MONITOR, Jakarta – Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyoroti besaran subsidi dana haji, sebagaimana menurut laporan BPKH, telah mencapai 60 persen. Sementara, Bipih yang dibebankan kepada jemaah tidak sampai separuh dari BPIH.
Wapres menyampaikan kekhawatirannya bahwa subsidi yang terlalu besar akan terus menggerus dana haji sehingga dapat mengganggu kesinambungan pembiayaan haji di masa mendatang.
Merespon hal itu, Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf menyampaikan, penyelenggaraan ibadah haji harus dilakukan secara efisien. Jika terjadi inefisiensi dalam penyelenggaraan ibadah haji, maka perlu ada upaya untuk mengefektifkan biaya haji dengan langkah seefisien mungkin.
“Bahkan jika perlu, penyelenggaraan haji dengan skema Government (G) to Business (B) ditinjau kembali, ” jelas Bukhori, Rabu (24/8/2022).
Legislator Dapil Jawa Tengah 1 ini mengungkapkan, biaya riil haji pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 2022 mencapai Rp98,5 juta per orang. Dia menilai biaya riil yang nyaris menyentuh nominal Rp100 juta ini sangat timpang dengan setoran jemaah yang hanya dibebankan sekitar Rp35 juta per orang.
“Akibatnya, kesenjangan antara biaya riil haji dengan biaya yang disetorkan jemaah tergolong besar, yakni lebih dari 50 persen. Sebab itu perlu ada rasionalisasi biaya perjalanan ibadah haji (Bipih),” tegasnya.
Bukhori menjelaskan, kekurangan dana haji selama ini ditutup oleh nilai manfaat yang diperoleh dari pengelolaan dana yang jemaah setorkan sebelumnya untuk mendapatkan nomor kursi, senilai Rp35 Juta per jemaah. Selanjutnya, mereka mesti menunggu di antara rentang waktu 25-40 tahun tergantung masing-masing daerah. Di saat yang bersamaan, selama masa tunggu dana yang telah mereka setorkan itu dikelola melalui investasi oleh BPKH,” terangnya.
Bukhori menambahkan, dari besaran biaya haji saat ini, yaitu Rp35 juta, nantinya akan dikembalikan kepada jamaah sekitar 5 juta sebagai uang saku sehingga total setoran jemaah sebenarnya adalah Rp30 juta. Sedangkan di sisi lain, biaya riil haji nyaris mencapai Rp100 juta, yang berarti masih ada kekurangan sekitar Rp70 juta.
“Pertanyaannya adalah apakah dana setoran jemaah haji sebesar Rp35 juta yang telah dikelola selama 25 hingga 40 tahun itu, nilai manfaatnya mampu mencapai Rp70 juta atau tidak? Bila tidak sepadan, maka setoran jemaah haji tidak cukup dengan Rp35 juta saja.
Terkait dengan berapa nominal yang perlu ditambah, sambungnya, itu membutuhkan kajian yang lebih mendalam sehingga bila terjadi ketidakseimbangan, maka harus ditelaah di mana letak masalahnya.
“Apakah masalahnya di pengelolaan keuangan hajinya sehingga perlu dikelola secara progresif, atau karena masalah sedikitnya setoran jamaah? Jika ternyata masalahnya terletak pada setoran jamaah, maka setorannya harus ditambah. Sementara jika persoalannya ada pada regulasi, maka opsi untuk mengubah UU eksisting perlu untuk dipertimbangkan,” tuturnya.
Bukhori mengungkapkan, BPKH mengelola dana yang dihimpun dari sekitar 5 juta jemaah haji dengan dana kelolaan sekitar Rp170 triliun, dimana nilai manfaat yang diperoleh dari jumlah tersebut nyaris mencapai Rp8 triliun dalam situasi normal, semisal tahun 2019.
“Walaupun demikian, patut digarisbawahi bahwa dana sekitar dari Rp8 triliun tersebut bukan semata-mata hak jemaah yang berangkat tahun ini, melainkan hak semua jemaah haji yang telah menyetorkan dananya yang jumlahnya sekitar 5 juta itu,” ucapnya.
Selanjutnya, demikian Bukhori melanjutkan, yang menjadi kekhawatiran kami adalah apabila Arab Saudi kemudian memberikan kita kuota tambahan, dengan kebijakan biaya perjalanan ibadah haji (bipih) yang masih bertumpu pada subsidi hingga lebih dari 50 persen, konsekuensinya BPKH akan dituntut untuk menutupi biaya dua kali lipat untuk sekali perjalanan.
“Artinya, jika nilai manfaat yang diperoleh adalah Rp8 triliun, maka itu akan habis pakai untuk sekali musim. Kemudian jika Saudi menaikan kuota hingga 100 persen, maka sekitar Rp16 triliun akan habis hanya untuk menutupi biaya haji dikarenakan operasional haji diperkirakan memakan biaya Rp16 untuk sekali musim,” bebernya.