraian oleh pengadilan agama.

Sementara data Komnas Perempuan mencatat bahwa pemaksaan perkawinan terhadap perempuan mengalami kenaikan bersamaan naiknya kasus pernikahan anak yang meningkat 300%. Kasus pemaksaan perkawinan di Indonesia ini semakin rumit diatasi karena diperkuat oleh beberapa faktor; budaya, tafsir agama, dan regulasi negara yang memberikan peluang terhadap legitimasi praktik pemaksaan perkawinan.

Sementara pemaksaan perkawinan telah berdampak buruk secara sistemik terhadap perempuan, baik secara psikis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Praktik pemaksaan perkawinan menimbulkan dampak yang mengancam keselamatan jiwa pererempuan, seperti trauma psikis, depresi, stigma negatif, perceraian, konflik keluarga, perselingkuhan, dan pengucilan sosial, hingga bunuh diri akibat putus asa.

Pemaksaan perkawinan juga berdampak bahaya pada fungsi reproduksi perempuan, seperti terjadinya kekerasan seksual dalam perkawinan melalui pemaksaan hubungan intim. Secara budaya, pemaksaan perkawinan mengancam terputusnya pendidikan perempuan. Secara ekonomi, pemaksaan perkawinan rawan menyebabkan penelantaran dan rapuhnya ekonomi yang mengancam keutuhan keluarga. Dari sisi politik, pemaksaan perkawinan merampas hak perempuan dan anak untuk berkembang dan mengoptimalkan potensinya sebagai warga negara.

Berdasarkan fakta diatas, terdapat 3 pertanyaan musyawarah KUPI, yaitu 1). Bagaimana hukum melindungi perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan?; 2). Bagaimana hukum meminimalisir dampak buruk yang dialami perempuan korban pemaksaan perkawinan?; dan 3). Apa hukum membuat peraturan perundangan yang memberikan sanksi pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan pada perempuan?

Banyak sekali dalil Alquran dan hadis yang melarang tindakan yang mengakibatkan bahaya, baik diri sendiri maupun orang lain. Demikian pula telah ditemukan beberapa hadis Nabi yang melarang pemaksaan perkawinan, seperti dalam Shahih Bukhari No. 5328 yang menceritakan aduan istri Tsabit bin Qois yang dipaksa menikah dengan Tsabit. Setelah mendengarnya, Rasul mempersilahkan istrinya untuk mengembalikan mahar dan meminta Tsabit untuk menceraikannya. Praktrek Rasulullah diatas menunjukkan kepeduliannya terhadap keselamatan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan.

Berdasarkan dalil-dalil yang ada serta dampak negatif di atas, maka Musayawarah Keagamaan KUPI memutuskan bahwa melindungi perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan hukumnya adalah wajib. Oleh karena itu, semua pihak, baik individu, keluarga, masyarakat, agama, dan negara, juga berkewajiban untuk bersama-sama mencegah dan meminimalisir bahaya tersebut melalui berbagai strategi, termasuk membuat regulasi yang mampu menjaga perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER