Oleh: Ujang Komarudin*
Membaca arah peta koalisi partai politik sangat lah menarik. Betapa tidak, karena masing-masing partai politik termasuk figur capres dan cawapres masih gamang dan bimbang dalam menentukan arah koalisi.
Ada partai yang sudah berkoalisi seperti Golkar, PAN, dan PPP, yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Baru (KIB), ada Gerindra-PKB, yang menamakan diri Koalisi Indonesia Raya (KIR).
Baik KIB dan KIR, sudah berkoalisi, namun masih belum jelas siapa yang akan dijadikan capres dan cawapresnya. KIB mungkin lebih solid, karena dalam kendali Jokowi. Sedangkan Gerindra-PKB, masih mungkin bisa terpisah, jika Cak Imin tak dijadikan capres oleh Prabowo, maka tamatlah koalisi KIR tersebut.
Disaat bersamaan, PDIP yang sudah punya golden ticket pencapresan, juga masih gamang siapa yang akan didukung jadi capres, apakah Puan atau Ganjar, ini masih dalam pertimbangan Megawati sang pemilik kuasa. Kuasa dalam menentukan siapa yang akan dicapreskan di PDIP. Tiketnya sudah didapatkan, tapi siapa yang akan dicapreskan masih menunggu perhitungan dan kalkulasi politik yang matang dari Megawati.
Dilema yang dihadapi PDIP tidak sesederhana yang dibayangkan. Jika mengusung Puan, PDIP solid ke dalam, artinya masih bisa solid di internal PDIP. Tapi bisa pecah ke luar, karena ada Ganjar yang juga akan maju sebagai capres. Jika Puan yang dicapreskan, maka kemungkinan Ganjar akan dicapreskan oleh koalisi partai lain.
Sedangkan jika yang dicapreskan Ganjar, maka ke depan tak ada jaminan bahwa trah Soekarno, pasca Megawati tak memimpin PDIP lagi, apakah masih eksis atau aman di PDIP. Karena bisa saja PDIP akan diambil atau dikuasai oleh Jokowi dan Ganjar, bahkan mungkin oleh anak-anak Jokowi. Karena jika Megawati sudah tak berkuasa di PDIP, maka kemungkin trah Soekarno akan terkikis dan bisa saja tersingkir dari PDIP.
Soal dukungan siapa akan dicapreskan oleh PDIP. Ini akan menjadi titik awal kemenangan kembali PDIP untuk ketiga kalinya berturut-turut. Namun disaat yang sama juga menjadi titik awal perpecahan dan tersingkirnya trah Soekarno, ini dengan catatan Megawati sudah tak berkuasa.
Jika Megawati masih ada dan masih berkuasa atau pegang kendali di PDIP. PDIP masih akan solid. Walupun dalam pertarungan di Pilpres 2024 nanti belum tentu menang. Belum tentu menang, jika yang dicapreskan salah orang.
Di luar KIB, KIR, dan PDIP. Kemungkinan akan ada koalis baru, sebut saja koalisi perubahan. Walau nama koalisinya sudah ada. Tapi koalisinya belum ada atau belum terbentuk. Jika Nasdem, Demokrat, dan PKS sepakat berkoalisi, maka koalisi perubahan akan nyata ada. Saat ini masih belum ada. Tapi mungkin ke depan akan ada.
Koalisi perubahan tak kunjung terbentuk, itu akibat Demokrat dan PKS kelihatan memainkan politik tarik-ulur soal cawapres. Karena baik Demokrat maupun PKS ngotot ingin menjadikan kadernya sebagai cawapresnya Anies, dan bisa juga ingin dapat kompensasi politik maupun finansial. Karena dalam hidup ini, terlebih-lebih dalam politik, tak ada makan siang yang gratis. Apalagi berkoalisi, tentu tak ada yang gratis.
Ketika Nasdem mendeklarasikan Anies sebagai capres di 3 Oktober 2022 yang lalu. Harapan Nasdem bisa secepatnya mendapatkan dukungan dari Demokrat dan PKS. Yang terjadi justru sebaliknya, Nasdem tak kunjung dapat dukungan dari Demokrat dan PKS. Nasdem juga terancam kadernya di kabinet dicopot.
Nasdem pun mulai memainkan jurus zig-zaz politiknya. Di awali Surya Paloh bertemu LBP di London. Pasca itu, Surya Paloh menginstruksikan kader-kadernya di DPR RI, untuk full mendukung kebijakan-kebijakan Jokowi. Karena Nasdem tak mau dimusuhi oleh Jokowi dan partai koalisi Jokowi, akhirnya Nasdem pun bertemu partai-partai koalisi Jokowi, seperti Gerindra, PKB, dan Golkar. Bahkan Surya Paloh pun sudah bertemu dengan Jokowi di istana, pada hari yang sama ketika Nasdem bertemu Gerindra-PKB.
Pasca pertemuan Jokowi-Surya Paloh, reshuffle tak jadi, partai-partai politik pun zig-zag bertemu satu sama lain, sesama partai koalisi Jokowi pun mulai bertemu, seperti Nasdem dengan Gerindra, PKB, dan Golkar. Begitu juga Nasdem bertemu dengan partai-partai oposisi, seperti Demokrat dan PKS, yang kelihatannya akan menjadi mitra koalisinya nanti. Artinya, baik partai koalisi Jokowi maupun partai oposisi bermain dan bermanuver masing-masing untuk kepentingan politiknya masing-masing.
Ketika saya ditanya oleh teman-teman media, apakah partai-partai koalisi pendukung pemerintah Jokowi itu solid atau tidak. Ada dua hal untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, jika soal mengamankan Jokowi hingga Oktober 2024, hingga masa jabatan Jokowi berakhir, maka partai-partai koalisi Jokowi itu akan solid.
Kedua, namun jika urusan Pemilu 2024, maka partai-partai koalisi pemerintahan Jokowi akan bergerak atau main masing-masing sesuai dengan kepentingan dan keinginannya masing-masing. Jadi kalua soal Pilpres, semua partai koalisi Jokowi akan main masing-masing. Mungkin hanya partai-partai yang tergabung di KIB (Golkar, PAN, dan PPP) yang masih akan loyal pada Jokowi. Karena sekali saja lari, bisa saja jabatan ketum akan melayang.
Skema atau format koalisi saat ini masih akan dinamis dan bisa berubah setiap saat. Yang akan menyatukan partai-partai berkoalisi itu soal kepentingan. Jika kepentingannya sama, maka akan jadi kawan. Namun jika kepentingannya beda, akan jadi lawan.
Selama belum didaftarkan pasangan capres dan cawapres di KPU bulan September 2023 nanti, maka koalisi partai-partai tersebut masih mungkin berubah. Dan komposisi capres-cawapres pun akan terus mencari bentuk dan akan berubah. Pengalaman Pilpres 2019 yang lalu mengajarkan, Mahfud MD didetik terakhir, digantikan Ma’ruf Amin menjadi cawapresnya Jokowi. Jadi saat ini semuanya masih belum ada yang pasti, semuanya masih sedang mengintip dan melihat kekuatan dan kekurangan masing-masing. Seperti apa peta koalisi ke depan. Kita lihat saja perkembangan dan dinamika politik yang terjadi nanti. Salam Bahagia.
*Penulis merupakan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) & Analis Politik Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Jakarta