MONITOR, Jakarta – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof DR Ir Rokhmin Dahuri, MS mendorong pentinganya implementasi Ekonomi Biru dan Teknologi Industri 4.0 untuk Perikanan yang Produktif, Efisien, Inklusif, dan Berkelanjutan dalam Konferensi Internasional Budidaya dan Perikanan 2022 atau International Conference on Fisheries and Aquaculture (ICFA 2022) yang dilaksanakan The International Institute of Knowledge Management (TIIKM) di Jakarta, Kamis (25/8/2022).
Menurut Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut populasi dunia yang terus meningkat dan pendapatannya (daya beli) secara dramatis meningkatkan permintaan manusia akan makanan (termasuk ikan dan makanan laut), energi, produk farmasi, mineral, serta komoditas (sumber daya alam) dan produk lainnya.
“Dalam konteks sektor penghasil pangan (pertanian, peternakan, perikanan budidaya, dan perikanan tangkap); hanya akuakultur yang masih memiliki ruang besar untuk mengembangkan produksinya. Sederhananya, karena tingkat pemanfaatan (produksi) pengembangan perikanan budidaya (usaha), khususnya di lingkungan laut (marikultur) dan lahan pesisir (budidaya air payau), selama ini jauh lebih rendah dari total potensi produksinya,” kata Rokhmin Dahuri.
Sementara itu, terang Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu produksi perikanan tangkap dunia mengalami stagnasi (levelling-of) dimana sekitar 90 juta ton/tahun, sejak akhir 1990-an (FAO, 2022). Dan, pembangunan peternakan dan pertanian juga terkendala oleh konversi lahan pertanian menjadi penggunaan lahan lain, pencemaran, degradasi lingkungan ekosistem darat, dan konflik sosial.
“Budidaya perikanan bukanlah ‘ilmu roket’ dan bukan bisnis padat modal sehingga bisnis budidaya secara praktis dapat dijalankan oleh kebanyakan orang Bagus untuk mengatasi pengangguran,” terangnya.
Secara umum, lanjut Rokhmin Dahuri kegiatan budidaya merupakan bisnis yang menguntungkan dan terbarukan yang sebagian besar terletak di laut, pesisir, pulau kecil, dan daerah pedesaan baik untuk mengentaskan kemiskinan, memperkuat ketahanan pangan, dan mengurangi disparitas pembangunan wilayah antara perkotaan versus pedesaan, dan dalam kasus Indonesia antara Pulau Jawa versus Pulau Luar.
Menurut definisi, akuakultur tidak hanya menghasilkan ikan bersirip, krustasea, moluska, dan rumput laut; tetapi juga invertebrata, dan flora dan fauna lainnya (FAO, 1998). Oleh karena itu, perikanan budidaya sebenarnya merupakan sektor pembangunan yang tidak hanya menghasilkan komoditas pangan sebagai sumber protein hewani tetapi juga: (1) komoditas pangan sebagai sumber mineral, vitamin, dan karbohidrat (padi dan tanaman pangan); (2) komoditas (misalnya invertebrata, alga mikro, dan alga makro) sebagai sumber bahan baku (senyawa bioaktif) untuk makanan & minuman fungsional, industri farmasi, pengecatan, dan industri lainnya; (3) komoditas sebagai sumber biofuel (misalnya alga mikro); (4) komoditas perhiasan; dan komoditas lainnya untuk berbagai kegunaan lainnya.
“Budidaya alga mikro, alga makro (rumput laut), tanaman air, dan organisme lain yang dapat menyerap CO2 dan Gas Rumah Kaca (GRK) lainnya dapat menjadi penyerap (sequestrian) GRK yang signifikan untuk mengurangi (menghentikan) Perubahan Iklim Global (Pemanasan global),” jelasnya.
Sementara itu, Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai respon untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme) dimana pembangunan ekonomi pada sisi lain justru melahirkan fakta bahwa 1,8 miliar orang masih miskin, 700 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang semakin melebar, krisis ekologi, dan Pemanasan Global.
Ekonomi Hijau adalah ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi (UNEP, 2011). Dan Blue Economy merupakan penerapan Ekonomi Hijau di wilayah laut (in a Blue World) (UNEP, 2012). Sederhananya, Ekonomi Biru berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan” (Uni Eropa, 2019).
“Ekonomi biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menggunakan infrastruktur hijau, teknologi dan praktik, mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif, dan pengaturan kelembagaan proaktif untuk memenuhi tujuan kembar melindungi pantai dan lautan, dan pada saat yang sama meningkatkan potensi kontribusinya terhadap ekonomi berkelanjutan. pembangunan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi,” kata Duta Besar Kehormatan Jeju Islan dan Busan Metropolitan City Korea Selatan itu mengutip PEMSEA, 2011 dan UNEP 2012.
Revolusi Industri keempat (Industry- 4.0) ditandai dengan berkembangnya teknologi-teknologi baru terutama berbasis digital dan teknologi informasi seperti IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence), Big Data, Block-chain, Cloud Computing, dan Robotika serta Bioteknologi dan Nanoteknologi (Klaus Schwab, 2015)
Prof Rokhmin Dahuri yang saat ini menjabat Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2019-2024 itu membeberkan sejumlah manfaat penerapan teknologi ekonomi biru dan industri 4.0 dalam Budidaya Perairan diantaranya: Pertama, Revolusi Industri Keempat (atau IR-4.0) menawarkan berbagai teknologi, dan beberapa dapat diterapkan untuk sistem akuakultur.
“Sangat tepat untuk menerapkan istilah ‘Akuakultur 4.0’ untuk budidaya perairan yang didorong oleh teknologi 4.0. Beberapa “Proyek Akuakultur 4.0” yang menarik telah terbukti berhasil di sektor akuakultur,” ujarnya.
Kedua, Meningkatkan akurasi, presisi, dan pengulangan dalam proses akuakultur. Ketiga, Memfasilitasi tingkat otomatisasi yang lebih besar atau kontrol bawaan dalam pemantauan rutin sistem akuakultur
Keempat, Menyediakan sistem pendukung keputusan yang dapat diandalkan yang dicirikan oleh program komputerisasi untuk mengumpulkan dan menganalisis data dan mensintesis informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dengan algoritma komputer atau intervensi manusia atau keduanya.
Kelima, mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manual, dan penilaian subjektif produktif, Efisien, Inklusif, dan Berkelanjutan.
“Pada tanggal 21 Agustus 2022 saya berkesempatan melihat kegiatan ekonomi biru yang diterapkan oleh CV Bali Aquarium. Bali Aquarium adalah perusahaan pertama di Indonesia yang memproduksi karang Marikultur untuk tujuan komersial (untuk domestik dan internasional). Teknik mereka untuk membudidayakan karang untuk akuarium laut dapat menjadi contoh ekonomi biru yang berkelanjutan,” pungkas Rokhmin Dahuri.
MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi IV DPR RI Arif Rahman mendukung adanya peningkatan anggaran untuk Kementerian…
MONITOR, Indramayu - Pertamina, melalui Subholding Gas dan entitas usahanya PT Pertamina Gas, melanjutkan komitmennya…
MONITOR, Banjarmasin - Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman (Mentan Amran) melakukan kunjungan kerja maraton ke…
MONITOR, Jakarta - Menyambut libur Natal 2024 dan Tahun Baru 2025, PT Jasa Marga (Persero)…
MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi IV DPR RI, Arif Rahman, mengkritisi implementasi kebijakan Penangkapan Ikan…
MONITOR, Jakarta - Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansah, mengungkapkan bahwa keberadaan Pertamina Gas Negara (PGN)…