Sabtu, 23 November, 2024

Ganjar Dukung Densus 88 Masuk Sekolah Libatkan Eks Napiter

MONITOR, Jakarta – Program Densus 88 Antiteror untuk masuk ke sekolah-sekolah dengan melibatkan eks napiter, dinilai Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, sangat tepat. Selain sebagai upaya deradikalisasi eks napiter, langkah itu juga mampu memberikan pemahaman yang menyeluruh, tentang bahaya radikalisme kepada anak-anak sekolah.

“Tentu saja kita mesti mengajak banyak pihak untuk terlibat, umpama para aktor itu kita ajak menjadi juru bicara kita untuk menjelaskan deradikalisasi itu mesti dilakukan seperti apa, terorisme itu bahayanya seperti apa, dan masuk ke sekolah. Tentu kami ini tidak ingin memanjakan mereka (mantan napiter), tapi mengedukasi,” kata Ganjar, seusai menerima tim dari Densus 88 Antiteror Polri, di Kantor Gubernur.

Dukungan penuh juga disampaikan Ganjar Pranowo terkait upaya tersebut. Selama ini Pemprov Jateng sudah mencoba menggandeng eks napiter, untuk bercerita mengenai bahaya radikalisme dan terorisme melalui program Gubernur Mengajar. Ganjar selalu menyisipkan pendidikan karakter, bahaya narkoba, hingga pencegahan radikalisasi dalam setiap pertemuan dengan pelajar.

“Maka tadi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Kesbangpol kita ajak, agar semua masyarakat ikut terlibat. Sehingga keperduliannya ada, awarenes-nya ada. Dan di antara warga yang lain tidak melakukan, karena mendengar cerita mereka (eks napiter),” ungkapnya.

- Advertisement -

Menurut Ganjar, mengajak dan memberdayakan eks napiter merupakan dukungan pemerintah untuk deradikalisasi, dan membantu mereka kembali diterima dengan baik oleh masyarakat. Pola lain pemberdayaan eks napiter dan keluarganya juga dilakukan. Misalnya, beberapa waktu lalu di Surakarta Ganjar bertemu dengan keluarga atau istri eks napiter, yang mendirikan koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian keluarga.

“Jadi dari Densus mencoba komunikasi, bagaimana deradikalisasi itu dilakukan, dan konsep yang dibuat adalah mendorong dari sisi ekonomi. Itu peran pemerintah menjadi penting. Kolaborasi inilah yang bisa membantu untuk menyelesaikan persoalan mereka. Tapi pencegahan menjadi begitu penting, kalau kita yang menjelaskan, mungkin mereka tidak dapat cerita yang sesungguhnya. Maka para pelaku diminta untuk cerita. Nah ini pola kerja sama dengan Densus yang menurut saya bagus, dan saya dukung itu di Jawa Tengah,” jelas Ganjar.

Direktur Indentifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Antiteror Polri, Brigjen Pol Arif Makhfudiharto, mengatakan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan jajarannya selama ini selalu mendukung pelaksanaan penanggulangan terorisme di Jawa Tengah.

Diketahui, Jawa Tengah menjadi episentrum dari radikalisme. Dukungan pemerintah provinsi menjadi sangat penting, terutama dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat.

Berdasarkan data Densus 88 AT Polri, hingga awal September 2022, ada 212 orang narapidana terorisme yang ditahan di Jawa Tengah, yakni 191 orang di dalam lapas di Nusakambangan, dan 20 orang di luar Nusakambangan. Untuk jumlah mantan napiter di Jawa Tengah ada 230 orang, di antara yang terbanyak adalah di Surakarta 47 orang, Sukoharjo 43 orang, dan Kota Semarang 20 orang.

“Ketika kita bisa bekerja sama, baik itu komunikasi, berkolaborasi, dan melaksanakan kegiatan yang lebih sinergi, tentunya kita bisa menjadikan masyarakat paham bahwa mereka yang kita tangkap itu adalah korban dari ideologi yang disampaikan secara ekstrem, yang ujungnya adalah melakukan pelanggaran hukum,” katanya.

Kerja sama dalam aspek sosial ekonomi, dan internalisasi nilai-nilai luhur Pancasila kepada eks napiter dan keluarganya akan membuat mereka memiliki pendirian dan kecintaan kepada negara. Peran pemerintah sampai tingkat desa/kelurahan dengan otonomi, mengelola masyarakat dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya, juga menjadi langkah yang bagus untuk deradikalisasi dan internalisasi nilai Pancasila.

Arif menjelaskan, ketika seorang teroris ditangkap, maka ada keluarga, istri, dan anak yang ditinggalkan di rumah. Jika yang ditangkap kepala keluarga, maka keluarga yang ditinggalkan butuh menopang kebutuhan. Di sinilah peran pemerintah bisa lebih tepat, dengan memberikan kepastian kebutuhan keluarga tercukupi. Sebab, momen ini juga digunakan oleh jaringan teroris untuk masuk dan mengambil keluarga yang ditinggalkan.

“Mereka yang ditangkap itu korban dan yang terdampak adalah keluarganya. Maka kita coba berikan pemahaman kepada masyarakat bahwa mereka ini juga masyarakat, keluarga kita, dan berpikir yang kita perangi adalah perbuatannya, bukan orangnya. Kita harus selamatkan keluarganya, agar terputus dengan jaringan mereka (radikal),” papar Arif.

Ditambahkan, Densus 88 sudah memulai di-engagement dengan keluarga yang ditinggalkan sejak penangkapan teroris. Mulai soal pendidikan hingga kesehatan. Sebab deradikalisasi pelaku menjadi susah ketika keluarga mereka lebih dulu ditarik masuk ke jaringan.

Kerja sama dan kolaborasi antara Densus 88 dengan pemerintah daerah, juga terkait pencegahan radikalisasi di kalangan pelajar. Menurut Arif, pola mengajak eks napiter untuk berbicara tentang bahaya radikalisme dan bagaimana proses masuknya merupakan cara efektif.

“Ini kami anggap lebih efektif karena anak-anak sangat rentan, tetapi ketika diceramahi oleh penyintas menjadi lebih efektif sebagai narasumber,” ungkapnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER