Oleh: Abdul Mukti Ro’uf*
Pilkada DKI tahun 2017 dan Pilpres tahun 2019 adalah tahun politik dengan wajah polarisasi masyarakat yang tajam. Kekuatan nasionalis-agama sebagai identitas bangsa Indonesia—dalam momen Pilkada DKI dan Pilpres 2019—tiba-tiba bergeser ke arah yang saling bertabrakan, berbenturan dan bahkan cenderung saling meniadakan. Konstruksi narasi dibangun untuk saling berlawanan seperti “Pancasila vs Khilafah”. Suatu narasi yang tanpa sadar telah menciderai semangat agung dari Pancasila itu sendiri sebagai konsensus nasional.
Semangat keagamaan yang menyala nyala dengan api kontestasi politik kuasa tiba-tiba menempuh jarak deametral dengan kelompok nasionalis. Sebaliknya kelompok nasionalis berada dalam suasana kecurigaan atas kelompok agamis (tepatnya kalangan “islamis”). Bahkan, sesama penganut agama yang samapun bisa saling meniadakan jika pilihan politiknya berbeda.
Keadaan ini menembus hingga ke ruang ruang-ruang paling sempit sekalipun: keluarga. Selain itu, dengan kehadiran dan peran media sosial yang sangat bebas, telah ikut memicu lalu lintas percakapan publik yang antagonistik. Begitulah “kisah gelap” sosiologi politik masyarakat kita pada empat tahun silam.
Meski telah terjadi rekonsliasi terbatas di tingkat elit seperti bergabungnya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno ke dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, jejak polarisasi itu relatif masih tersisa hingga kini. Buktinya, istilah-istilah seperti “kadrun” dan “cebong” masih relatif menghiasi berbagai narasi terutama di sosial media. Masa empat hingga lima tahun pasca “politik polarisasi” agaknya diperlukan diseminasi wacana depolarisasi dan tindakan politik yang menyokong kebersatuan demi masa depan Indonesia ditengah-tengah berbagai ancaman resesi ekonomi dunia. Masyarakat Indonesia—terutama dalam tahun-tahun politik—perlu diinjeksi ulang oleh semangat kebhinekaan dengan spiritualitas Pancasila yang bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Anies-Ganjar: Mengulang Polarisasi?
Upaya depolarisasi yang relatif berhasil diatasi oleh dua tokoh Jokowi-Prabowo, kini berpotensi berulang dengan kehadiran dua tokoh paling populer menurut lemabaga survei, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Dua sosok ini dipersepsi publik sebagai perpanjangan kandidasi dalam Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019. Anies misalnya—secara persepsi publik—oleh sebagian masyarakat, masih diasosiasoikan sebagai simbol dari politik yang memicu polarisasi itu, suka atau tidak suka. Ia terpilih sebagai Gubernur DKI di atas “bara politik idenititas”. Suatu kemenangan politik yang masih menyisakan luka.
Sementara pesaingnya, Basuki Thahaya Purnama alias Ahok telah melunasi kelalaian pidato kontroversialnya dengan sangsi hukum di penjara. Bagi Anies dan Ahok sebagai “manusia politik”, mungkin menganggap sebagai resiko dari perjuangan politik baik sebagai pemenang meski di atas bara identitas maupun bagi yang kalah dan harus berujung di Penjara. Enam tahun sudah berlalu. Anies telah menunaikan masa tugasnya sebagai gubernur dengan seluruh plus-minusnya. Sementara Ahok telah kembali mengabdi sebagai pimpinan BUMN terkemuka.
Namun demikian, jejak politik Anies dan juga Ahok, bagi para pendukungnya masing-masing telah meninggalkan fakta pembelahan yang tidak mudah dilupakan. Tentu, pembelahan politik yang menajam itu bukan semata difaktori oleh dua sosok itu. Melainkan, semacam akumulasi dari keadaan sosial-politik-ekonomi yang dirasa tidak adil akibat kebijakan para pemegang kuasa, baik ekonomi maupun politik.
Dari sudut pandang teori kelas, Ibu Kota Jakarta merupakan medan pertarungan antara kaum buruh (masyarakat miskin kota) dan para pemilik modal. Keterjepitan kaum miskin kota akan secara alamiah mencari “penolong” dengan melakukan personifikasi kepada sosok pemimpin baru. Ketika rasa keterjepitan itu dilegitimasi oleh dalil-dalil keagamaan oleh “kelompok Islamis”, terjadilah “kolaborasi politik” yang menguntungkan satu sama lain.
Di seberang para pendukung Anies, ada sosok Ganjar Pranowo yang bersama Anies selalu menempati tiga besar dalam berbagai survei elektoral untuk pilpres 2024. Memang, Ganjar tidak berhubungan langsung dengan Pilkada DKI dan Pilpres 2019. Namun garis politik Ganjar identik dengan Presiden Jokowi, dan secara tidak langsung berada dalam satu barisan dengan para pendukung Ahok dalam Pilkada DKI. Sehingga, secara geneologis, para pendukung Anies dan Ganjar berbeda vis a vis dan memiliki kemiripan dengan polarisasi dukungan pada Pilkada DKI Jakarta. Argumen similiaritas inilah yang dihepotesakan dapat mengulag polarisasi pada pilpres 2024.
Dengan argumen itulah berkembang aneka gagasan seperti perpanjangan masa jabatan presiden, mengusung pasangan Prabowo-Jokowi, menghalau kehadiran Anies berhadap-hadapan dengan Ganjar dan seterusnya. Semua ide itu, dari sudut pandang depolarisasi tentu saja memiliki argumentasinya sendiri. Tetapi, jika gagasan itu pada saat yang sama merusak proses demokrasi juga menjadi buruk. Maka, diperlukan ijtihad politik untuk memastikan tereliminasinya polarisasi politik yang merusak dan pada saat yang sama terjaminnya pelakasanaan demokrasi yang berkualitas.
Koalisi rekonsiliasi
Memang, Anies dan Ganjar belum tentu menjadi capres sepanjang belum didaftarkan secara resmi ke KPU. Keduanya masih mengalami ketidakpastian dengan problemnya sendiri. Situasi politik masih sangat cair dan dinamis. Jikapun keduanya ditakdirkan menjadi capres masing-masing, maka upaya depolarisasi harus menjadi agenda utama dalam menghadapi tahun-tahun politik ke depan. Stabilitas ekonomi dan politik nasional yang cukup baik di tengah gonjang-ganjing geo politik ekonomi global yang masih menegang harus menjadi cermin utama.
Kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Jokowi di atas 70 persen dalam setahun terakhir ini adalah modal politik untuk menjaga stamina pemerintah dalam melunasi janji-janji konstitusi presiden. Kehadiran Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam memperkuat Kabinet Indonesia Maju, secara politik ikut memperkuat stabilitas politik pasca Pilpres 2019. Memang, Prabowo cukup tepat dan bijak dalam mengambil keputusan politik untuk bergabung di pemerintahan.
Pada saat yang sama, langkah politik Jokowi cukup mengejutkan untuk melibatkan Prabowo sebagai rivalnya dalam Pilpres 2019. Persis di sinilah nilai strategis tindakan rekonsiliatif yang ditempuh oleh dua negarawan. Tindakan itu, dalam haitungan politik “jangka pendek” cukup beresiko bagi keduanya. Tetapi keduanya cukup berhasil dalam memandu gagasan dan tindakan kebersatuan demi tujuan yang lebih besar dan jangka panjang: keutuhan NKRI.
Buktinya, berbagai dampak positif bagi pemerintah dan lebih jauh bagi negara dirasakan baik oleh keduanya sebagai individu, stabilitas pemerintah, dan tentu saja bagi masyarakat secara luas. Suksesnya Indonesia menghadapi pandemi covid-19, stabilitas pertumbuhan ekonomi di tengah resesi, kebijakan politik ekonomi luar negeri, keberhasilan sebagai presidensi G.20, pemerataan pembangunan infrastruktur adalah bukti-bukti bahwa pemerintah cukup kredibel dalam mengemban amanat konstitusi.
Kini pertanyaannya, apakah berbagai gagasan dan tindakan pembentukan koalisi dapat menjamin setidaknya untuk dua hal: pertama, memastikan depolarisasi politik untuk menjamin kebersatuan yang menjadi konsensus bersama dan kedua, dapat menjamin keberlangsungan stabilitas politik dan ekonomi demi masa depan Indonesia. Dua jaminan itu diperlukan untuk memastikan Indonesia Sejahtera yang mandiri di tengah tantangan global yang tengah berubah dengan sangat cepat. Maka, tidak ada jalan lain, berbagai keputusan politik strtegis jelang hajatan politik 2024 harus tetap melibatkan energi bangsa yang terbukti telah dapat menjaga Indonesia sebagai bangsa dan negara.
Kolaborasi kekuatan nasionalis dan Islam harus menjadi pertimbangan utama yang dapat dicerminkan oleh partai-partai dengan mengusung sosok yang mencerminkan keduanya. Secara simbolik, kolaborasi nasionalis-Islam dalam catatan sejarah kekuatan politik Indonesia telah menjadi DNA dari politik Indonesia. Simbolisasi ini juga tercermin dari karakter pemilih Indonesia yang sebagian besar memiliki preferensi nasionalis-Islam. Yang sering menjadi persoalan adalah soal definisi “kelompok Islam” dalam kekuatan politik Indonesia terutama pasca reformasi.
Perebutan terminologi “kelompok Islam” secara politik pastilah mempertimbangkan kelembagaan partai peserta pemilu 2024 dan kekuatan civil society berbasis kekuatan umat Islam. Meskipun NU dan Muhammadiyah, sebagai dua ormas keagamaan terbesar, bukan lembaga partisan, keduanya memiliki legitimasi kuat dalam memutuskan kepemimpinan nasional. Maka, “restu” keduanya menjadi inhern dalam DNA politik Indonesia. Dengan demikian, depolarisasi politik hanya dimungkinkan jika berbagai kekuatan umat dapat diakomodasi secara proporsional.
*Penulis merupakan Dosen Pascasarjana IAIN Pontianak
MONITOR, Minahasa - Anggota Bawaslu Herwyn JH Malonda mengingatkan tanggal 24 November 2024 sudah memasuki…
MONITOR, Jakarta - PT Jasa Marga (Persero) Tbk. kembali menorehkan prestasi dengan meraih Penghargaan Emas…
MONITOR, Jakarta - Pertamina Eco RunFest 2024 siap digelar pada Minggu, 24 November 2024, di…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag) menggelar ajang perdana Kepustakaan Islam Award (KIA) di Jakarta…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama RI, melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam menggelar Kepustakaan Islam…
MONITOR, Jatim - Anggota Komisi III DPR RI M. Nasir Djamil menyayangkan adanya kasus polisi tembak…