MONITOR, Serang – Fenomena radikalisme dan ekstremisme di kampus masih menjadi sorotan publik karena ditengarai sejumlah kampus masih menjadi tempat yang paling potensial berkembangnya aktivitas keagamaan (religius) yang cenderung eksklusif dan mengarah pada paham radikalisme. Kondisi tersebut misalnya bisa dilihat dari data Alvara Research Center (Desember 2017) yang telah merilis bahwa di 25 kampus unggulan di Indonesia memiliki kecenderungan pada peningkatan radikalisme dan ekstremisme yang dipicu dari ekspresi paham keagamaan.
Penelitian tersebut menemukan bahwa mahasiswa yang setuju dengan negara Islam perlu diperjuangkan untuk penerapan Islam secara kaffah mencapai 23.5%. Mahasiswa yang setuju Khilafah sebagai bentuk pemerintahan yang ideal dibanding NKRI mencapai 17.8%. Mahasiswa yang setuju dengan pernyataan bahwa saya siap berjihad untuk tegaknya negara Islam/khilafah mencapai 23.4%.
Hasil riset yang lain juga telah dirilis oleh oleh Internasional NGO Forum on Indonesian Development (INFID) tahun 2021 yang menyebutkan bahwa meskipun secara umum persepsi dan sikap generasi muda terhadap intoleransi dan ekstremisme menunjukkan tren penolakan yang cukup tinggi, namun mereka masih sangat rentan untuk menjadi intoleran.
Dalam rangka merespon fenomena radikalisme dan ekstremisme paham keagamaan di kampus tersebut, Sekolah Moderasi Beragama FTK UIN Banten yang merupakan bagian dari pengembangan program RMB UIN SMH Banten menyelenggarakan seminar kemahasiswaan terkait pembinaan moderasi beragama bagi mahasiswa FTK. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada hari Jumat (08/07/2022) bertempat di Aula Lantai 3 Gedung A FTK UIN SMH Banten.
Hadir dalam kegiatan tersebut tiga narasumber yaitu Tsabit Latief, S.Q., MA yang merupakan Dosen UNUSIA, Salim Rosyadi, M.Ag yang merupakan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Sekretaris RMB UIN SMH, dan Abdul Qodir, M.Pd.I yaitu dosen FTK UIN Banten yang juga Fasilitator Pusdiklat Moderasi Beragama Kemenag RI. Sebagai moderator seminar adalah Ketua Dema FTK, Ahmad Wildan Sahuri Ramdani. Kegiatan dibuka oleh Wakil Dekan III FTK UIN SMH Banten, Dr. Ali Muhtarom, M.SI.
Meskipun secara internal kegiatan tersebut dilakukan untuk pembinaan moderasi beragama bagi mahasiswa FTK, dimana menurut Wakil Dekan III FTK sebagai program seri ke-2 Sekolah Moderasi Beragama FTK, namun dari fakultas lain di lingkungan UIN Banten, bahkan dari luar UIN Banten juga diperbolehkan untuk mengikuti secara daring.
“Kegiatan Sekolah Moderasi Beragama (Seragam) seri ke-2 ini memang merupakan program rutin yang dilakukan dalam rangka penguatan dan pengembangan nilai-nilai moderasi beragama. Dan secara khusus memang diorientasikan untuk mahasiswa FTK UIN Banten melalui Luring, namun karena keterbatasan yang ada, panitia mengakomodir banyaknya peserta yang ingin mengikuti, sehingga panitia berinisiatif untuk mengakomodir peserta lain melalui daring,” ujar Wakil Dekan III FTK.
Wakil Dekan III menambahkan, munculnya paham keagamaan yang mengarah pada sikap dan bahkan akan berimplikasi pada tindakan radikal bagi mahasiswa saat ini perlu disikapi dengan serius. Salah satu cara yang dilakukan, menurut Ali Muhtarom, yakni melalui pembinaan moderasi beragama sebagai pendekatan intelektual dan ilmiah.
“Salah satu cara atau alternatif yang efektif dalam pencegahan radikalisme dan ekstremisme paham keagamaan bagi mahasiswa adalah dengan melakukan kajian ilmiah melalui pendekatan pembinaan moderasi beragama. Mengapa pendekatan pembinaan moderasi beragama penting, hal ini karena moderasi beragama memberikan kontribusi secara metodologis kepada mahasiswa tentang bagaimana meletakkan dasar pemahaman keagamaannya yang dibangun tidak hanya pada wilayah doktriner, namun juga kontekstual yang lebih substantif untuk kemaslahatan umat manusia (rahmatan lil’alamiin),” ujar Ali Muhtarom.
Salim Rosyadi yang memaparkan tema tentang “mitigasi paham keagamaan radikal dan ekstrem melalui pendekatan moderasi beragama”, dan menjelaskan pentingnya moderasi beragama dipahami oleh kalangan mahasiswa. Hal tersebut karena realitas keragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dari aspek suku, bahasa, budaya, dan agama sebagai anugrah Tuhan.
“Semestinya kita harus menerima segala perbedaan yang ada, di mana ia hadir sebagai bentuk rahmat Tuhan kepada manusia. Di sinilah letak dasar moderasi beragama, ia bukan membenturkan pada persoalan keyakinan maupun teologi, melainkan persoalan kemanusiaan, sehingga sejauh mana kita dapat hidup berdampingan dengan rasa aman dan nyaman di tengah pluralitas keberagamaan,” terang Salim.
Lebih lanjut Salim mengatakan bahwa dalam ruang lingkup pemikiran Islam, moderasi beragama berada di tengah poros antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri, di mana ia merupakan penyeimbang antara keduanya. Makanya, istilah moderasi jika dibahasakan dalam bentuk bahasa Arab adalah Wasathiyah, dalam bahasa Indonesia, dikenal istilah “wasit”, dimana ia memiliki fungsi untuk menegahi dari dua kutub yang saling berhadap-hadapan, yaitu gerakan ekstrem kanan dan kiri.
Gerakan ekstrem kanan dinamakan dengan revivalis, yaitu gerakan pembaruan yang berorientasi mengembalikan kepada ajaran murni seperti zaman kenabian, sehingga pemikiran yang digunakan adalah gerakan mundur ke belakang. Gerakan ini terbagi menjadi kepada tiga bagian, yaitu radikalisme, fundamentalisme dan konservasitme.
Sementara dari ekstrem kiri, papar dia, ada gerakan liberalisme yang menggunakan cara berpikir terlalu ekstrem dalam mendewakan akalnya dalam menafsirkan teks agama. Kemudian sekulerisme yang memiliki pandangan agama dan negara tidak bisa dipersatukan.
Pembicara selanjutnya Tsabit Latief menjelaskan bahwa ketika agama diperankan ganda untuk melegitimasi hawa nafsu, maka akan cenderung berdampak pada pembelahan terhadap masyarakat. Kecenderungan ini karena konflik cenderung dipicu oleh ketegangan sosial dan kesenjangan ekonomi, kemudian agama dijadikan sebagai alat pembenar konflik tersebut.
Dalam pemaparan lebih lanjut, Dosen UNUSIA Jakarta ini mengutip buku karya Jonathan Haidt yang berjudul The Righteous Mind, dimana ada sebuah pertanyaan menarik dalam buku tersebut, yaitu Why Good People are Divided by Politics and Religion?
“Jawabannya adalah religion is bind and blind, (agama itu mengikat dan seringkali membutakan). Hal ini terjadi karena seseorang keliru dalam memahami ajaran agamanya. Seseorang menjadi buta hatinya bahkan sampai kehilangan rasa kemanusiaannya hingga tega membunuh orang lain karena alasan agama. Kata Tsabit.
Selanjutnya Tsabit menambahkan bahwa kalau mau membangun nilai, maka harus melalui pendidikan. Nilai-nilai yang telah ditanamkan dalam pikiran (mind) akan menjadi sikap dan selanjutnya menjadi tindakan. Selain itu, penting juga menanamkan humanity.
Terkait pentingnya internalisasi nilai moderasi beragama, Tsabit juga mengutip pembukaan Konstitusi UNESCO, since wars begin in the minds of men, it is in the minds of men that the defences of peace must be constructed yang berarti “karena perang dimulai dalam pikiran manusia, maka dalam pikiran manusialah pertahanan perdamaian harus dibangun”.
Sementara Abdul Qodir menjelaskan bahwa penguatan moderasi beragama bagi kalangan muda, khususnya para mahasiswa pada saat ini masih dibayang-bayangi oleh pengaruh paham keagamaan yang cenderung tekstualis dan enggan berfikir kontekstual-metodologis. Sehingga, potret yang diperoleh dari intelektualitas, sikap, dan perilakunnya cenderung tergambarkan pada sikap intoleran, enggan berdialog ketika terjadi perbedaan pendapat, yang mana jika tidak dilakukan pembinaan, tidak menutup kemungkinan akan memicu pada kemunculan konflik yang menjauhkan kehidupan harmonis.
“Ada gejala bahwa sikap dan perilaku toleran sebagai simbol moderasi agama, terutama Islam jika tidak terus digelorakan, maka akan memberikan dampak sebaliknya, seperti pergerakan ke arah yang tidak produktif dan cenderung mentradisikan tindakan kekerasan,” pungkas Qodir.