Jumat, 22 November, 2024

Kebangkitan Tunas Indonesia Raya

Oleh: Rahmat Kamaruddin*

Empat belas tahun sudah perjalanan Tunas Indonesia Raya (TIDAR) menjadi bagian dari organisasi kepemudaan di Indonesia. Visinya adalah menjadi organisasi kepemudaan yang mampu menyelamatkan masa depan Indonesia dengan membangkitkan semangat nasionalisme berdasarkan Pancasila dan UU 1945. TIDAR mewadahi generasi muda Indonesia yang ingin berproses di dunia politik praktis.

Berdasarkan hasil Kongres ke-III TIDAR di Jakarta, Desember 2021 lalu, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo terpilih menjadi Ketua Umum. Perempuan yang juga akrab disapa Sara tersebut bagi sebagian orang tentu tidak asing lagi di Republik ini. Kiprahnya merentang pada  berbagai bidang. Mulai dari aktivis perempuan dan anak, penentang Human-Trafficking, aktris, presenter, hingga seorang politikus.

Sara sendiri akan memimpin dalam kurun waktu 2022-2025. Keberadaan Sara pada pucuk kepemimpinan organisasi sayap Partai Gerindra tersebut tentu saja akan mewarnai langkah TIDAR ke depan. Apalagi pesta demokrasi pemilu di tahun 2024 akan terselenggara. Persiapan demi persiapan pun diupayakan. Rakernas TIDAR pada 15-17 Juli di Medan, Sumatera Utara, merupakan ikhtiar merapatkan barisan dan menggalang kekuatan.

- Advertisement -

Pemimpin mempunyai peran besar bagi organisasi. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Oleh karena itu, narasi politik yang telah menjadi nafas perjuangan Sara kiranya perlu menjadi perhatian. Narasi yang begitu berarti bagi perbaikan kualitas politik kita yang begitu sesak karena hiruk pikuk seputar mengisi perut (epithumia) dan berebut kuasa belaka (thumos).

Subyektifikasi perempuan

Bukan hal mudah rasanya menjadi perempuan. Dampak dari konstruksi budaya telah berabad-abad menempatkan posisi perempuan sebagai sosok subordinat dari laki-laki. Hingga hari ini. Kondisi semacam itu masih terus memproduksi diskriminasi gender pada berbagai lini kehidupan. Alhasil, kesetaraan gender masih harus mendapatkan perhatian khusus. Demi tegaknya kehidupan sosial yang berkeadilan.

Sara bukan hanya perempuan. Tapi, dia juga perempuan yang punya kesadaran tentang perempuan dalam berbagai dimensinya. Mulai dari sejarah, budaya, hingga politik. Kerisauannya terhadap kondisi perempuan yang sedang tidak baik-baik saja, ia wujudkan ke dalam bentuk perlawanan. Bukan diam dan pasrah menerima.

Perlawanan itu telah ia upayakan pada berbagai kesempatan. Sara misalnya, saat duduk sebagai legislator di Senayan, Komisi VIII, periode 2014-2019, tercatat sebagai sosok yang begitu vokal dalam proses pembentukan RUU TPKS, yang baru saja disahkan pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 dan disambut haru oleh kaum perempuan di Indonesia.

Pada momen Rakernas TIDAR, di hadapan Kader se-Indonesia, Sara menantang pengurus TIDAR, level propinsi dan kabupaten/kota, agar melakukan restrukturisasi dengan menempatkan perempuan pada posisi strategis. Menurutnya, perempuan jangan hanya dijadikan pajangan. Tapi juga harus menjadi bagian dari agent of change. Jangan dijadikan objek untuk hang-out saja. Tapi juga harus diposisikan secara strategis.

Selain itu, melalui sebuah yayasan yang Sara dirikan pada 2012, Parinama Astha Foundation (ParTha), Sara terus memperjuangkan ihwal kesetaraan gender, perubahan iklim dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sara tampak seperti orang yang tidak kenal lelah untuk mengurusi ihwal demikian, terutama jika terkait perempuan. Dia berharap perempuan dapat menjadi pelaku, subjek, pada berbagai aspek pembangunan bangsa dan kehidupan yang lebih baik.

Krisis iklim

Salah satu ihwal yang juga begitu getol Sara perjuangkan adalah kampanye perubahan iklim. Minimnya kesadaran lingkungan manusia modern telah berimbas buruk berupa  perubahan iklim dan rusaknya ekosistem makhluk hidup. Oleh karena itu, Sara menghimbau agar generasi muda lebih peduli dan mau mengupayakan merawat lingkungan, sekecil apapun itu. Dimulai dari hal sederhana, dimulai dari diri sendiri. Mengurangi sampah botol plastik, misalnya.

Bukan hal yang mudah memang. Pasalnya, pola perusakan lingkungan hidup berlangsung begitu masif dan nyaris dianggap biasa saja. Sara mengupayakan agar kesadaran ekologis harus menjadi bagian dari semangat generasi muda yang ingin terjun ke politik. Meskipun sains dan ilmu pengetahuan telah mengingatkan berkali-kali agar manusia tidak abai terhadap kelestarian lingkungan. Akan tetapi belum cukup. Perlu perjuangan politik, terutama oleh generasi muda, agar tercipta regulasi yang berbasis ekologis dan humanis. Demi merawat keberlangsungan hidup bersama.

Seminggu sebelum perhelatan Rakernas TIDAR di Medan, Sumut, Sara menginstruksikan kepada panitia agar acara berjalan tanpa air mineral botol. Sebagai gantinya, seluruh peserta diminta membawa tumbler masing-masing. Panitia diminta menyiapkan air galon untuk isi ulang tumbler peserta. “Jangan munafik kita teriak-teriak untuk melawan perubahan iklim tapi nggak melakukan bagian kita untuk membawa perubahan,” begitu pesan Sara kepada kader TIDAR.

Ini bukanlah kali pertama Sara lakukan. Pada kegiatan yang memang berada di bawah kendalinya, dia selalu berusaha meminimalisir adanya sampah plastik. Misalnya, pada diklat internal Tunas 1 dan 2 TIDAR di Kantor DPP Gerindra pada 14 Mei 2022 lalu, Sara melarang penggunaan air mineral botol. Seluruh peserta dan panitia diminta bawa tumbler sendiri. Instruksinya tegas: masa depan politik harus berbasis pada nilai-nilai humanis dan ekologis.

Merayakan keberagaman

Beberapa tahun belakangan ini, ruang publik kita begitu berisik terkait isu radikalisme dan intoleransi. Perkara-perkara besar, terutama terkait kritik terhadap kinerja Pemerintah, seketika menjadi ihwal biasa-biasa saja dan tenggelam ketika isu intoleransi dimunculkan. Radikal dan intoleran pun menjadi kata sakti mandraguna. Sebuah proyek toleransi yang cukup ampuh merawat stabilitas keberlangsungan rezim.

Generasi muda Indonesia kiranya memang memerlukan doktrin pluralisme dalam wujudnya yang lebih maju. Bukan dalam bentuknya untuk membungkam lawan politik belaka. Tapi dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika. Sara sendiri lahir dan tumbuh besar dalam iklim keluarga yang merayakan keberagaman.

Dalam buku “Jejak Perlawanan Begawan Perang” (2000), biografi Sumitro Djojohadikusumo, Sang Begawan Ekonomi Indonesia, kakek Sara, dikisahkan bahwa saat sang kakek akan menikah, tak terbersit sedikitpun keinginan hati Sumitro meminta calon istrinya menjadi seorang muslimah. Begitu pun Dora, calon istri Sumitro, tidak juga menuntut agar pasangan hidupnya masuk agama Kristen. Keluarga Sumitro pun tidak keberatan atas perbedaan agama tersebut.

Rupanya di dalam keluarga Djojohadikusumo memang telah ditanamkan sikap saling hormat-menghormati antar agama. Bahkan, Raden Mas Margono Djojohadikusumo, ayah dari Sumitro, dikisahkan pernah memberikan kesempatan kepada Sumitro belajar beragam agama dan lalu menyerahkan sepenuhnya kepada putranya itu mengenai agama apa yang ia jadikan pegangan hidup (2000: 395).

Pluralisme telah menjadi bagian dari kehidupan Sara. Sebuah doktrin yang begitu darurat bagi kita masyarakat Indonesia untuk merawat keberagaman, agar diskursus politik kita selangkah lebih maju. Tidak terjerumus lagi pada isu sektarian untuk kesekian kali.

Terkait narasi pluralisme ini, Sara punya pengalaman yang kiranya menggambarkan betapa keberagaman kita sebagai bangsa majemuk masih setengah hati. Kala itu, Sara mendapatkan tugas untuk membaca doa pada Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR periode 2014-2019. Hampir saja bangsa ini menorehkan sejarah kemajemukan berupa tampilnya sosok perempuan dan non-Muslim untuk kali pertama membacakan doa di sidang MPR. Namun, tiba-tiba dibatalkan Ketua MPR, Zulkifli Hasan.

Menghayati proses

Di luar tiga narasi politik di atas, menarik juga kiranya bagi generasi muda melihat bagaimana perjalanan Sara bangkit untuk kembali mengecimpungi gelanggang politik. Sara pernah duduk sebagai anggota DPR RI pada periode 2014-2019. Namun, pada Pileg 2019 lalu, Sara gagal kembali melenggang ke Senayan.

Sara merupakan bagian dari elite Partai Gerindra. H. Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, adalah pamannya. Ayahnya sendiri, Hasyim Djojohadikusumo, punya andil besar bagi eksistensi Partai Gerindra. Dengan privilese yang dia miliki, Sara kiranya dapat melakukan hal yang menunjang bagi karir politiknya di Senayan. Namun, Sara tidak melakukan itu. Dia sosok yang mau berproses dengan sabar. Suatu sikap yang agaknya sama sekali tidak populer di jagat perpolitikan di Indonesia, terutama bagi mereka yang punya privilese.

Pada 2020 lalu, dia juga pernah mencoba mengabdikan diri untuk membangun Kota Tangerang Selatan, Banten, melalui ajang pilkada. Melalui proses pilkada yang dramatis dan menarik perhatian publik, karena Sara bahkan sempat mengalami kekerasan berbasis gender dan melaporkannya ke polisi, Sara pun akhirnya mengucapkan selamat kepada paslon pemenang.

Perjalanan politik yang penuh onak berduri telah dia lalui. Kekalahan dalam kontestasi politik yang tentunya memperkaya batin dan pengalaman spiritualnya sebagai pemimpin TIDAR. Winston Churchill, PM Inggris (1874-1965), pernah berkata, “Dalam perang Anda hanya bisa terbunuh sekali, tapi dalam politik Anda bisa mati berkali-kali.” Melalui kepimpinannya di TIDAR, Sara hidup kembali mewarnai jagat politik Indonesia, khususnya bagi generasi muda. Sekaligus juga sebagai momentum kebangkitan TIDAR.

Langkah dan nafas perjuangan Sara terkait narasi politik di atas kiranya belum secara penuh menjadi isu moral kita sebagai bangsa Indonesia: reposisi kultural perempuan, pelestarian alam dan lingkungan, merayakan pluralisme dan ketabahan berproses dalam politik meskipun punya privilese. Sebuah laku luhur yang agaknya masih kurang begitu populer di tengah sengkarut iklim politik kita. Siapkah kita mencontoh?

*Penulis merupakan Pengurus Pusat TIDAR periode 2022-2025

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER