MONITOR, Jakarta – Pengakuan kapasitas hukum penyandang disabilitas piskososial atau seseorang dengan gangguan jiwa kerap terabaikan. Hal itu menghasilkan stigma negatif sampai tindakan diskriminatif, sebut saja tindakan perundungan, pemasungan, sampai kehilangan harta benda karena proses pengampuan yang mengambil alih pengambilan keputusan atas diri penyandang disabilitas psikososial kepada orang lain tanpa persetujuan.
Praktik-praktik itu harus dihilangkan dengan memperkuat jaminan hukum, khususnya dalam pelindungan hak kesamaan di hadapan hukum, serta membangun kesadaran masyarakat untuk senantiasa memberikan dukungan penuh kepada penyandang disabilitas psikososial untuk dapat mengambil keputusan secara mandiri atas dirinya sendiri.
Dalam diskusi yang diadakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Perhimpunan Jiwa Sehat, Fajri Nursyamsi menyampaikan bahwa penyandang disabilitas psikososial adalah bagian dari warga negara yang memiliki hak yang sama. Dalam hal itu, negara memiliki tugas untuk memastikan pelindungan penghormatan, dan pemenuhannya.
Fajri juga menekankan bahwa UUD 1945 sudah menjamin kesamaan kesempatan dan hak di hadapan hukum bagi setiap orang, termasuk penyandang disabilitas psikososial, termasuk hak dalam pelindungan harta benda pribadi untuk tidak diambil alih oleh orang lain. Namun begitu, masih ada berbagai peraturan perundang-undangan yang memandang penyandang disabilitas psikososial secara diskriminatif, misalnya ketentuan mengenai syarat sehat jasmani dan rohani untuk menjadi calon angota DPD, DPR, dan DPRD yang ada dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu; dan ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang memungkinkan pemberi kerja memberhentikan pegawainya dengan alasan disabilitas.
Dalam perspektif hak asasi manusia, Asfinawati menyampaikan bahwa penyandang disabilitas psikosial merupakan subyek hukum, sehingga penyandang disabilitas psikososial tidak boleh didiskriminasi sebagai subyek hukum, tidak boleh didiskriminasi oleh hukum, dan tidak boleh didiskriminasi di depan pengadilan atau badan-badan lain. Hak persamaan di hadapan hukum merupakan sifat dasar, sehingga tidak boleh didiskriminasi dengan alasan apapun.
“Kewajiban negara dalam menghormati dan menjamin hak asasi manusia, secara prinsip dasar negara tidak boleh melakukan pembedaan apapun berdasarkan alasan apapun, disamping itu negara juga harus menjamin pemenuhan hak dalam sebuah legislasi dan berbagai kebijakan, dan negara harus bisa menjamin pelaksanaan putusan atau keputusan atas pemulihan hak asasi manusia,” ucap Asfinawati.
Yeni Rosdianti kemudian menegaskan bahwa Pasal 12 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) telah menjamin bahwa negara-negara pihak harus mengakui bahwa penyandang disabilitas menikmati kapasitas hukum atas dasar kesetaraan dengan orang lain dalam semua aspek kehidupan.
“Secara historis diungkapkan bahwa penyandang disabilitas telah ditolak haknya atas kapasitas hukum di banyak bidang dengan cara yang diskriminatif, termasuk penyandang disabilitas psikososial,” ujar Yeni.
Yeni menegaskan bahwa praktik-praktik ini harus dihapuskan untuk memastikan bahwa kapasitas hukum harus diberikan kembali kepada penyandang disabilitas atas dasar kesetaraan dengan orang lain. Yeni menyampaikan bahwa negara harus memberikan akses terhadap dukungan dalam pelaksanaan kapasitas hukum penyandang disabilitas psikososial, dukungan tersebut dapat berbentuk formal maupun informal dengan menghargai perbedaan.
Dukungan ini juga harus tersedia bagi semua penyandang disabilitas termasuk penyandang disabilitas psikososial. Yeni memberikan catatan bahwa dukungan yang akan diberikan tidak dikaitkan dengan penilaian kapasitas mental sebab akan mengakibatkan penyandang disabilitas dinilai tidak memiliki kepasitas hukum.
Dalam diskusi ini, Ati Maulin menyatakan bahwa penyadang disabilitas psikososial termasuk ke dalam disabilitas yang tidak kasat mata yang bisa pulih dan tetap memiliki kapasitas berpikir yang baik serta bisa melakukan aktivitas seperti biasa dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, berbagai permasalahan yang masih menimpa kepada penyandang disabilitas psikosial diantaranya stigma terhadap penyadang disabilitas psikososial masih dipukul rata, penyandang disabilitas psikosial dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk bekerja, penyandang disabilitas psikososial dianggap tidak mampu mengelola keuangan, dan adanya masalah pemantian berdasarkan keputusan keluarga bukan kondisi orang yang dipantikan.
“Dalam beberapa kasus seharusnya pengambil keputusan harus mendukung dan mengupayakan agar penyandang disabilitas psikososial bisa mengambil keputusannya sendiri,” ucap Atin.
Dari diskusi itu diharapkan dapat terinformasikan dengan baik bagaimana masyarakat perlu bertindak dalam berinteraksi dengan penyandang disabilitas psikososial. Selain itu, Pemerintah dan pemerintah daerah juga perlu memastikan apa yang sudah baik sebagai jaminan dalam UUD 1945 dijadikan jiwa dan prinsip dalam menghasilkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Dengan begitu, praktik pemasungan, pengurungan di panti, sampai pengambilan alihan harta benda secara sepihak tidak terjadi lagi terhadap para penyandang disabilitas psikososial seperti layaknya warga negara dan manusia lainnya.
MONITOR, Jakarta - Berikut jadwal sepakbola malam ini menyajikan laga menarik antara Ipswich Town bertemu…
MONITOR, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menjalin sinergi lintas sektor guna meningkatkan efektivitas…
MONITOR, Jakarta - Pertamina Eco RunFest 2024 yang berlangsung di Istora Senayan Jakarta pada Minggu…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag) memberi penghargaan kepada lima qari, qariah, dan hafiz yang…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag) terus berupaya mengangkat juara Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) internasional…
MONITOR, Jakarta - Ketua Umum PSSI, Erick Thohir berterima kasih kepada para sponsor yang makin…