MONITOR, Yogyakarta – Nasionalisme sebagai bagian dari kecintaan kepada tanah air harus ditanamkan kepada setiap warga negara Indonesia. Meski demikian, kecintaan tersebut tidak termasuk dalam fanatisme. Perilaku yang termasuk fanatisme itu seperti jika ada seorang teman yang jelas-jelas melakukan kesalahan, tetapi masih tetap dibela habis-habisan.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Senator DPD RI Hilmy Muhammad dalam acara Halaqah Fiqih Peradaban dengan tema Fiqih dan Tasawuf dalam Kehidupan Bernegara yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Salafiyah, Kebonsari, Panggungrejo, Kota Pasuruan,
pada Ahad (13/11/2022).
“Kalau ada teman yang jelas-jelas berbuat salah tetapi masih dibela, itu namanya fanatisme keblinger. Ini sekaligus menolak ideologi suatu negara yang menyatakan bahwa salah atau benar negaraku, akan tetap aku bela. Ajaran agama Islam menyampaikan apa yang salah disalahkan, apa yang benar dibenarkan. Maka fanatisme tidak dapat dibenarkan,” ujar pria akrab disapa Gus Hilmy tersebut.
Menurut pria yang akrab disapa Gus Hilmy ini, dalam melihat hubungan agama dan negara, terdapat tiga pola, yaitu integralistik, sekularistik, dan simbiosis mutualistik.
“Integralistik artinya terdapat hubungan yang saling mengatur antara agama dan negara. Sementara sekularistik, keduanya tidak ada hubungan sama sekali, berjalan sendiri-sendiri. Dan Indonesia, menganut pola yang ketiga, yaitu keduanya saling membutuhkan. Bahkan bisa dilihat sejak adanya peradaban, keberadaan agama kerap kali menjadi dasar bagi kekuasaan. Baik di Timur Tengah, Eropa, Asia, dan di tempat-tempat lain. Bahkan partai- partai juga mendasarkan diri pada agama.” ungkap pria yang juga Katib Syuriah PBNU tersebut.
Menurut Gus Hilmy, di Indonesia, hubungan timbal balik itu dapat dilihat bagaimana negara melindungi setiap warga negaranya dalam menjalankan agama masing-masing. Misalnya seperti negara memfasilitasi hukum-hukum Islam dalam hukum formal negara, seperti UU Perbankan Syariah, UU Haji dan Umrah, UU Perkawinan, UU Zakat, UU Pesantren, dan lain sebagainya. Negara mengatur syariah karena negara memang membutuhkannya. Agama dan kekuasaan, menurut Gus Hilmy adalah seperti anak kembar yang bersinergi dan bekerja sama. Mengutip dari Imam al-Ghazali, Gus Hilmy mengatakan bahwa agama seperti dasar atau pondasi, sementara kekuasaan seperti penjaga.
“Sesuatu yang tidak memiliki dasar akan mudah roboh, sesuatu yang tidak dijaga akan mudah hilang. Jadi ada kepentingan dari agama dan negara yang saling membutuhkan. Agama tanpa negara, tidak bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sementara kekuasaan tanpa agama akan berjalan semaunya sendiri dan ngawur,” kata salah satu pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta tersebut.
Islam sendiri, dalam pandangan Gus Hilmy, tidak memiliki satu sistem pemerintah tertentu.
Namun di Indonesia, sistem demokrasi yang dianut diadopsi sebagai sistem negara tetapi
didasari dengan keagamaan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Islam
juga tidak memiliki konsep nation state.
“Meski tidak memiliki konsep sistem kenegaraan, tetapi Islam memberikan syarat-syarat bagi suatu kepemimpinan. Misalnya dilakukan dengan yang adil dan amanah, melalui pengambilan keputusan yang dihasilkan dari musyawarah, dan tujuannya adalah untuk kesejahteraan masyarakat,” jelas pria yang juga pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tersebut.