Selasa, 30 April, 2024

Konsolidasi Demokrasi Pemilu 2024

Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA*

Sampai detik ini masih terjadi proses tarik ulur dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia 2024. Belum ada satupun koalisi politik yang resmi mendeklarasikan pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang nantinya akan didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Namun meski nama terang pasangan Capres dan Cawapres belum muncul di ruang publik, setidaknya peta koalisi politik sudah mulai terliat. Akan ada empat poros koalisi yang sepertinya sudah siap bermitra dalam kontestasi Pilpres 2024. Lahirnya poros ini sesuai ambang batas presidential threshold, yakni 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Empat poros koalisi yang akan maju dalam kontestasi Pilpres diantaranya adalah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang saat ini beranggotakan Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang secara kesatuan memiliki 25,87 persen kursi DPR. Adapula Koalisi dari Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Demokrat yang memiliki 28,50 persen kursi DPR.

- Advertisement -

Selanjutnya ada poros Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang memiliki 23,25 kursi DPR dan terakhir adalah poros Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menjadi satu–satunya partai politik yang dapat mengusung Capres dan Cawapres sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai lain karena memiliki presentase kursi 22,38 persen kursi DPR.

Meski ada gambaran tentang arah poros politik 2024 tapi tetap saja politik sifatnya dinamis. Masih banyak kemungkinan baru yang mampu merubah setiap tatanan kontestasi politik. Perubahan poros koalisi sangat tergantung kesepakatan dan kalkulasi politik masing-masing parpol.

Rasionalitas inilah yang menjadikan kontestasi Pilpres di Indonesia menjadi sangat menarik untuk diamati, karena ada adu kuat untuk meyakinkan masyarakat pemilih. Tak jarang pula praktik adu kuat ini berakhir dengan aksi jegal-menjegal, karena yang menjadi tujuan utamanya adalah kemenangan, tidak peduli kemenangan tersebut diperoleh dengan cara jujur dan adil atau kemenangan yang diperoleh melalui cara kecurangan dan kelicikan. Padahal esensi pemilihan umum (pemilu) adalah mewujudkan kedaulatan rakyat supaya melahirkan ruang kekuasaan dengan cara yang bermartabat dan menjunjung nilai-nilai demokratis sebagaimana diatur dalam konstitusi.

Fakta Rasional

Presidential threshold sebenarnya hadir sebagai gagasan untuk memperkuat sistem presidensil yang digunakan di Indonesia, diharapkan apabila digunakan dalam waktu yang lama. Secara alami hadirnya presidential threshold dapat menyederhanakan jumlah parpol mendatang. Namun seiring waktu, presidential threshold menjadi dilema karena klausul ini pula yang menjadi prasyarat utama yang digunakan dalam Pemilihan Serentak sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi 2013.

Hadirnya presidential threshold  pemilu  serentak yang memberi celah baru bagi penguasa pemerintahan untuk terus mempertahankan kekuasaan pemerintahan. Partai dari golongan penguasa akan sekuat tenaga memanipulasi keadaan guna mempertahankan kekuasaan dan partai politik yang belum menang dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden akan berusaha merebut kekuasaan.

Dari perspektif sistem pemilu, upaya melaksanakan pemilu serentak sebenarnya bukan suatu keharusan. Pilihan pemilu serentak atau tidak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan lain seperti soal penguatan sistem presidensial atau efektivitas dan efisiensi pemilu. Memperkuat sistem presidensial sangat terkait tersedianya dukungan politik yang memadai di lembaga legislatif bagi presiden.

Pemilu serentak dianggap dapat memperkuat sistem presidensial karena dapat membuat sistem kepartaian menjadi lebih sederhana atau kalau tetap banyak jumlahnya masih terkategori moderat. Sehingga, tetap memungkinkan tersedianya dukungan politik bagi presiden di lembaga legislatif.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 sejatinya menjadi tonggak awal pelaksanaan pemilihan umum serentak di Indonesia, sekalipun sebagian pandangan mengatakan konsep pemilu serentak lima kotak tersebut secara gagasan telah hadir dalam pembahasan-pembahasan perubahan UUD 1945, sehingga dalam implementasinya secara argumentatif diyakini perwujudan original intens dari perumusan konstitusi. Argumentasi demikian bagian dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana termaktub dalam putusannya.

Putusan ini diikuti dengan perubahan undang-undang di bidang kepemiluan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur
pelaksanaan pemilihan umum serentak tahun 2019. 17 April 2019 menjadi saksi dari proses pelaksanaan pemilu serentak untuk pertama kalinya.

Implementasi Faktual

Hasil evaluasi Pemilu 2019 membuat beberapa pihak mengevaluasi pelaksanaan pemilu serentak ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kembali MK mengeluarkan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh Perludem berkaitan Pemilu serentak. Putusan MK ini pun hanya sebatas memberikan arahan alternatif menyangkut waktu penyelenggaraan pemilu Berkaitan hal tersebut, Putusan MK menentukan arah mana pembentuk undang-undang harus mengarahkan pada dasar politik hukumnya. Setiap pertimbangan hukum yang termuat dalam putusan MK sejatinya memang sarat muatan politik hukum karena dasar itulah yang menjadi pedoman pembentuk undang- undang dalam membuat hukum.

Awalnya pembentuk undang-undang menilai jika pelaksanaan Pemilu 2019 akan mendorong terciptanya sebuah koalisi politik berbasis kebijakan, karena dengan adanya ambang batas akan ada diskusi dan harmoni untuk membangun cita-cita politik secara bersama-sama sekaligus akan mampu menghemat anggaran dan meningkatkan partisipasi
pemilih yang menurut data KPU mencapai 81,93% atau setara dengan 158.012.506 pemilih.

Namun kenyataannya, pemilu serentak telah memunculkan ragam kompleksitas terkait pembentuk undang-undang. Terjadi lonjakan sebesar 61% pembengkakan anggaran pada pemilihan umum 2019, sebesar Rp25,59 triliun anggaran Pemilu 2014 sebesar Rp15,79 triliun (KPU, 2020). Yang tak kalah menjadi perhatian juga adalah lahirnya persoalan polarisasi masyarakat yang mengalami dikotomis sangat kuat karena masalah perbedaan pandangan politik.

Atas dasar itulah, berkaca dari pemilu serentak 2019 maka yang perlu diperhatikan untuk saat ini adalah soal kondusivitas dalam proses pemilu, baik dalam legal formal peserta pemilu dalam hal ini parpol yang mampu bersikap dewasa, elegan, cerdas dan sportif untuk bertanding dalam politik praktis ini. Karena seperti yang terjadi dalam pemilu 2019, gesekan rivalitas politik tak jarang malah menciderai norma-norma sosial, agama dan kebudayaan. Upaya untuk menghadirkan pemilu yang bersih dari sentiment Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) inilah yang menjadi poin utama untuk menjadi pilar dasar dalam kontestasi politik Pilpres 2024.

Disinilah pentingnya pembinaan konsolidasi demokrasi demi menekan bahkan meminimalisir praktik buruk sistem demokrasi langsung yang transaksional, koruptif dan politik identitas mengamankan kekuasaan politiknya. Secara analisis sederhana, sebagai subjek politik negara, semua kalangan masyarakat tanpa terkecuali pada dasarnya harus dapat adaptif dalam membaca arus perubahan politik yang sangat cepat seperti yang ada di Indonesia.

Przeworski dalam tulisannya Sustainable Democracy (1995), menyebut jika politik memiliki kecendrungan kuat untuk selalu memainkan sentiment emosi yang sangat tinggi tapi friksi itu sesungguhnya dapat terselesaikan melalui pengembangan sikap consonsional democracy atau sikap untuk mengakui segala macam rivalitas sebagai perihal sederhana yang tak perlu dibawa kepada arah perbedaan yang esensial.

Dalam rasional ini, sikap saling mengakui eksistensi politik menjadi penting demi mengakomodir kebutuhan substansi demokrasi itu sendiri. Untuk itulah konsolidasi demokrasi perlu dibangun antar sektor kekuatan politik, penyelenggara dan masyarakat sebagai pemilih itu sendiri guna menciptakan hasil demokrasi politik yang sangat diharapkan. Termasuk menjunjung tinggi integritas dan kepatuhan hukum untuk pemilu yang berkualitas.

*Penulis merupakan Analis dan Eksekutif Jaringan Studi Indonesia

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER