MONITOR, Jakarta – Fenomena perjokian pembuatan karya ilmiah akademik sebagai syarat jabatan Guru Besar menuai banyak kritik, terlebih melibatkan sejumlah pejabat struktural di kampus negeri. Praktik ini diduga terjadi di Universitas Negeri Padang (UNP) Sumatera Barat dan Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur.
Kejadian ini mendapat respon dari Ketua Dewan Pimpinan Daerah Kongres Advokat Indonesia (DPD KAI) Jawa Timur, Abdul Malik. Ia mengecam praktek pelanggaran hukum di bidang akademik dan keilmuan ini serta mendorong untuk dipidanakan.
“Kemendikbudristek dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) harus bergerak cepat menyikapi praktek perjokian karya ilmiah untuk Guru Besar. Selain itu harus segera melaporkan dan bekerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan untuk mengusut tuntas praktik tidak bermoral ini,” ujar Abdul Malik, Rabu (15/2/2023).
Praktisi Hukum ini menyatakan Kemendiburistek dan Perguruan Tinggi wajib melihat bobot kualitas seorang Guru Besar yang diangkat Profesor. Seorang Profesor harus orang yang benar-benar seorang Guru Besar dan mengajar di Universitas/Perguruan Tinggi tersebut. Apalagi didalam Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 39 Tahun 2021 tentang Integritas Akademik Pasal 10 Ayat 5 menyebutkan, jabatan Guru Besar merupakan jenjang tertinggi dalam karier dosen pengajar di perguruan tinggi.
“Seorang Guru Besar yang menjadi Profesor harus orang yang berbobot dan berkualitas dengan seleksi yang ketat. Jangan sampai menjual Gelar Profesor sebagai titelnya semata, jadi harus mengajar di Universitas/Perguruan Tinggi tempat mengabdi,” ucapnya.
Sementara untuk jenjang pendidikan tinggi sebagaimana diatur dalam ketentuan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Setiap perguruan tinggi menetapkan syarat kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi (Pasal 25 ayat [1] UU Sisdiknas).
“Jika karya ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti hasil jiplakan, maka gelarnya akan dicabut (Pasal 25 ayat [2] UU Sisdiknas). Selain itu, tidak hanya dicabut gelarnya, lulusan yang terbukti menjiplak karya ilmiah orang lain, juga diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta (Pasal 70 UU Sisdiknas),” jelasnya.
Menurut dia, praktik perjokian karya ilmiah untuk Guru Besar ini jelas adalah pelanggaran hukum tidak pidana plagiarisme. Selain itu, kata dia, menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan/atau telah dipublikasikan oleh pihak lain sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan sumber secara memadai.
“Upaya hukum penanggulangan plagiat oleh mahasiswa dalam penulisan karya ilmiah sudah diatur selanjutnya dalam Pasal 10 Permendiknas 17/2010. Hal ini yang menjadi tanggung jawab kepolisian dan kejaksaan mengusut tuntas praktik perjokian karya ilmiah untuk Guru Besar ini,” ujarnya.
Kata dia, dalam pasal 10 Permendiknas 17/2010 berbunyi, dalam hal diduga telah terjadi plagiat oleh mahasiswa, ketua jurusan/departemen/bagian membuat persandingan antara karya ilmiah mahasiswa dengan karya dan/atau karya ilmiah yang diduga merupakan sumber yang tidak dinyatakan oleh mahasiswa.
Ketua jurusan/departemen/bagian meminta seorang dosen sejawat sebidang untuk memberikan kesaksian secara tertulis tentang kebenaran plagiat yang diduga telah dilakukan mahasiswa.
Mahasiswa yang diduga melakukan plagiat diberi kesempatan melakukan pembelaan di hadapan ketua jurusan/departemen/bagian.
Apabila berdasarkan persandingan dan kesaksian telah terbukti terjadi plagiat, maka ketua jurusan/departemen/bagian menjatuhkan sanksi kepada mahasiswa sebagai plagiator.
“Apabila salah satu dari persandingan atau kesaksian, ternyata tidak dapat membuktikan terjadinya plagiat, maka sanksi tidak dapat dijatuhkan kepada mahasiswa yang diduga melakukan plagiat. Apabila mahasiswa terbukti melakukan plagiat sedangkan ia telah lulus suatu program studi, maka sanksi yang diterima adalah pembatalan ijazah (Pasal 12 ayat [1] huruf g Permendiknas 17/2010),” jelasnya.
Akan tetapi, bila tidak terbukti melakukan plagiat sebagaimana dituduhkan, maka pemimpin perguruan tinggi melakukan pemulihan nama baik yang bersangkutan (Pasal 14 Permendiknas 17/2010).
“Untuk kasus perjokian ini. Jika terbukti ada oknum institusi kampus baik mahasiswa, dosen, guru besar, kajur, dekan atau rektor yang terlibat bisa disanksi secara internal, etika dan kehormatan,” tandasnya.