MONITOR, Jakarta – Guru Besar Ilmu Kelautan dan Perikanan IPB, Prof Rokhmin Dahuri, MSc menawarkan implementasi ekonomi biru sebagai geopolitik dan geostrategi dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia sekaligus memperkuat pertahanan nasional. Hal tersebut disampaikan Prof Rokhmin saat menjadi narasumber Seminar “Manajemen Pertahanan dalam Menghadapi Eskalasi Ancaman Global Dampak Perang Rusia dan Ukraina” yang diselenggarakan Fakultas Manajemen Pertahanan (UNHAN) secara daring pada Rabu (28/9/2022).
“Sebagai negara Kepulauan Terbesar di dunia, yang ¾ wilayahnya berupa laut (termasuk ZEEI) dan mengandung potensi pembangunan (SDA, environmental services) yang luar biasa besar, dan posisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis, jika didayagunakan dan dikelola dengan berbasis inovasi IPTEK dan manajemen profesional, niscaya Ekonomi Kelautan dapat menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantage) dan sumber pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang mampu menghantarkan sebagai Poros Maritim Dunia (PMD), Indonesia Emas, paling lambat pada 2045,” ujarnya.
Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu menerangkan Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai respon untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme) dimana 1,8 miliar orang masih miskin, 700 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang semakin melebar, krisis ekologi, dan Pemanasan Global. Ekonomi Hijau adalah ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi secara signifikan (UNEP, 2011).
Pada dasarnya, Blue Economy merupakan penerapan Ekonomi Hijau di wilayah laut (in a Blue World) (UNEP, 2012). Ekonomi Biru berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Mengutip Word Bank, 2016 Ekonomi Biru adalah penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan umat manusia, dan secara simultan menjaga kesehatan serta keberlanjutan ekosistem laut. Ekonomi Biru adalah semua kegiatan ekonomi yang terkait dengan lautan dan pesisir. Ini mencakup berbagai sektor-sektor ekonomi mapan (established sectors) dan sektor-sektor ekonomi yang baru berkembang (emerging sectors) (EC, 2020).
“Ekonomi biru juga mencakup manfaat ekonomi kelautan yang mungkin belum bisa dinilai dengan uang, seperti Carbon Sequestrian, Coastal Protection, Biodiversity, dan Climate Regulator (Conservation International, 2010),” terang mantan Menteri kelautan dan perikanan tersebut.
Ketua Umum Akuakultur Indonesia (MAI) itu menegaskan bahwa posisi geoekonomi dan geopolitik NKRI sangat strategis di dunia, karena menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta Benua Asia dan Benua Australia. Secara geologis, oseanografis, dan klimatologis; Indonesia secara kontinu dilalui oleh ARLINDO (Arus Laut Indonesia) atau ITF (Indonesia Through Flow) dari S. Pasifik ke S. Hindia, dan sebaliknya. Arus laut abadi yang merupakan bagian dari “Global Conveyor Belt” ini merupakan sumber energi kelautan terbarukan (arus laut, pasang surut, dan gelombang) yang sangat besar potensinya, khususnya di selat-selat seperti Selat Malaka, S. Sunda, S. Bali, S. Lombok, S. Makassar, S. Alas, S. Baubau, dan S. Larantuka.
Selain itu, ARLINDO yang secara kontinu bergerak bolak-balik dari S. Pasifik ke S. Hindia juga berfungsi sebagai “nutrient trap” (perangkap unsur hara, seperti nitrogen dan fosfor), sehingga perairan laut Indonesia merupakan habitat ikan tuna terbesar di dunia (the world tuna belt), memiliki marine biodiversity (keanekaragaman hayati laut) tertinggi di dunia, termasuk “Coral Triangle”, dan memiliki potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) ikan laut terbesar di dunia, sekitar 12,5 juta ton/tahun (FAO, 2008; KKP, 2017).
Sebagai bagian dari “Global Conveyor Belt” dan terletak di Khatulistiwa menjadikan Indonesia secara klimatologis sebagai pusat pengatur iklim dunia (El-Nino dan La-Nina) (NOAA, 1998).
Secara ekonomi, wilayah laut NKRI dengan ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) nya merupakan pusat Sistem Rantai Pasok Global, dimana sekitar 45% total barang (komoditas dan produk manufaktur) yang diperdagangkan di dunia, dikapalkan (ditransportasikan, didistribusikan) dengan nilai rata-rata US$ 15 trilyun/tahun (UNCTAD, 2016).
Selat Malaka sebagai bagian dari ALKI-1 merupakan jalur transportasi laut terpendek yang menghubungkan S. Hindia dengan S. Pasifik. Menghubungkan raksasa-raksasa ekonomi dunia, termasuk India, Timur-Tengah, Eropa, dan Afrika di belahan Barat dengan China, Korea Selatan, dan Jepang di belahan Timur. Selat Malaka,
ALKI-1 melayani pengangkutan sekitar 80% total minyak mentah yang memasok Kawasan Asia Timur (China, Taiwan, Jepang, dan Korea) dari Kawasan Timur- Tengah dan Afrika dimana Volume minyak mentah yang dikapalkan via S. Malaka sekitar 16 juta barel/hari, 20 kali lipat total produksi minyak mentah Indonesia, dan 4 kali lipat total minyak mentah yang diangkut via Terusan Suez.
“Jumlah kapal yang melintasi ALKI-1 mencapai 100.000 kapal per tahun. Sementara, Terusan Suez dan Terusan Panama masing-masing hanya dilewati oleh 18.800 dan 10.000 kapal per tahun (Calamur, 2017). Pendapatan Otoritas Terusan Suez mencapai rata-rata Rp 220 milyar per hari (Rp 80,7 trilyun per tahun). Bandingkan anggaran (APBN) Kemenhan 2021 hanya Rp 133,9 trilyun. Artinya: pendapatan tahunan Otoritas Terusan Suez itu = 62% Anggaran Kemenhan-RI 2021,” jelas Prof Rokhmin.
Selain itu, lanjut Prof Rokhmin secara geoekonomi dan geopolitik, wilayah gugusan pulau NKRI sejatinya merupakan “chock points” (“Gerbang Tol”) ratusan ribu armada kapal pengangkut, kapal ikan, kapal pesiar, dan kapal perang. “Pada Juli 2022, Presiden Turki, Erdogan memanfaatkan posisi strategis jalur transportasi laut untuk memaksa Rusia dan Ukraina bersepakat untuk tetap mengekspor gandumnya ke berbagai belahan dunia via Selat Bosporus. Mestinya, ALKI jauh lebih dahsyat (powerfull) untuk digunakan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran NKRI serta ‘juru damai dunia’,” tandasnya.
Pada 2012 AS menempatkan 4 Kapal Perangnya di perairan Singapura, memperkuat kekuatan militer (pertahanannya) di Pilipina. Baik AS maupun China terus berupaya meningkatkan kerjasama pertahannya dengan negara-negara ASEAN lainnya (Whitlock, 2012; Djamil, 2022).
“Klaim sepihak China atas 80% total wilayah Laut China Selatan, termasuk Laut Natuna Utara, berdasarkan “Nine-Dash Lines” menunjukkan betapa sangat strategisnya ALKI-1 termasuk S. Malaka. Untuk menegaskan klaimnya itu, sejak 1990-an China mengirim kapal-kapal ikan, penjaga pantai, kapal riset, dan kapal perang ke wilayah Laut China Selatan yang menurut UNCLOS 1982 merupakan hak berdaulat (jurisdiksi) Vietnam, Pilipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia,” ungkapnya.
Untuk mendukung implementasi ekonomi biru, ada tujuh langkah yang maesti dijalankan Indonesia yakni: pertama, setiap kegiatan pembangunan (unit bisnis) harus sesuai dengan RTRW laut – pesisir – daratan secara terpadu di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional. “Dalam setiap RTRW terpadu, minimal 30% total luas wilayah dialokasikan untuk kawasan lindung (protected area), selebihnya (< 70%) untuk kawasan pembangunan (development zone) berbagai sektor ekonomi seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata, ESDM (pertambangan & energi), industri bioteknologi kelautan, industri manufaktur, dan industri serta jasa maritim,” ujarnya.
Kedua, Pembangunan Kawasan Industri Terpadu berkelas dunia yang berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan sustainable di wilayah perbatasan (terdepan) NKRI, di wilayah pesisir di sekitar ALKI, dan pulau-pulau kecil.
Ketiga, Ciri ekonomi (Kawasan Industri Terpadu) berkelas dunia seperti diatas: (1) ukuran unit usaha memenuhi economy of scale, (2) menerapkan ISCMS (Integrated Supply Chain Management System), (3) menggunakan teknologi mutakhir (Industry 4.0) pada setiap mata rantai Supply Chain System, dan (4) mengikuti prinsip-prinsip Sustainable (Green) Development:
“RTRW, Optimal and Sustainable Utilization of Natural Resources, Zero Waste and Emission, Biodiversity Conservation, Design & Construction with Nature, dan Mitigasi & Adaptasi Perubahan Iklim serta Bencana Alam lainnya,” paparnya.
Keempat, Dalam jangka pendek – menengah (2023 – 2028) (Quick Wins), kita revitalisasi dan kembangkan sektor-sektor: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya; (3) industri pengolahan hasil perikanan dan seafood; (4) industri bioteknologi kelautan; (5) ESDM seperti Blok Natuna – Anambas, Blok Tangguh (Papua Barat), dan ZEEI Laut Andaman; (6) pariwisata bahari; (7) perhubungan laut; dan (8) industri dan jasa maritim (shipyard, dockyard, peralatan dan mesin, aplikasi digital, dan lainnya).
Kelima, Pengembangan logistik dan konektivitas maritim (Tol Laut & digital).
Keenam, Mendirikan Otoritas ALKI untuk mengelola lalu lintas kapal berbasis fee untuk NKRI, seperti pola Terusan Suez dan Terusan Panama with necessary adjustments.
Ketujuh, Economic rents dari pembangunan ekonomi maritim, sebagian untuk membangun HANKAM Maritim- RI berkelas dunia.