Sabtu, 27 April, 2024

Kolaborasi Pentahelix untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan

MONITOR, Cirebon – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan bahwa pengan memiliki peran strategis bagi kemajuan, kesejahteran, dan kedaulatan bangsa. Untuk itu ia meminta tiap wilayah di Indonesia berkonsentratsi dalam mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan termasuk wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan atau biasa disingkat Ciayumajakuning.

“Pangan menentukan tingkat kesehatan, kecerdasan, dan kualitas SDM. “You are What you eat” (FAO dan WHO, 2000). Kualitas SDM adalah kunci kemajuan sebuah bangsa,” kata Prof Rokhmin saat mengisi kegiatan Sarasehan Kemandirian Pangan dengan tema “Model Kolaborasi Pentahelix Untuk Kemandirian Pangan Wilayah Ciayumajakuning” yang digelar ICMI Orda Kabupaten Cirebon di Auditorium Kampus 1 Universitas Gunung Djati (UGJ) Cirebon, Senin (26/12/2022).

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan era Kabinet Gotong Royong tersebut mengingatkan sejumlah tantangan dan permasalahan global yang berimplikasi pada persoalan ketahanan pangan ditengah pertambahan jumlah penduduk sehingga permintaan bahan pangan bakal terus meningkat. Tantangan dan persoalan tersebut antara lain adalah; alih fungsi lahan pertanian, Global Climate Change (GCC), kerusakan lingkungan, negara-negara produsen pangan mulai membatasi ekspor pangannya karena pandemi Covid-19, GCC, dan ketegangan geopolitik global; dan mafia pangan.

Di Indonesia, ungkap Prof Rokhmin sektor pertanian/pangan (pertanian, kehutanan, dan perikanan) menyerap sekitar 36% total angkatan kerja (130 juta orang, usia 15 – 64 tahun), dan menyumbangkan sekitar 20% PDB (Kementan, 2022). “Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama),” ungkapnya.

- Advertisement -

Pada kesempatan tersebut, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu juga membeberkan seujmlah hal diantaranya menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%), dimana dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%).

“Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020). Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut (Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022),” terangnya.

Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan ini mengatakan bahwa Wilayah Ciayumajakuning memiliki berbagai sektor yang dapat dikembangkan untuk mewujudkan kedaulatan pangan baik untuk kebituhan regional maupun nasional diantaranya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan, serta kelautan dan perikanan. Namun meski begitu, tokoh kelahiran Gebang Cirebon ini juga menyoroti persoalan luas lahan pertanian dan luas lahan usaha (garapan), khususnya di sektor tanaman pangan, hortikultur, dan peternakan, semakin menyusut akibat alih fungsi untuk pemukiman, kawasan industri, infrastruktur, dan penggunaan lahan (land use) lainnya yang mengakibatkan luas lahan pangan dan luas lahan usaha pangan (land to man ratio) semakin menurun, economy of scale tidak terpenuhi, volume produksi terancam, dan petani dan nelayan (usaha on-farm) miskin.

Selain itu menurutnya sebagian besar usaha (bisnis) di sektor pangan masih tradisional, tidak menerapkan: (1) economy of scale, (2) Integrated Supply Chain Management System (hulu – hilir), (3) teknologi terbaik (tepat – guna) dan mutakhir, dan (4) prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (RTRW, pengendalian pencemaran, dan konservasi biodiversity). “Akibatnya: produktivitas rendah, kurang efisien, gagal panen, komoditas dan produk kurang berdaya saing, petani dan nelayan miskin, dan kurang sustainable (berkelanjutan),” tegasnya.

Prof Rokhmin juga menyebut kebanyakan UMKM bidang pangan mengalami kesulitan dalam mendapatkan (membeli) sarana produksi (seperti benih, pupuk, pakan, obat-obatan, BBM) yang berkualitas, harga relatif murah, dan kuantitas mencukupi. Produksi bibit dan benih unggul, dan pakan berkualitas, masih rendah, tidak mencukupi. “Padahal, lebih dari 60% keberhasilan usaha pangan ditentukan oleh bibit dan benih unggul serta pakan.  Di usaha aquaculture (perikanan budidaya) dan peternakan, 60% biaya produksi untuk pakan,” jelasnya.

Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara itu menjelaskan bahwa dibutuhkan strategi mewujudkan kedaulatan pangan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa melalui pendekatan sistem diantaranya Supply & Demand, Rantai Pangan, Perkembangan Iptek dan lain-lain. Adapun langkah-langlah yang dapat dilakukan antara lain; Pertama, Peningkatan Produktivitas dan Produksi Onfarm Komoditas Pangan Berkelanjutan dengan cara:

  1. Penyusunan Big Data yang interaktif dan dinamis berdasarkan data yang absah, akurat (presisi), dan kuantitasnya mencukupi tentang semua aspek penting tentang Sektor Pangan
    (luas lahan pertanian, produktivitas, produksi, konsumsi pangan, demand, neraca stok pangan, ekspor, impor, profil produsen pangan, dll).
  2. Mempertahankan lahan pertanian dan perikanan yang ada, tidak dialihfungsikan untuk kawasan industri, pemukiman, infrastruktur, dan penggunaan lahan lainnya. Melalui implementasi RTRW secara konsisten sesuai dengan UU No. 41/2009, penetapan lahan pertanian abadi, dan Reforma Agraria.
  3. Dengan menggunakan tekonologi mutakhir dan manajamen agribisnis yang tepat, kita tingkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability seluruh unit usaha produksi pangan yang ada saat ini. 
  4. Pembukaan lahan baru (ekstensifikasi) untuk usaha produksi tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, peternakan, dan perikanan di luar Jawa dan lahan-lahan terlantar di P. Jawa, dengan spesies (komoditas) yang cocok dengan kondisi agroklimat setempat. 
  5. Diversifikasi budidaya dengan spesies (varietas) pangan yang baru melalui domestikasi dan pengembangan bibit dan benih unggul dengan teknologi pemuliaan (genetic engineering) dan nanoteknologi.
  6. Menerapakan Integrated Supply Chain Management System.  Menggunakan teknologi mutakhir pada setiap mata rantai pasok.  Dan, menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable).
  7. Revitalisasi seluruh infrastruktur pertanian (bendungan dan saluran irigasi, dan pelabuhan perikanan)  dan infrastruktur dasar (jalan, listrik, air bersih, telkom dan internet, dan pelabuhan umum) yang ada.
  8. Konservasi ekosistem hutan dan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) terpadu untuk menjaga stabiliast dan kontinuitas aliran (debit) sungai sebagai sumber air irigasi pertanian, mencegah banjir, tanah longsor, dan kekeringan.

Kedua, Peningkatan Volume Produksi Sarana Produksi Pertanian dan Perikanan Yang Top Quality, Harga Bersaing, dan Mencukupi Kebutuhan Usaha Onfarm secara Berkelanjutan, melalui:

Ketiga, Pengelolaan Konsumsi dan Permintaan Pangan, Sehingga Produksi lebih besar dari Demand atau permintaan Nasional. Harus ada kebijakan dan program prioritas nasional untuk mengurangi konsumsi beras hingga 60 kg per kapita, dan secara simultan diversifikasi konsumsi pangan non-beras: sagu, sorgum, umbi-umbian, tales, dll.

“Karena, Indonesia merupakan importir gandum terbesar keduaa di dunia (rata-rata 12,5 juta ton/tahun) yang menghamburkan devisa cukup besar (US$ 4 milyar/tahun), padahal sagu dan komoditas pangan lokal lainnya sudah bisa dibuat mie. Kurangi dan kemudian stop impor gandum, dan secara simultan perkuat dan kembangkan industri pengolahan bahan baku non-gandum (sagu, ubi kayu, porang, dll) menjadi mie,” tandasnya.

Indonesia juga perlu perkuat dan kembangkan usaha peternakan sapi, dan tingkatkan konsumsi ikan per kapita nasional, karena Indonesia memiliki potensi produksi ikan terbesar di dunia (115 juta ton/tahun) dan baru dimanfaatkan sekitar 20% nya.  “Sejak 2009 – sekarang Indonesia produsen perikanan terbesar di dunia (25 juta ton/tahun), setelah China (100 juta ton/tahun),” terangnya.

Keempat, Revitalisasi dan Pengembangan Industri Pengolahan Pangan melalui Penguatan dan pengembangan industri pengolahan dan pengemasan semua komoditas pangan semaksimal mungkin, kecuali beberapa komoditas pangan tertentu.  Supaya produk olahan pangan Indonesia kompetitif di tingkat global. “Lakukan bench marking dengan negara-negara produsen pangan olahan terbaik di dunia (Jepang, Korsel, Thailand, Singapore, Australia, Canada, AS, Uni Eropa, dan Turki),” katanya.

Kelima, Penguatan dan Pengembangan Pemasaran di Dalam Negeri maupun Ekspor, diantaranya dengan meningkatkan kinerja sub-sistem sarana produksi, produksi (on-farm), dan industri pengolahan. Diyakini setiap komoditas dan produk olahan pangan Indonesia akan memiliki daya saing yang tinggi: kualitas unggul (top quality), harga relatif murah, dan volume produksi (supply) mampu memenuhi kebutuhan serta selera (preference) konsumen (pasar) dalam negeri maupun ekspor.

Keenam, Penguatan dan Pengembangan Sistem Logistik Pangan Nasional diantaranya melalui pembangunan atau penyempurnaan Sistem Logistik Pangan Nasional, sehingga aliran (distribusi) komoditas dan produk pangan olahan serta sarana produksi dari sentra produksi ke sentra pasar (domestik dan pelabuhan ekspor) akan lebih cepat, lancar, mudah, murah, efisien, dan aman.

“Revitalisasi dan pengembangan infrastruktur dan fasilitas penyimpanan bahan pangan (gudang, cold storage, pabrik es, dll) sesuai kebutuhan di setiap wilayah NKRI. Revitalisasi dan pengembangan sarana transportasi (distribusi) komoditas dan produk pangan olahan serta sarana produksi yang dapat menjangkau seluruh wilayah NKRI,” tandas Prof Rokhmin.

Ketujuh, Kebijakan Politik Ekonomi yang Kondusif berupa: Kebijakan ekspor – impor pangan harus mengutamakan “national interest” (Kedaulatan Pangan Nasional). “Kurangi dan stop subsidi input usaha onfarm, khususnya tanaman pangan pokok, dan ganti “double subsidy” untuk output pertanian,” katanya.

Selain itu, perlu skim kredit perbankan khusus untuk sektor pangan, terutama yang belum kompetitif, dengan suku bunga relatif rendah dan persyaratan relatif lunak (bench marking dengan negara-negara pertanian utama lainnya) serta Iklim investasi dan ease doing business yang kondusif.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER