MONITOR, Jakarta – Pasca disahkannya Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) sebagai Undang-Undang (UU) pada Selasa (6/12), Pemerintah Indonesia menuai kritik dari berbagai kalangan. Tak hanya dari dalam negeri, berbagai media luar negeri dan WNA pun turut menyoroti pasal-pasal yang dianggap kontroversial.
Di antaranya dilontarkan oleh Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat untuk Indonesia, Sung Yong Kim, terkait pasal 412 yang mengatur tindak pidana perzinaan dan kohabitasi. Menurut Kim, aturan tersebut dapat mengganggu iklim investasi di Indonesia.
Apapun bentuk kritiknya, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dr. H. Hilmy Muhammad M.A. menyatakan sah-sah saja. Namun ia menyayangkan, dari ratusan pasal, mengapa hanya soal kumpul kebo yang menjadi titik keberatannya? Ia pun yakin dugaan bahwa hal ini akan mengganggu iklim investasi di Indonesia tidak berdasar.
“Sah-sah aja siapapun mengkritik produk hukum kita, tapi dari semua pasal, masa ya hanya soal kumpul kebo yang diperhatikan? Justru dengan pasal itu, kita ingin melindungi yang dirugikan karena masuknya adalah delik aduan. Jadi alasan kenapa itu jadi kasus kriminal. Jika pasangan Anda selingkuh, Anda berhak melaporkannya. Di negara mana pun, dari sisi apa pun, perselingkuhan tentu tidak dibenarkan. Dengan mengkritik pasal ini, apakah kita akan memperbolehkan perselingkuhan dan perzinahan?” ujar Senator asal Yogyakarta tersebut dalam keterangan tertulis kepada media pada Rabu (07/12).
Sebaliknya, pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut mengajak untuk mendiskusikan pasal-pasal yang jauh lebih penting. Menurutnya, pasal-pasal yang dikritisi para demonstran tentang kebebasan pers, berita bohong, penghinaan pemimpin dan lembaga negara, dan lainnya, lebih substansial untuk dibahas.
“Isu-isu yang dibawa demonstran ini lebih menarik untuk kita diskusikan daripada pernyataan Kim. Dia tidak paham dengan tradisi dan norma yang berlaku di masyarakat kita. Kita berharap, sesama bangsa jangan menunjukkan sikap superior seolah-olah lebih beradab hanya karena melegalkan seks sebelum menikah. Apalagi sebagai duta besar, Kim mestinya lebih bisa menempatkan diri ketika berada di tempat orang lain,” terang Anggota Komite I DPD RI tersebut.
Lebih lanjut, Gus Hilmy menjelaskan bahwa KUHP ini telah berusaha mengharmonisasi hukum modern, hukum agama, dan norma-norma. Tidak akan dapat memuaskan semua orang karena basis multikultural yang dimiliki Bangsa Indonesia, apalagi orang luar. Namun jika yang dimaksud Kim adalah melegalkan perzinaan dan LGBT, tentu itu tidak sesuai dengan norma, adat, dan agama kita.
“Kalau mau legal, ya menikah. Sudah diatur dalam UU Perkawinan. Sementara kalau harus melegalkan LGBT, jelas akan kita tolak. Tidak sesuai dengan ajaran yang kita anut. Kambing jantan saja tidak mungkin menyetubuhi kambing jantan,” jelas pria yang juga anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tersebut.
Terkait investasi di Indonesia, Gus Hilmy menyangkal jika pasal dalam KUHP ini mencampuri urusan privat dan dapat mengganggu masuknya investasi di Indonesia.
“Kalau tujuannya investasi, ya akan tetap jalan karena niatnya memang investasi. Tetapi kalau investasinya itu ada kaitannya dengan LGBT, kita sarankan agar tidak berjualan sesuatu di tempat yang jelas-jelas sudah melarangnya. Sementara bagi kita sendiri, bagaimana mungkin hanya demi investasi kita gadaikan jati diri dan bangsa kita?” jelas pria yang juga Katib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut.
Meski demikian, Gus Hilmy menyatakan bahwa Indonesia masih sangat aman untuk para investor dan wisatawan. Ruang privat masyarakat akan tetap terjamin tanpa mengurangi nilai-nilai keindonesia yang telah dipegang selama ini.