POLITIK

Fahri Hamzah Ingatkan Sistem Pemilu Tertutup Picu Revolusi

MONITOR, Jakarta – Pro kontra perdebatan penggunaan sistem proporsional terbuka atau tertutup dalam Pemilu 2024 kembali mencuat dan meruncing. Sehingga hal ini membuat elit di tanah air mengalami kegalauan dalam menentukan jalan demokrasi yang benar.

Wakil Ketua Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah saat menjadi narasumber dalam diskusi Moya Institute bertajuk ‘Pemilu Proporsional Tertutup: Kontroversi’ di Jakarta, Jumat (20/1/2023) sore, mengatakan, atas kegalauan tersebut, maka para elit kita ingin menciptakan narasi demokrasi yang khas Indonesia.

“Dugaan saya, ini di-drive (dipaksa) dua tren global tentang efektivitas dalam pengelolaan negara. Di satu sisi  melihat demokrasi dan kemajuan Tiongkok (China), di sisi yang lain melihat demokrasi liberal barat yang berasal dari Prancis dan Amerika Serikat,” kata Wakil Ketua Umum Partai nomor urut 7 ini dalam keterangannya, Sabtu (21/1/2023).

Ketika melihat efektivitas penerapan dua sistem demokrasi tersebut plus minusnya, maka ada semacam keinginan dari para elit kita untuk menciptakan sistem demokrasi tersendiri ala Indonesia. 

“Menurut saya, kita tidak perlu canggung untuk mengusulkan demokrasi yang utuh agar sebagai bangsa kita ada capaian yang jelas, sehingga kita tuntas. Sebagai bangsa kita tidak boleh seperti bangsa baru yang terus mengalami kegalauan,” katanya.

Wakil Ketua DPR Periode 2004-2019 ini, lantas menjelaskan, pada awal Kemerdekaan RI 1945 hingga 1950, Indonesia pernah menerapkan Demokrasi Terpimpin dan Parlementer/Liberal pada era Orde Lama (Orla) semasa Bung Karno (Presiden Soekarno RI ke-1).

Namun, pada masa Orde Baru (Orba) selama 32 tahun saat mantan Presiden Soeharto RI ke-2 berkuasa, Demokrasi Terpimpin kemudian diganti Demokrasi Pancasila.

“Pak Harto kemudian jatuh tahun 1998, karena Demokrasi Pancasila dianggap menyumbat kekuatan rakyat. Dan sekarang hal itu diajukan kembali pertanyaan tersebut, setelah adanya amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali itu dianggap kebablasan,” katanya.

Karena itu, para elit kita kata Fahri, terus berusaha untuk mengikat atau menambal lubang demokrasi di mana-mana. 

“Tapi saya mau mengingatkan, kalau demokrasi itu pakaian kita, maka jangan salah tambal. Yang kita tambal itu auratnya saja, kalau yang bukan aurat ditambal juga, itu nanti menjadi kacau,” katanya.

Recent Posts

Tiga Terobosan Perdana Haji 2025, Terbuka, Efisiensi Hingga Kompetitif

MONITOR, Jakarta - Penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025 mencatat sejarah baru dengan hadirnya tiga kebijakan…

2 jam yang lalu

Menuju Indonesia Emas 2045, Prof Rokhmin: Pelajar NU Harus Jadi Garda Terdepan Inovasi

MONITOR, Jakarta - Aula PCNU Kabupaten Cirebon penuh sesak oleh semangat muda, ratusan pelajar Nahdlatul…

10 jam yang lalu

Kementerian PU Pastikan Progres Pembangunan Sekolah Rakyat Sesuai Target

MONITOR, Jakarta - Kementerian Pekerjaan Umum (PU) memastikan progres pembangunan dan renovasi fasilitas Sekolah Rakyat…

11 jam yang lalu

DPR: Tidak Pernah Ada Kejelasan Siapa Saja 113 Orang Penulis Ulang Sejarah Indonesia

MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana mendorong adanya transparansi dalam penulisan…

12 jam yang lalu

Pangkas Impor, Kemenperin dan YPTI Produksi Komponen Welcab Alphard

MONITOR, Jakarta - Kementerian Perindustrian terus memacu pertumbuhan dan daya saing industri otomotif nasional melalui…

15 jam yang lalu

Kemenag Salurkan Bantuan 310 Miliar Lebih kepada Yatim dan Penyandang Disabilitas di Indonesia

MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag), Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan Lembaga Amil Zakat…

17 jam yang lalu