MONITOR, Jakarta – Pakar Kemeritiman, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan bahwa kebijakan pembangunan perikanan harus mampu menjawah segenap permasalahan dan tantangan pembangunan di Sektor Kelautan Perikanan itu sendiri pada khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya yakni etahanan pangan, daya saing, pertumbuhan ekonomi inklusif, dan kesejahteraan rakyat secara ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable).
Demikian disampaikan Prof Rokhmin yang juga guru besar fakultas perikanan dan ilmu kelautan IPB University tersebut saat menjadi narasumber Focus Group Discussion (FGD) Outlook Industri Pangan Nasional 2023 yang digelar ID Food di Jakarta, Selasa (4/10/2022).
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu mengingatkan bahwa Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dari sektor ekonomi maritim dimana total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 7 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional 2020 dan mampu menyerap lapangan kerja sebanyak 45 juta orang atau 30% total angkatan kerja Indonesia.
Menurutnya, sejak 2009, Indonesia peringkat ke-2 sebagai produsen akuakultur terbesar dunia dimana hingga Triwulan III-2021, produksi perikanan budidaya mencapai 12,25 juta ton dengan dominasi masih dari komoditas Rumput Laut (58%). “Jika dibanding tahun 2020 pada periode yang sama, produksi perikanan budidaya hingga Triwulan III-2021 naik 6%, dimana kelompok ikan naik 36%, sementara rumput laut turun -8%,” terangnya.
Program Kebijakan Perikanan
Rokhmin menyebut kebijakan pembangunan sektor perikanan membutuhkan pendekatan sistem untuk mewujudkan mensejahterakan dan berkelanjutan seperti program kebijakan peningkatan kesekahteraan nelayan pada sektor perikanan tangkap meliputi: pertama, peningkatan produktivitas (CPUE = Catch per Unit of Effort) secara berkelanjutan (sustainable) dengan cara modernisasi teknologi penangkapan ikan.
“Modernisasi teknologi penangkapan ikan (kapal, alat tangkap, dan alat bantu); dan penetapan jumlah kapal ikan yang boleh beroperasi di suatu unit wilayah perairan, sehingga pendapatan nelayan rata-rata lebih dari US$ 300 (Rp 4,5 juta)/nelayan ABK/bulan secara berkelanjutan,” jelasnya.
Kedua, Nelayan harus menangani ikan dari kapal di tengah laut hingga didaratakan di pelabuhan perikanan (pendaratan ikan) dengan cara terbaik (Best Handling Practices), sehingga sampai di darat kualitas ikan tetap baik, dan harga jualnya tinggi. “Seperti penggunaan Palkah Berpendingin, Cool Box, RSW, dll,” katanya.
Ketiga, Revitalisasi seluruh pelabuhan perikanan supaya tidak hanya sebagai tambat-labuh kapal ikan, tetapi juga sebagai Kawasan Indsutri Perikanan Terpadu (industri hulu, industri hilir, dan jasa penunjang), dan memenuhi persyaratan sanitasi, higienis serta kualitas dan keamanan pangan (food safety).
Keempat, Pemerintah menjamin seluruh ikan hasil tangkapan nelayan di seluruh wilayah NKRI dapat dijual dengan harga sesuai ‘’nilai keekonomian” (menguntungkan nelayan, dan tidak memberatkan konsumen dalam negeri).
“Pada saat nelayan tidak bisa melaut, karena paceklik ikan maupun cuaca buruk (rata-rata 3 – 4 bulan dalam setahun), pemerintah wajib menyediakan mata pencaharian alternatif (perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, pariwisata bahari, agroindustri, dan potensi ekonomi lokal lainnya) supaya nelayan tidak terjerat renternir, seperti selama ini,” ungkapnya.
Keenam, Pemerintah harus melaksanakan DIKLATLUH tentang teknologi penangkapan ikan yang efisien dan ramah lingkungan, Best Handling Practices, dan konservasi secara reguler dan berkesinambungan.
Pembangunan Perikanan Budidaya
Pemerintah, lanjut Prof Rokhmin juga harus mendorong kebijakan dan program pembangunan perikanan budidaya agar lebih produtif, efisien, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan dengan berbagai langkah kongkret seperti revitalisasi semua unit usaha (bisnis) budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (coastal aquaculture), dan budidaya perairan darat.
Selain itu, ekstensifikasi usaha di kawasan perairan baru dengan komoditas unggulan, baik di ekosistem perairan laut (seperti kakap putih, kerapu, lobster, dan rumput laut Euchema spp); perairan payau (seperti udang Vaname, Bandeng, Nila Salin, Kepiting, dan rumput laut Gracillaria spp); maupun perairan darat (seperti nila, patin, lele, mas, gurame, dan udang galah).
Langkah berikutnya adalah diversifikasi usaha budidaya dengan spesies baru di perairan laut, payau, dan darat. “Pengembangan usaha akuakultur untuk menghasilkan komoditas (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, functional foods & beverages, pupuk, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya,” tegasnya.
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu juga mendorong revitalisasi dan pembangunan baru Broodstock Centers dan Hatcheries untuk momoditas unggulan (Udang Vaname, Lobster, Kerapu, Kakap, Bandeng, Nila, Patin, Udang Galah, Rumput Laut, dan lainnya) untuk menjamin produksi induk dan benih unggul (SPF, SPR, dan fast growing) dengan harga relatif murah dan produksi (supply) mencukupi untuk seluruh wilayah NKRI, kapanpun dibutuhkan.
Selanjutnya adalah revitalisasi dan pengembangan industri pakan nasional: (1) berbahan baku lokal dengan daya cerna tinggi; dan (2) formulasi pakan yang tidak hanya berdasarkan pada kandungan (level) protein dan lemak, tetapi lebih kepada profil (persyaratan) nutirisi yang dapat secara spesifik memenuhi kebutuhan biota perairan yang dibudidayakan.
“Sehingga kita mampu memproduksi pakan ikan/udang yang berdaya saing tinggi: kualitas unggul (top quality), harga relatif murah, dan volume produksi dapat memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor secara berkelanjutan. Ini sangat penting dan urgen sebab, sekitar 60% total biaya produksi untuk pakan,” tutur koordinator penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2019-2024 itu.