BERITA

Akademisi UI Soroti Pernyataan World Bank, Tidak Benar Beras Indonesia Lebih Mahal dari Negara Lain

MONITOR, DEPOK – Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Riyanto menyoroti pernyataan Bank Dunia (World Bank) agar Indonesia membuka dan mengurangi hambatan impor pada sektor pertanian. Hal ini menyusul perbandingan harga beras di Asia, dimana harga beras Indonesia dikatakam lebih tinggi ketimbang negara lainya.

Menurut Riyanto, pernyataan itu kurang tepat dan tidak mencerminkan semangat petani yang setiap hari melakukan produksi. Baginya, kebijakan impor disaat harga beras naik bukanlah solusi dan hanya melukai perasaan petani.

“Harga beras harusnya memberikan keuntungan yang menarik buat petani tetap mau menanam padi. Jangan begitu harga beras naik, lantas hanya memberi solusi impor. Kita jangan membiarkan impor beras terbuka luas yang membuat harga jatuh lalu menyebabkan petani malas bertani. Ini keliru menurut saya,” ujar Riyanto, Selasa, 20 Desember 2022.

Riyanto mengatakan, harga beras di Indonesia masih berada di titik normal dan masih dalam jangkauan daya beli masyarakat. Adapun faktor kenaikan yang selama ini terjadi disebabkan beberapa faktor. Di antaranya masalah distribusi fan musiman saja. Tidak bisa selesai hanya dengan impor. Jadi tidak benar harga beras kita paling mahal,” katanya.

Solusinya, kata Riyanto, pengelolaan pertanian tidak bisa hanya dibebankan pada Kementerian Pertanian saja. Namun juga harus melibatkan banyak lembaga dan institusi negara lainya. Salah satunya memperbaiki jalur distribusi beras serta tidak membiarkan impor beras terbuka secara luas hingga menyebabkan harga jatuh dan petani malas bertani.

“Selama ini kan kita tahu banyak pedagang beras yang menggunakan kesempatan untuk menaikkan harga beras dengan menahannya di gudang. Market power pedagang sangat dominan di Indonesia. Oleh karena itu, kita harus sama-sama bereskan ini untuk kemajuan bersama. Masalah beras menjadi tanggungjawab kita bersama,” jelasnya.

Sebagaimana diketahui, Indonesia membuka keran impor kedelai sejak 1998, berkaitan dengan kesepakatan yang tertuang dalam letter of intent IMF. Hal itu merupakan bagian dari paket penyehatan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisis ekonomi. Lembaga ini menuntut Indonesia membuka akses pada perdagangan bebas.

“Nah kita jangan mengulangi rekomendasi yang sama untuk beras versi World Bank. Utamanya membuka keran impor beras dan pangan lainnya secara luas. Kemandirian panganlah yang harus kita perkuat dengan peningkatan produksi dan memberi subsidi yang layak bagi petani serta proteksi terhadap komoditi pertanian agar petani punya insentif untuk berproduksi,” jelasnya.

Recent Posts

Hutama Karya Bangun Negeri Bersama Srikandi Tangguh dan Profesional

MONITOR, Jakarta - PT Hutama Karya (Persero) (Hutama Karya) memperingati Hari Kartini 2025 dengan menegaskan…

21 menit yang lalu

Dialog Bareng Diaspora Indonesia di London, Prof Rokhmin beberkan Peran Majukan Bangsa

MONITOR - Di tengah kesibukan mengikuti International FGD on Blue Economy and Global Climate Change,…

2 jam yang lalu

Panen Ketahanan, Sinergi TNI-IPB Untuk Indonesia Berdaulat Pangan

MONITOR, Jakarta - Dalam upaya mendukung program ketahanan pangan nasional, Aster Panglima TNI Mayjen TNI…

2 jam yang lalu

Berduka Paus Fransiskus Wafat, Puan: Semoga Warisan Semangat Perdamainya Selalu Hidup di Hati Umat

MONITOR, Jakarta - Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan dukacita atas wafatnya pemimpin tertinggi Gereja…

4 jam yang lalu

Paus Fransiskus Wafat, Menag: Jasa dan Persahabatan Beliau Tak Bisa Kita Lupakan!

MONITOR, Jakarta - Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan duka mendalam atas wafatnya Pemimpin Umat Katolik…

4 jam yang lalu

Ramai Prajurit Masuk Kampus, DPR: Perguruan Tinggi Bukan Medan Pertempuran

MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin menegaskan bahwa Tentara Nasional Indonesia…

5 jam yang lalu