MONITOR, Jakarta – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terus melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) setiap tahun. Evaluasi didasarkan pada penilaian terhadap 24 indikator KLA yang menentukan pencapaian peringkat setiap Kabupaten/Kota.
Hal itu disampaikan oleh Plt. Deputi Pemenuhan Hak Anak, Kemen PPPA, Rini Handayani, menanggapi video Rudi S. Kamri di kanal Youtube yang mempertanyakan Kota Depok dinilai oleh Setara Institute sebagai Kota Paling Intoleran, tetapi di saat bersamaan KemenPPPA memberikan predikat Kota Layak Anak.
Rini menjelaskan pemeringkatan KLA diberikan dalam berbagai kategori yang menunjukkan pencapaian setiap kota berdasarkan penilaian terhadap 24 indikator KLA tersebut. Ada lima kategori KLS berdasarkan nilai yang diperoleh yaitu Kategori Pratama (nilai 500-600); Kategori Madya (nilai 601-700); Kategori Nindya (nilai 701-800); Kategori Utama (nilai 801-900) dan KLA (nilai 901-1000).
“Dari hasil penilaian terhadap 24 indikator tersebut, Kota Depok meraih kategori Nindya. Artinya, Kota Depok belum dapat dinyatakan sebagai Kota Layak Anak, karena dari ke-24 indikator tersebut ada indikator yang belum dapat dipenuhi oleh Kota Depok. Sehingga nilai yang diperoleh baru pada tahap Kategori Nindya,” kata Rini, di Jakarta, pada Rabu (14/9).
Adapun 24 Indikator penilaian KLA dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu (1) Kelembagaan meliputi regulasi seperti Perda KLA, Gugus tugas, Anggaran, Profil Anak, Rencana Aksi KLA, Keterlibatan Masyarakat, Dunia Usaha dan.Media, dalam penyusunan regulasi, rencana aksi mendengarkan suara anak, SDM penyedia layanan anak yang terlatih KHA, dan (2) Klaster substansi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Khusus Anak.
“Klaster substansi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Khusus Anak meliputi hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang, kegiatan budaya, sampai perlindungan khusus,” kata Rini.
Indikator-indikator tersebut kemudian diturunkan dalam 24 Indikator KLA dengan beberapa penilaian konkret, seperti pemenuhan akta kelahiran, perpustakaan, partisipasi pendidikan dasar, penyediaan panti, layanan imunisasi, prevalensi gizi balita angka kematian bayi, jumlah kasus anak berhadapan dengan hukum, sampai persentase perkawinan di bawah 18 tahun dan ASI eksklusif.
Berdasarkan indikator penilaian tersebut, Rini menegaskan apabila penilaian Kota Toleransi/Intoleransi disandingkan dengan Kota Layak Anak adalah tidak tepat. Keduanya memiliki variabel dan indikator penilaian yang berbeda.
“Banyak penilaian dan penghargaan yang diberikan kepada daerah dalam upaya membangun wilayahnya, baik oleh K/L maupun lembaga lainnya. Namun, indikator yang menjadi ukuran penilaian tentu saja tidak sama,” kata Rini.
Penilaian Kota Toleran/Intoleran, diantaranya, adalah Regulasi Pemerintah Kota: menyangkut Rencana pembangunan dalam bentuk RPJMD dan produk hukum pendukung lainnya; dan kebijakan diskriminatif. Selanjutnya, menilai Tindakan Pemerintah: Pernyataan pejabat kunci tentang peristiwa intoleransi; dan tindakan nyata terkait peristiwa. Termasuk juga penilaian Regulasi Sosial dan Demografi Agama.
“Variabel Kota Toleransi/Intoleransi tersebut tentu tidak digunakan dalam menilai KLA, jadi sangat berbeda antara kota toleransi/intoleransi dengan KLA. Namun dapat kami sampaikan bahwa toleransi beragama merupakan bagian dari ukuran sebuah KLA,” kata Rini.
Dikemukakannya bahwa toleransi dan kerukunan beragama merupakan salah satu bentuk pengasuhan positif yang ditanamkan dalam keluarga yang terus didorong oleh Kemen PPPA. Terlebih lagi, pengasuhan positif dalam keluarga menjadi salah satu isu prioritas Kemen PPPA yang merupakan arahan Presiden Joko Widodo.
“Kemen PPPA menilai keluarga memiliki peranan terbaik dalam mendidik dan menumbuhkan sikap toleransi beragama untuk membangun kerukunan antar umat beragama di tengah masyarakat. Intoleransi berpotensi menjadi akar lahirnya kekerasan baik di wilayah domestik (keluarga) dan maupun publik (masyarakat), di mana perempuan dan anak dapat terlibat di dalamnya. Untuk itu, Kemen PPPA turut mendorong tercapainya toleransi dan kerukunan di masyarakat melalui pengasuhan dalam keluarga,” kata Rini.
Rini menegaskan, penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan tujuan dan semangat perjuangan KemenPPPA yang akan terus dijalankan. Karena itu, pengasuhan positif dalam keluarga dan penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai bagian dari Lima Isu Prioritas Kemen PPPA yang tengah dikerjakan dengan konsentrasi penuh oleh seluruh jajaran Kemen PPPA.
Evaluasi terhadap pelaksanaan KLA, dilakukan oleh Kemen PPPA setiap tahun untuk memastikan kabupaten/kota melaksanakan sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak Anak dan perlindungan khusus Anak yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan sesuai dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kota Layak Anak.