MONITOR, Mamuju – Salah satu arahan Presiden Joko Widodo kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yakni penurunan angka perkawinan anak. Target RPJM prevalensi pernikahan anak menjadi 8,74 persen pada tahun 2024, di tahun 2022 ini target batas angka nasional mencapai 9,44 persen.
Berdasarkan data Susenas BPS, Provinsi Sulawesi Barat menempati posisi tertinggi nasional angka perkawinan anak di tahun 2021. Adapun di tahun 2020, angka perkawinan anak di Sulbar sempat turun menempati urutan ke 3 nasional dengan persentase 17,12 persen dan ditahun 2021 naik 0,59 persen menjadi 17,71 persen dan menempatkan Sulbar kembali di posisi tertinggi angka perkawinan anak se Indonesia.
“Melihat kondisi ini kami KemenPPPA mengajak tokoh agama, tokoh masyarakat, Ormas dan LSM peduli anak, forum anak, aktifis perempuan dan anak serta dinas dan instansi terkait, melaksanakan Diskusi Terpumpun (FGD) tujuannya untuk menggali akar masalah sehingga mendapatkan jalan terbaik dalam upaya Pencegahan dan Penanganan Perkawinan anak di Provinsi Sulawesi Barat,” ucap Staf Khusus Menteri PPPA, Dr. Ulfah Mawardi dalam Diskusi Fokus Terpumpun tentang Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Anak di Mamuju, Senin (17/10/2022).
Ulfah menyatakan, mayoritas masyarakat terutama yang berada di enam Kabupaten Sulawesi Barat belum mengetahui hadirnya UU No 16 tahun 2019 tentang batas usia perkawinan anak, baik laki-laki maupun perempuan itu berusia 19 tahun.
“Kehadiran kami juga sekaligus sosialisasi mendorong agar parah tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemerintah daerah memasifkan sosialisasi batas usia perkawinan, sehingga tidak terjadi pelanggaran Hak anak karena menikah di usia anak (18 tahun kebawah),” terang Ulfah.
Dalam kesempatan itu, Ulfah menjelaskan bahwa Negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
KemenPPPA dikatakan Ulfah, sejauh ini sudah melakukan upaya pencegahan dengan terus menerus menyosialisasikan bahwa perkawinan pada usia anak menimbulkan banyak dampak negatif bagi tumbuh kembang anak. Selain itu, perkawinan anak menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak pendidikan jika anak menikah di usia di bawah 18 tahun maka kemungkinan besar pendidikan anak tersebut terputus.
“Seperti hak kesehatan, anak yang menikah dini sangat rawan mengalami kanker serviks, masalah persalinan dan kesehatan ibu dan bayi terancam, anak stunting karena pemahaman dan kesiapan terkait reproduksi belum mereka pahami, belum lagi kondisi fisik dan psyikis yang belum matang jiwa raga untuk dapat melangsungkan perkawinan sehingga belum dapat mewujudkan tujuan perkawinan yakni membentuk rumah tangga yang bahagia dan keturunan yang berkualitas,” jelas Ulfah.
Dalam aspek penanganan, Ulfah menekankan pemerintah mendorong adanya bimbingan dan pendampingan pada anak-anak yang sudah terlanjur melakukan perkawinan di usia anak dengan menunda kehamilan. Apabila anak terlanjur hamil, maka disarankan menunda kehamilan kedua dan seterusnya, kemudian mengedukasi seputar kesehatan reproduksi dan memastikan hak atas pendidikan, tumbuh kembang dan kesehatan anak terjamin serta memberikan bekal skill keterampilan hidup dan penguatan ekonomi untuk dapat tetap tumbuh dan berdaya.
Kepala Dinas Pemeberdayaan Perempuan, Perlindungan anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Propinsi Sulawesi Barat Hj. Djamila, SH, mengapresiasi kegiatan yang dilakukan oleh KemenPPPA tersebut. Ia menyatakan, apabila para stakeholder berjalan sendiri-sendiri, maka penurunan angka perkawinan anak di Sulawesi Barat sulit diwujudkan.
“Kita butuh kerja keras dan kerja bersama semua pihak terutama kepala desa dan imam desa, karena geografis di Sulbar sangat terbatas akses dan anggaran sehingga kami membutuhkan pro-aktif dan kesadaran perangkat desa yang ada dibawah untuk melakukan sosialisasi pencegahan perkawinan anak ditingkat RT dan RW,” ucap Hj. Djamila.
“Kendala yang dialami juga anak-anak kita di desa terpencil adalah akses Pendidikan, masih banyak daerah terutama di pulau yang tidak memiliki sarana Pendidikan SMP dan SMA sehingga banyak orang tua menikahkan anak di usia sebagai pilihan. Hal inilah menjadi tugas kita untuk mengkoordinasikan dengan Dinas Pendidikan kedepannya bisa lebih merata akses Pendidikan di Sulawesi barat,” sambungnya.
Diketahui, kegiatan FGD ini dihadiri peserta yang terdiri dari perwakilan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, ormas dan LSM seperti Muhammadiyah-Aisyiyah, NU, Muslimat, Yayasana Kartini Manakarra, aktivis perempuan dan anak, Forum Anak, perwakilan Puspaga serta Dinas PPPA kabupaten Se Sulawesi Barat.
Ulfah berharap melalui kajian dan diskusi terpumpun ini, dapat mengurai dan mencari solusi pencegahan dan penanganan perkawinan anak di Sulawesi Barat.
“Ini menjadi awal kerja nyata dalam membangun komitmen bersama seluruh komponen yang ada di Sulawesi Barat untuk zero toleran terhadap perkawinan anak sehingga dalam waktu yang relatif cepat akan terjadi penurunan angka perkawinan Anak di Bumi Malaqbi Sulawesi Barat,” tegasnya.