Minggu, 24 November, 2024

Penegakan Hukum Kasus Perkara Korupsi Tidak Boleh Terpengaruh Oleh Politik

Oleh: Agus Surono*

Sejak periode 1 Oktober bahkan hingga saat tulisan ini dibuat (tanggal 12 Oktober 2022) masih sangat hangat terkait dengan pemberitaan tentang Kasus Formula E, dimana tempo merilis berita terkait kasus Formula E, EKSKLUSIF TEMPO: Begini Upaya Firli Bahuri Diduga Menjerat Anies Baswedan di Kasus Formula E(1/10/22).

Dalam berita tersebut disimpulkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi KPK Firli Bahuri disebut berkali-kali mendesak satuan tugas penyelidik kasus formula E agar menaikkan status penanganan kasus Formula E dari penyelidikan ke penyidikan.

Pada berita Tempo, desakan disampaikan Firli disaat gelar perkara Kasus Formula E. Pada gelar perkara itu juga disampaikan ada perbedaan-perbedaan pendapat.

- Advertisement -

Tim satuan tugas penyelidikan menganggap bahwa kasus formula E belum cukup bukti dilanjutkan ke tahap penyidikan, namun Firli tetap mendesak. Adapun sumber berita dari dilakukannya gelar pekara itu menurut tempo adalah kata penegak hukum, yang tidak disebutkan namanya dalam berita.

Selain itu, tempo juga mengutip pendapat-pendapat Ahli Hukum pidana diantaranya Prof Romli Atmasasmita, Prof Agus Surono, yang menyampaikan bahwa kasus Formula E hanya pelanggaran administratif dan tidak termasuk perbuatan pidana, yang kemudian dalam pemberitaan lainnya Prof Romli Atmasasmita juga telah membantah dan mengkonfirmasi pemberitaan tempo tersebut.

Selanjutnya pada kesempatan ini yang ingin saya klarifikasi dan konfirmasi secara khusus terkait dengan judul dan subtansi pemberitaan tempo yang akan saya ulang kembali dengan kalimat yang sama dalam pemberitaan tempo tersebut yaitu dengan headline atau judul: “Pendapat Pakar dari Kampus Ternama tentang Formula E, Kejujuran vs Kebohongan?”, dimana inti subtansi yang ingin saya berikan klarifikasi terkait pendapat Prof Romli Atmasasmita (Universitas Padjadjaran), yang berisi: “Formula E hanya merupakan pelanggaran administratif. Ia dibujuk KPK agar mau mengatakan ada pelanggaran pidana, tetapi menolak. Sedangkan Prof Agus Surono (Universitas Al Azhar Indonesia): “Bersedia menjelaskan Formula E sebagai pelanggaran pidana.” Kemudian disusul dengan kalimat lainnya: “Gimana nih, Universitas Al Azhar Indonesia?

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, saya khusus akan menanggapi dan memberikan konfirmasi yang berkaitan dengan judul diatas dan khususnya yang menurut tempo saya bersedia menjelaskan Formula E sebagai pelanggaran pidana, adalah merupakan pemberitaan yang tidak jujur dan merupakan kebohongan publik, serta merugikan nama baik saya yang tentu ini sangat bertentangan dengan etika jurnalistik dan juga sangat tendensius yang cenderung menyerang harkat dan martabat seseorang khususnya saya sebagai akademisi. Adapun alasan-alasan dalam pemberitaan tersebut merupakan pemberitaan yang tidak jujur dan merupakan kebohongan publik, serta merugikan nama baik saya dapat dijelaskan atas alasan-alasan sebagai berikut:

Pertama, bahwa saya tidak pernah di wawancarai oleh tempo ataupun memberikan pendapat terkait kasus Formula E di tempo hingga saat ini, meskipun dalam beberapa kesempatan saya dihubungi oleh seseorang yang mengaku dari tempo. Namun karena pada waktu itu saya masih menjalankan ibadah umroh dan kemudian beberapa saat sepulang umroh dilanjutkan mengantar anak studi S2 di UM, sehingga dapat dipastikan bahwa saya tidak pernah memberikan pendapat apapun di media manapun hingga terbitnya pemberitaan tersebut diatas, khususnya yang menyangkut saya di tempo.

Kedua, bahwa nama institusi asal saya dari Universitas Al Azhar Indonesia, merupakan hal yang sangat tidak benar. Karena sejak terhitung tanggal 1 September 2021, saya sudah bukan Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Al Azhar lagi, namun sudah berpindah home based di kampus lain.

Ketiga, bahwa saya diberitakan dalam pemberitaan tempo tersebut seolah-olah dipaksa oleh Ketua KPK, merupakan hal yang sangat tidak benar dan tidak mendasar serta sangat jauh dari fakta yang sebenarnya. Karena saya meyakini bahwa hal itu tidak pernah terjadi dan sesuai pengalaman saya menjadi dosen sejak tahun 2002 yang mengajar MK: Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Anti Korupsi dan Kejahatan Korupsi, serta MK yang berkait dengan hukum pidana lainnya, saya sangat paham betul bahwa hal itu sangat bertentangan dengan hukum acara pidana baik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP dan juga dalam UU KPK, serta peraturan perundang-undangan lainnya. Karena setiap saya memberikan keterangan ahli dalam berbagai tingkatan pemeriksaan baik penyelidikan, penyidikan dan bahkan pemeriksaan di tingkat pengadilan, saya dalam memberikan keterangan selalu didasarkan atas surat tugas yang diberikan oleh pimpinan fakultas dimana saya bernaung sebagai dosen.

Berdasarkan ketiga alasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemberitaan tempo sebagaimana diuraikan diatas merupakan pemberitaan yang tidak jujur dan membohongi publik, sehingga kedepan seyogyanya pemberitaan seperti itu khususnya terkait dengan penegakan hukum harus cermat dan mengutip sumber yang dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum, agar masyarakat atau publik dapat menilai mana pemberitaan yang cenderung bohong dan mana pemberitaan yang didasarkan pada fakta.

Dari segi saya secara pribadi tidak akan mempersoalkan hal ini, namun masyarakat atau publik perlu tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi khususnya yang menyangkut tentang saya, semoga masyarakat bisa menilai secara arif dan bijak setiap pemberitaan tersebut agar tidak menimbulkan permasalahan yang akan menggerus energi kita kepada hal-hal yang tidak perlu, sehingga mengganggu persatuan bangsa yang sebenarnya kultur kita justru hidup guyub dan saling membantu. Insyaalah sebagai orang yang juga pernah aktif pada pergerakan tahun 1998 dan juga pernah menjadi wartawan pada tahun 2000 hingga tahun 2002, yang saat ini istiqomah memilih sebagai akademisi, maka saya tidak akan pernah ikut arus pusaran politik. Karena apa yang saya sampaikan baik itu dimedia ataupun di lingkungan kampus, serta pendapat hukum saya hanya sebatas pemahaman saya terkait bidang hukum saja, bukan yang lainnya.

Selanjutnya saya mencoba untuk kembali ke ruh/khitoh akar masalah penegakan hukum dalam kasus korupsi sebagaimana judul diatas, yaitu bagaimana seharusnya dalam menyikapi kasus penegakan korupsi dalam berbagai kasus. Apabila kita perhatikan konsep atau teori hukum murni Hans Kelsen, dalam bukunya The Pure Theory of Law, intinya Kelsen mengatakan bahwa: “hukum harus dipisahkan dari anasir/faktor-faktor non hukum”, yang menurut saya dapat dijadikan sebagai salah satu pisau analisis untuk mencermati beberapa kasus seperti pada kasus Formula E dan juga seperti dalam kasus Lukas Enembe.

Sebenarnya baik pada kasus seperti kasus Formula E dan Kasus Lukas Enembe, merupakan kasus yang biasa saja, namun menjadi berbeda karena adanya faktor-faktor non hukum, bahkan salah satu kasus ada korelasinya dengan persoalan pencapresan yang hal tersebut merupakan faktor non yuridis yang justru seharusnya aparat penegak hukum tidak terpengaruh terhadap faktor non yuridis tersebut (faktor politik).

Dalam setiap tahapan pemeriksaan sebuah peristiwa hukum apakah merupakan peristiwa pidana ataukah tidak maka, terdapat acuan untuk mengkualifikasi sebagai suatu peristiwa pidana. Untuk dapat menentukan suatu peristiwa hukum (yaitu adanya irisan antara pelanggaran administrasi dengan tindak pidana korupsi atau antara perbuatan melawan hukum dalam ranah perdata dengan melawan hukum dalam ranah delik korupsi) tersebut merupakan suatu tindak pidana korupsi, maka terdapat indikator yaitu

a.  adanya mens rea atau niat jahat pada diri si pelaku yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan yang merupakan tindak pidana korupsi;

b.  adanya actus reus/perbuatan pidana yang dilakukan oleh subjek pidana yang melanggar norma tertulis dalam Undang-Undang Tipikor.

Dalam hukum pidana konsep pertanggungjawaban merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa Latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan “an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy”. Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).

Dalam penegakan hukum perkara pidana harus memenuhi prinsip prudent (kehati-hatian) dan juga due process of law (sesuai hukum acara pidana). Pada tahapan penyelidikan yang tujuan utamanya adalah untuk memastikan telah terjadi suatu tindak pidana dalam peristiwa hukum yang sedang dilakukan proses penegakan hukum harus mendasarkan pada bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 14 jo Pasal 17 KUHAP jo Pasal 21 KUHAP. Barulah kemudian dilakukan tahapan berikutnya yang didahului dengan gelar perkara dan dituangkan hasilnya dengan Berita Acara yang memastikan telah terjadi suatu tindak pidana, barulah kemudian diterbitkan surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), yang sifatnya internal dan tidak dapat disampaikan kepada publik mengenai subtansi hasil gelar perkara tersebut.

Setelah semua proses penegakan hukum tersebut sesuai dengan asas prudent dan due process of law secara konsisten maka sebagaimana konsep Hans Kelsen tentang Teori Murni Hukum sebagaimana diuraikan diatas, seharusnya dalam penegakan hukum perkara korupsi, termasuk juga dalam perkara Formula E, apabila Aparat Penegak Hukum KPK berdasarkan bukti permulaan yang cukup disimpulkan merupakan suatu peristiwa pidana, maka selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan penerbitan SPDP.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan proses penegakan hukum kasus korupsi yang sangat syarat dengan aspek politik baik seperti pada kasus Formula E maupun seperti pada kasus Lukas Enembe, serta kasus perkara korupsi lainnya yang sedang ditangani oleh KPK, maka Aparat Penegak Hukum KPK harus tetap tegak lurus dalam melaksanakan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku sebagaimana diatur dalam KUHAP, UU KPK, maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Sehingga dengan demikian hukum dapat benar-benar ditegakkan sesuai cita-cita negara hukum sebagaimana dimaksud pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI-1945.

*Penulis Adalah Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Pancasila

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER