Minggu, 24 November, 2024

Pemilu vis a vis Islam Politik

Oleh: Muchtar Taufiq, S.Pd.I, S.H*

Kekuasaan terbentuk melalui kemenangan suatu kelompok tertentu atas lainnya. Kekuasaan itu merupakan kedudukan menyenangkan, meliputi berbagai kesenangan materi maupun maknawi, material maupun spiritual, visible maupun invisible sehingga untuk mendapatkannya seringkali melalui kompetisi-kompetisi menggemparkan dan sedikit orang yang mau menyerahkannya. Karena partai menjadi proses awal bagi justifikasi kekuasaan maka partai acapkali menjadi proteksi, pembela bahkan klaim untuk segala persoalan itu.

(dalam buku Mukaddimah ibnu Khaldun)

Sifat keperibadian manusia yang sulit dihilangkan dikarenakan sudah menjadi budaya dan bahkan mendarah daging secara turun menurun yakni sesuatu hal yang sama dengannya pasti akan didukungnya habis-habisan, padahal pilihannya tersebut tidak lebih baik dari yang lainnya. Kasuistik seperti ini sering kita jumpai dalam kehidupan sosial kita sehari-hari, terlebih saat pemilihan suatu kedudukan tertentu. Sebuah ikatan persamaan menjadi rasa yang sangat kuat untuk dijadikan patokan atas dasar persamaan pilihan untuk mencapai sesuatu.

- Advertisement -

Pemilu atau yang disebut Pemilihan Umum, yang sering kita tahu sebagai wadah pemilihan yang dapat membuktikan pilihannya atas dasar persamaan sebagai alasan untuk menentukan keterwakilannya, untuk kepentingan pribadi bukan sebagai tujuan umum untuk kesejahteraan masyarakat. Kecenderungan masyarakat memilih atas dasar persamaan keyakinan/kepercayaan ini dilakukan karena rasa egois dan tidak peduli yang mengakibatkan proses pemilihan menjadi gaduh, ricuh dan membuat polarisasi di tengah masyarakat dengan tujuan akhir yang jauh dari kata ideal sesuai amanat undang-undang dan titah agama.

Disi lain, keragaman agama, budaya, bahasa dan lainnya yang ada di negara kita menjadi faktor akan persamaan dalam menetukan pilihan dalam proses pemilu. Memilih pemimpin yang adil sebagai wakil rakyat yang berpihak kepada masyarakat dan berani mengambil resiko demi tercapainya cita-cita bangsa akan menjadi tujuan kesekian jika yang dipilih oleh pemilih hanya mementingkan atas dasar keyakinan agama menjadi pilihan utamanya.[1]

Konsepsi agama islam dalam beberapa literatur kitab sucinya (al-qur’an), hadits dan tafsir dalam memandang pilihan pemimpinnya banyak tafsir. Multi tafsir ini juga salah satu bukti bahwa agama islam tidak memvonis seseorang untuk memilih pilihannya  berdasarkan keyakinan agamanya sebagai harga mati. Adapun makna ayat dalam al-qur’an yang selalu diperdebatkan oleh masyarakat yang tentu hal ini sangat familiar kita ketahui di ajang kontestasi Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 lalu yang menjadi sorotan dari sabang sampai merauke bahkan internasional, berikut kutipan surat al-maidah ayat 51; 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰٓى اَوْلِيَاۤءَ ۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍ ۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ﴿المائدة : ۵۱﴾

“Hai orang-orang beriman, janganlah jadikan orang-orang yang membuat agamamu sebagai olok-olok dan mainan baik dari kalangan ahli kitab sebelum kamu maupun orang kafir sebagai wali. Bertaqwalah kepada Allah jika kamu orang yang beriman.” [2]

Banyak sekali riwayat ulama mengenai sebab turunnya ayat ini: diantaranya yang disampaikan oleh Imam As-Suyuthi dalam kitab Lubabunnuqul fi Asbabinnuzul: Konteks ayat ini ialah ketika terjadi peperangan antara Bani Qoinuqo (Yahudi) dengan muslim (Bani Khojroj). Karena takut kepada orang Yahudi sehingga Abdullah bin Ubay bin Syalul menjalin keakrakaban dan sumpah setia kepada Yahudi. Kemudian kejadian itu dilaporkan oleh Ubadah bin Shomit kepada Rasulullah SAW dan Ubadah bin Shomit menyatakan komitmennya kepada Rasulullah dan tidak akan berpaling untuk sumpah setia (al-half) kepada orang kafir. (Lihat: As-Suyuthi, Lubabunnuqul fii Asbabinnuzul dalam Hasiyah Showil Alal Jalalain, Al-Haramain, Indonesia, tt, Juz 1, hlm. 371)

Apakah kata “wali” yang dimaksud itu pemimpin? Penerjemahan “wali” inilah, menentukan jawaban dari berbagai pernyataan dan pertanyaan yang sering kita perdebatkan. Imam Ala’uddin Al-Khazin menyebutkan dalam tafsirnya sebagai berikut.

 والمعنى لا تتخذوا أولياء ولا أصفياء من غير أهل ملتكم ثم بين سبحانه وتعالى علة النهي عن مباطنتهم فقال تعالى: لا يَأْلُونَكُمْ خَبالًا

Maknanya, “Janganlah kamu jadikan orang-orang yang tidak seagama denganmu sebagai wali dan kawan karib.” Allah sendiri menjelaskan alasan larangan untuk bergaul lebih dengan sehingga saling terbuka rahasia dengan mereka dengan ayat “Mereka tidak berhenti menjerumuskanmu dalam mafsadat”. (Lihat Al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut).[3]

Selanjutnya Pengertian “wali” di atas ialah teman dekat. Sehingga saking dekatnya, tidak ada lagi rahasia antara keduanya. Ayat ini turun dalam konteks perang. Sehingga sangat berisiko bergaul terlalu dekat dengan ahli kitab dan orang-orang musyrik dalam suasana perang karena ia dapat mengetahui segala taktik perang, pos penjagaan, dapur umum, dan segala strategi dan rencana perang yang dapat membahayakan pertahanan umat Islam. Sementara komunitas-komunitas sosial saat itu berbasis agama. 

Karenanya, mencermati ketarangan ulama di atas kita akan menemukan tidak sambung dan tidak tepat kalau ayat ini dijadikan dalil sebagai pengharaman atas pengangkatan calon pemimpin dari kalangan non muslim. Menurut hematnya, kitab-kitab terjemah Al-Quran yang mengartikan “wali” sebagai pemimpin ada baiknya menelaah kembali tafsir-tafsir Al-Quran.[4]

Sementara Ulama yang berpendapat perihal tidak boleh memilih pemimpin dari kalangan non muslim. Misalnya Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i yang wafat di abad 8 H. Ia menyatakan dengan jelas keharaman memilih pemimpin dan juga aparat dari kalangan kafir dzimmi (non muslim yang siap hidup bersama muslim) .

 وَلَا يجوز تَوْلِيَة الذِّمِّيّ فِي شَيْء من ولايات الْمُسلمين إِلَّا فِي جباية الْجِزْيَة من أهل الذِّمَّة أَو جباية مَا يُؤْخَذ من تِجَارَات الْمُشْركين. فَأَما مَا يجبى من الْمُسلمين منخراج أَو عشر أَو غير ذَلِك فَلَا يجوز تَوْلِيَة الذِّمِّيّ فِيهِ، وَلَا تَوْلِيَة شَيْء من أُمُور الْمُسلمين، قَالَ تَعَالَى: {وَلنْ يَجْعَل الله للْكَافِرِينَ على الْمُؤمنِينَ سَبِيلا} وَمن ولىذِمِّيا على مُسلم فقد جعل لَهُ سَبِيلا عَلَيْهِ. 

Tidak boleh mengangkat dzimmi untuk jabatan apapun yang mengatur umat Islam kecuali untuk memungut upeti penduduk kalangan dzimmi atau untuk memungut pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalangan musyrikin. Sedangkan untuk memungut upeti, pajak seper sepuluh, atau retribusi lainnya dari penduduk muslim, tidak boleh mengangkat kalangan dzimmi sebagai aparat pemungut retribusi ini. Dan juga tidak boleh mengangkat mereka untuk jabatan apapun yang menangani kepentingan umum umat Islam. 

Allah berfirman, “Allah takkan pernah menjadikan jalan bagi orang kafir untuk mengatasi orang-orang beriman.” Siapa yang mengangkat dzimmi sebagai pejabat yang menangani hajat muslim, maka sungguh ia telah memberikan jalan bagi dzimmi untuk menguasai muslim. (Lihat Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i, Tahrirul Ahkam fi Tadbiri Ahlil Islam, Daruts Tsaqafah, Qatar, 1988).[5]

Sementara ulama lain yang membolehkan pengangkatan non muslim untuk jabatan publik tertentu antara lain Al-Mawardi yang juga bermadzhab Syafi’i. Ulama yang wafat pada pertengahan abad 5 H ini memberikan tafshil, rincian terhadap jabatan.

 ويجوز أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة وإن لم يجز أن يكون وزير التفويض منهم

Posisi pejabat ini (tanfidz/eksekutif) boleh diisi oleh dzimmi (non muslim yang siap hidup bersama muslim). Namun untuk posisi pejabat tafwidh (pejabat dengan otoritas regulasi, legislasi, yudikasi, dan otoritas lainnya), tidak boleh diisi oleh kalangan mereka. (Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, Darul Fikr, Beirut, Cetakan 1, 1960, halaman 27). 

Al-Mawardi dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah menguraikan lebih rinci. Menurutnya, kekuasaan dibagi setidaknya menjadi dua, tafwidh dan tanfidz. Kuasa tafwidh memiliki cakupan kerja penanganan hukum dan analisa pelbagai kezaliman, menggerakkan tentara dan mengatur strategi perang, mengatur anggaran, regulasi, dan legislasi. Untuk pejabat tafwidh, Al-Mawardi mensyaratkan Islam, pemahaman akan hukum agama, merdeka. Sementara kuasa tanfidz (eksekutif) mencakup pelaksanaan dari peraturan yang telah dibuat dan dikonsep oleh pejabat tafwidh. Tidak ada syarat Islam, alim dalam urusan agama, dan merdeka.[6]

Para Pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).[7]

Jadi, ketika memilih pajabat eksekutif seperti gubernur, walikota, bupati, camat, lurah, atau ketua RW dan RT dari kalangan non muslim dalam konteks Indonesia dimungkinkan. Pasalnya, pejabat tanfidz itu hanya bersifat pelaksana dari UUD 1945 dan UU turunannya. Dalam konteks Indonesia pemimpin non muslim tidak bisa membuat kebijakan semaunya, dalam arti mendukung kekufurannya. Karena ia harus tunduk pada UUD dan UU turunan lainnya. Pemimpin non muslim, juga tidak memiliki kuasa penuh. Kekuasaan di Indonesia sudah dibagi pada legislatif dan yudikatif di luar eksekutif. Sehingga kinerja pemimpin tetap terpantau dan tetap berada di jalur konstitusi yang sudah disepakati wakil rakyat. Mereka seolah hanya sebagai jembatan antara rakyat dan konstitusi. Kecuali itu, sebelum menjadi pemimpin, mereka telah melewati mekanisme pemilihan calon, penyaringan ketat dan verifikasi KPU. Mereka juga sebelum dilantik diambil sumpah jabatan. Jadi dalam hal ini saya lebih cenderung sepakat dengan pendapat Al-Mawardi yang membolehkan non muslim menduduki posisi eksekutif. Di sinilah letak kearifan hukum Islam.

Dengan memandang unsur keragaman masyarakat yang terdapat di Indonesia, situasi tidak memungkinkan menerapkan beberapa kriteria pemimpin yang idealis sebagaimana termaktub dalam beberapa kitab fiqih mu’tabar (diakui), karena salah satu di antara kriteria itu adalah harus menguasai beberapa nushush al-syari’ah (teks-teks syariah). Selain karena faktor sulitnya mencari kriteria pemimpin yang ideal, juga dalam beberapa segi dapat membahayakan keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu, maka berlaku kaidah fiqih untuk mencari jalan tengah, yaitu:  

 لاضرر ولاضرار   “Tidak boleh membuat kerugian terhadap diri sendiri dan orang lain” (HR. Ibn Majah).[8]   

Kaidah yang lain dalam penentuan kriteria pemimpin itu adalah:   ما لايدرك كله لايترك كله   “Perkara yang tidak bisa dikuasai seluruhnya, maka jangan ditinggal seluruhnya.”   Adapun ijtihad terhadap kemungkinan adanya perpecahan disebabkan penerapan konsep kepemimpinan sebagaimana dalam syariat, maka berlaku kaidah:   يختار أهون الشرين   “Di antara dua keburukan yang mungkin terjadi, maka dipilih keburukan yang paling ringan”.[9]   

Kaidah lainnya juga dapat dipergunakan adalah :   إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما بارتكاب أخفهما   “Apabila nampak adanya pertentangan di antara dua mafsadah (kerusakan), maka mafsadah yang lebih besar yang harus berupaya dijaga tidak terjadinya dengan jalan menerima mafsadah yang lebih ringan”.[10]   

Dengan redaksi yang kurang lebih sama dengan kaidah di atas, maka berlaku:   درء المفاسد مقدم على جلب المصالح   “Memprioritaskan menolak mafsadah lebih diutamakan dibanding mengambil kemaslahatan”.[11]   

Hasil dari penerapan kaidah-kaidah fiqih diatas dapat mewujudkan pemimpin yang bisa diterima oleh semua pihak. Pemimpin yang demikian ini merupakan pemimpin yang standar. Artinya, tidak terlalu ke atas dan juga tidak terlalu ke bawah sehingga mencapai derajat di bawah standar. Standar yang dipergunakan sudah pasti adalah standar masyarakat Indonesia yang mayoritas dihuni oleh umat Islam di tengah kondisi masyarakat yang terdiri atas suku, bangsa dan agama yang beragam pula. Selagi pemimpin itu masih memenuhi kriteria standar, maka pemimpin semacam tidak boleh dilengserkan, kecuali dalam beberapa segi yang sudah terlalu jauh melampaui kewenangan syariat, yaitu keluar dari penjagaan nilai-nilai universal maqashid al-syariah.[12]

Dari argumentasi diatas jelas kita dapat menempatkan sebuah pola hubungan yang berhadapan antar gelaraan pemilihan umum dengan Agama yang mayoritas islam di indonesia, yang mana Pemilu dengan segala aturan mainnya baik UUD-45 sebagai dasar hukum asal yang dispesifikan dengan UU Pemilu bahkan diperjelas lagi dengan aturan teknis baik peraturan KPU maupun peraturan Bawaslu, yang memang secara praktis produk yang dihasilkan sesuai dengan kesepakatan founding father perumus Negara Kesatuan Republik Indonesia, disisi lain konsepsi Agama dalam bernegara yang pada dasarnya masih terbuka lebar untuk di Ijtihad-kan dengan menelaah teks (al-qur’an, al-hadist, tafsir dan Ijma ulama) yang selaras dengan konteks masa kini. 

Negara indonesia bukan negara yang berlandaskan agama islam, namun indonesia sebagai negara yang berlandaskan Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bihneka Tunggal Ika, maka sangatlah jelas dalam praktek berdemokrasi terlebih dalam konteks pemilu akan saling tarik menarik dengan konsepsi keagamaan terutama agama islam yang di fahami secara sempit dengan pembendaharaan ayat yang kaku an sich-literal (harfiah), maka disinilah terjadinya polarisasi pemahaman keagaman terhadap bernegara di tengah masyarakat yang semakin tak terbendung, sehingga dapat menimbulkan konflik horizontal yang mengancam keamanan masyarakat, hal semacam itu sangatlah tidak kita harapkan, yang mana tujuan dari berbangsa dan bernegara dalam proses pemilu dapat tersingkir ke jurang yang makin dalam, akan timbul sebuah kekecewaan yang berkepanjangan, sikap antipati yang akaut ditengah masyarakat menjadikan pemerintahan tidak dapat berjalan dan bekerja dengan baik, apapun yang dihasilkan dari sebuah kebijakan pemerintah akan menjadi bulan-bulanan sepanjang periode bahkan sejarah, sudah tentu hal seperti itu tidak lagi sejalan dengan konsep berdemokrasi yang di ajarkan oleh agama-agama yang ada di indonesia. 

Maka berhati-hatilah memilih pemimpin baik muslim maupun non muslim. Karena mereka ke depan akan mengatur hajat hidup orang banyak. Kita perlu melihat integritas calon dan track record mereka. Sekali lagi, harapan kita terhadap masyarakat untuk tidak mudah terporovokasi oleh isu-isu SARA menjelang pemilihan umum/pemilihan kepala daerah secara serentak tahun 2024.

“Wallahu A’lam Bishawab”

*Penulis Adalah Ketua Bawaslu Jakarta Selatan

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER