MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf membeberkan sejumlah kendala percepatan sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Pertama, Bukhori menyoroti adanya ketimpangan dalam praktik self-declare sertifikasi halal antara pelaku usaha besar dan pelaku usaha mikro serta kecil dari segi kriteria.
“Terkait kriteria pelaku usaha yang bisa melakukan self-declare harus mempertimbangkan dari sisi permodalan juga, tidak hanya aspek kemasan saja. Contoh semisal pelaku usaha penjual martabak tidak bisa melakukan self-declare karena mereka harus melalui LPH (Lembaga Pemeriksa Halal), sementara itu berbayar,” kata Bukhori selepas acara Knowledge Sharing Layanan Sertifikasi Halal Self-Declare Kementerian Agama dan Serap Aspirasi bersama pelaku UMK di Kota Semarang, Sabtu (16/10/2022).
Padahal, demikian Bukhori melanjutkan, modal mereka cuma berkisar Rp1,5 sampai dengan Rp2 juta. Sebaliknya, pelaku usaha dengan nilai kapital besar yang bisa mencapai Rp2 miliar semisal pabrik roti/bakery bisa dengan mudah melakukan self-declare,” sambungnya.
Anggota Badan Legislasi ini mengungkapkan, praktik tersebut sebenarnya tidak sejalan dengan semangat UU Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang telah diubah melalui UU Cipta Kerja. Karena itu dia mendorong agar kebijakan self-declare memudahkan pelaku usaha mikro dan kecil dalam memperoleh sertifikat halal.
“Ini keluar dari mainstream awalnya sehingga harus dibereskan. Awalnya, usulan klausul self-declare dalam UU JPH versi Cipta Kerja itu bertujuan untuk memudahkan pelaku usaha mikro dan kecil dalam memperoleh sertifikat halal. Suasana kebatinan ini yang kita bela terhadap Usaha Mikro dan Kecil (UMK) saat pembahasan RUU Ciptaker di Baleg bersama pemerintah. Pasalnya, kami memahami bahwa UMK ini terbukti memiliki sumbangsih terhadap serapan tenaga kerja hingga 91% serta sumbangsih terhadap PDB hingga 61 persen. Artinya, kehadiran UMK ini vital bagi roda perekonomian bangsa. Namun sangat disayangkan bahwa dalam praktiknya ini justru tidak sesuai dengan suasana kebatinan UU tersebut,” ujarnya.
Anggota DPR RI Dapil Jateng 1 ini menjelaskan, kendala selanjutnya adalah jumlah rumah pemotongan hewan seperti Rumah Pemotongan Ayam (RPA), Rumah Pemotongan Unggas (RPU), dan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang tersertifikasi halal masih terbilang sedikit.
“Minimnya jumlah rumah pemotongan hewan ini menyebabkan banyak hal. Salah satunya dagangan yang biasa dijual/dikonsumsi masyarakat tidak mudah disertifikatkan halal. Kita ambil contoh seperti bakso misalnya. Meskipun bahan dasarnya adalah daging sapi yang notabene diperbolehkan dalam Islam, akan tetapi produk bakso tersebut tidak otomatis halal karena harus dipastikan dulu apakah pengambilan dagingnya berasal dari RPH yang bersertifikat halal atau tidak,” jelasnya.
Legislator PKS ini menambahkan, selain minimnya jumlah rumah pemotongan hewan yang telah bersertifikat halal, minimnya jumlah Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang di dalamnya terdapat auditor dan penyelia halal serta kebijakan penerbitan fatwa yang terpusat juga menjadi kendala lain.
“LPH itu jumlahnya cuma sedikit dan ini ada kaitannya dengan Majelis Ulama Indonesia. Sebab, untuk bisa lulus menjadi penyelia dan auditor itu pasti perlu melalui pelatihan dan uji kompetensi yang diselenggarakan oleh MUI,” ucapnya.
Sementara masih terkait dengan MUI, lanjutnya, kami berharap ada satu terobosan baru oleh MUI terkait kebijakan penerbitan fatwa yang selama ini masih terpusat mengingat pelaku usaha yang perlu melakukan sertifikasi halal tersebar di seluruh Indonesia,” pungkasnya.