Jumat, 22 November, 2024

Idul Adha dan Kepedulian Kita

Ruchman Basori (Kasubdit Ketenagaan, Direktorat Diktis Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI)

Daniel Golemen menyebut bahwa kecerdasan emosiaonal (emosional quotion) menyumbang 80% keberhasilan seseorang, sementara kecerdasan intelektual (intectual quotion) hanya 20%. Karenanya belakangan muncul menggabungkan antara kecerdasan emosional, intelektual dengan spiritual (ESQ), yang di Indonesia dipelopori oleh Ary Ginanjar.

Kecerdasan emosional diindikasikan pada sejauhmana kita mempunyai sikap empatik dan simpatik, dalam keseharian yang juga bagaimana kita mempunyai kepedulian sosial kepada sesama. Bagi seorang leader, dibuktikan dengan pandai membesarkan hati orang yang dipimpinnya, mengajak bersama-sama untuk berbuat dan juga hal ikhwal tentang solidaritas dan kesetiakawanan.

Idul Adha yang juga di sebut Idul Qurban sejatinya adalah menampilkan sikap kepedulian kita pada orang lain, di tengah krisis sosial. Sikap adiluhung nenek moyang kita Indonesia yang telah tumbuh dan dikembangkan dalam tadisi yang hidup.

- Advertisement -

Bapak Monoteisme Ibrahim alaihissalam dengan putranya Ismail alaihisaalam dan Ibunda Hajar alaihassalam, dikisahkan dengan sangat apik oleh Al-Quran dan Hadits, yang menunjukan keluhuran kemanusiaan yang mempunyai ketundukan dan keikhlasan yang sulit dicarikan bandingannya. Kesabaran, ketaaatan, perjuangan, pengorbanan dan keikhlasan keluarga terpilih itu menjadi lesson learn bagi kita umat manusia setelahnya.

Pertanyaannya adalah apakah kita sebagai kaum muslimin, mampu menggali dan memaknai Idul Qurban untuk kepedulian kita, ditengah kita hampir terbebas dari Covid-19? Juga problem-problem sosial yang laten, seperti keterbelakangan, kebodohonan, kemiskinan dan tak kalah pentingnya adalah dekadensi moral.

Rutinas-Mengingatkan

Perbagai ritus keagamaan Islam, walau itu ibadah individual sejatinya akan berdimensi sosial. Apalagi yang jelas-jelas ibadah yang sangat kental dengan dimensi sosial. Misalnya sholat adalah ibadah yang berdimensi individual, tetapi juga berdimensi sosial, karena dengan sholat menjadi piranti untuk tanha ánil fahsya wal munkar.

Puasa juga ibadah individual kita dengan Tuhan, tetapi orang yang berpuasa akan merasakan betapa rasa lapar dan dahaga akan menggerakan jiwanya untuk membantu orang yang kelaparan. Lagi-lagi juga mempunyai dampak sosial, jika kita mmapu menjadikannya modal sosial-keagamaan.

Melafalkan kalimah takbir, tahmid dan tahlil di setiap waktu adalah wirid individual, ekspresi kemesraan kita dengan Tuhan, tetapi bisa bermakna sosial jika puji dan kekaguman kita dengan Alloh diwujudkan dengan aliran motivasi dan inspirasi untuk mencintai dan menghargai yang lemah (mustadháfin).

Mestinya rutinitas ibadah keagamaan yang kita lakukan akan mengingatkan kita akan pentingnya orang lain (liyan) dalam konstruk keharmonisan dan kemanusiaan. Betapa sering kita lihat betapa orang berkali-kali menjalankan ibadah sholat, tetapi mentalitasnya belum sebagaimana yang diharapkan dalam sholat. Pun dalam ritus ibadah haji, betapa banyak orang yang telah berhaji bahkan berkali-kali tetapi dirinya masih kikir, kurang enteng tangannya untuk membantu orang lain.

Jika semakin taat seseorang beribadah menjalankan ritus-ritus keagamaan akan berkolerasi positif dengan sikap mental-sosial, maka tata kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan kita akan tambah berkualitas. Demikian ditengah kehidupan kebangsaan Indonesia yang membutuhkan lebih banyak kepedulian-sosial, dan itu bisa di bangun dari cara kita beragama dan mengamalkannya.

Menghadirkan Kepedulian

Ritus Idul Adha yang diiikuti dengan ibadah-ibadah lain seperti ibadah haji di Haramain, ibadah qurban, puasa tarwiyah dan arafah dengan pelbagai keutamaannya, diharapkan mampu menggerakan umat untuk meningkatkan kepedualian sosial kita sebagai bangsa.

Penyelenggaraan haji yang diikuti ratusan ribu jama’ah Indonesia, akan berdampak positif pada meningkatnya kesalehan-sosial umat Islam Indonesia. Akan kembali manusia baru, yang baik, sholeh, unggul dan memiliki keutamaan, setelah sekian waktu bermesraan napak tilas di Makkah dan Madinah.

Manusia baru yang diharapkan akan menggerakan dinamikia pembangunan. Sikap mental memberi daripada menerima, lebih tawaddu’ dan menunduk dari pada menampilkan wajahnya yang pongah dan arogan.

Para pejabat, diplomat dan birokrat yang berhaji akan menggerakan roda birokrasi, dengan ide-ide dan gagasan memberdayakan. Gerak langkahnya akan lincah dan terampil mengatasi problem-problem kebangsaan. Terpenting juga muncul semangat baru dengan mengedepankan integritas, pelayanan prima dan wirai.

Demikian juga kita yang di tanah air, dapat merefleksikan diri dari ibadah-ibadah puasa sunnah, sholat iedul adha dan ibadah qurban. Qurban yang kita laksanakan dapat melahirkan semangat baru untuk berubah, meneladani sosok Ibrahim, Ismail dan Ibunda Hajar.

Solidaritas kita sebagai bangsa akan meningkat, karena kita telah naik kelas menjadi manusia baru pasca idul qurban. Kesabaran menghadapi pelbagai cobaan Covid-19, cobaan menghadapi kehidupan akan terus terasah dan meningkat berbuah keikhlasan (ketulusan).

Kita akan menjadi Ibrahim sebagai sosok ayah, kita akan bermetamorfosisi sebagai Ismail sebagai sosok anak dan kita akan maujud menjadi Siti Hajar ibu yang sangat tabah dan ikhlas di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang terus berubah. Wallahu a’lam bi al-shawab.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER