Kamis, 28 Maret, 2024

Kesadaran Konservasi Candi Borobudur

Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA*

Dalam beberapa minggu ini, publik Indonesia diramaikan dengan kontroversi harga baru tiket masuk Candi Borobudur yang kabarnya naik dari Rp 50.000 menjadi Rp.750.000 untuk wisatawan dalam negeri dan 100 dollar AS untuk wisatawan mancanegara.

Salah satu alasan pokok dalam menaikkan tarif tinggi adalah agar pengunjung tidak membeludak sampai ke atas. Namun setelah menuai banyak protes dari masyarakat, pemerintah secara resmi menyampaikan penundaan kenaikan harga tiket masuk Candi Borobudur. Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. (9 Juni 2022).

Meski ditunda, wacana kenaikan harga tiket naik ke Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini menuai diskusi lanjutan. Utamanya terkait langkah pengendali pembatasan jumlah pengunjung ke Candi Borobudur. Secara praktis, Candi Borobudur memang tengah darurat konservasi demi menjaga kelestarian cagar budaya Candi Budaya supaya dapat terawatt secara terus menerus.

- Advertisement -

Ancaman kerusakan Candi Borobudur memang tak hanya dipengaruhi masalah jumlah pengunjung yang sangat banyak. Tapi juga menyangkut langkah taktis konservasi yang tak hanya dikonstruksikan pada sisi perawatan semata tapi juga menyangkut kebijakan ekosistem pelestarian Candi Borobudur. Apalagi Candi Borobudur merupakan area
konservasi sekaligus kawasan strategis nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pengelolaan kawasan Candi Borobudur juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2014 tentang Tata Ruang Kawasan Borobudur dan sekitarnya.

Pelestarian Candi Borobudur secara fisik meliputi penghijauan untuk mengembalikan suasana rural lanskap, reboisasi lereng utara perbukitan Menoreh demi dapat memperbaiki daerah tangkapan air, dan pengelolaan sampah organik yang ramah lingkungan
agar kualitas kesuburan tanah di sekitarnya tidak menurun. Upaya pelestarian lainnya yang tidak kalah penting terhadap sumber daya kebudayaan atau obyek pemajuan kebudayaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Kerusakan Candi Borobudur yang paling utamanya diantaranya berupa keausan pada bagian batu tangga naik, khususnya pada sisi timur dan sisi utara. Hal ini diakibatkan oleh gesekan alas kaki para pengunjung saat naik dan turun Candi. Keausan sangat terlihat jelas dengan kondisi permukaan batu tangga yang cekung karena sudah tergerus.

Selain itu pada dinding relief banyak mengalami kebocoran. Imbasnya saat musim hujan terjadi rembesan air yang menyebabkan dinding elalu basah dan lembab. Kondisi ini membuat tumbuhan dan lumut dapat tumbuh subur sehingga berpotensi mengancam kelestarian Candi dalam jangka panjang.

Upaya Perawatan

Pada era kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah sejatinya telah berupaya untuk memantapkan langkah memajukan kawasan Candi Borobudur supaya dapat selaras dengan pelestarian kebudayaan. Utamanya dengan menetapkan Candi Borobudur sebagai destinasi pariwisata super prioritas (DPSP) yang membuat pihak pengelola objek wisata Candi Borobudur terus menerus melakukan pembenahan dan pengembangan. Diantaranya dengan menjadikan Candi Borobudur lebih aksesbilitas bagi publik.

Terkait pemeliharaan Candi Borobudur, pada Maret 2020, Kawasan Cagar Budaya Borobudur sempat ditutup sementara waktu karena mengalami kerusakan pada beberapa bagian bangunan Candi Borobudur. Perilaku wisatawan yang gemar duduk dan memanjat diatas bangunan stupa, menggeser stupa membuat banyak kerusakan pada struktur stupa Candi.

Balai Konservasi Borobudur (BKB) saat itu pun mengeluarkan kebijakan tegas untuk membatasi wisatawan mengunjungi teras lantai 9 dan 10 dari bangunan candi Borobudur. Kebijakan pembatasan ini dilakukan demi kelancaran monitoring struktur stupa teras dan beberapa stupa induk dari bangunan candi Borobudur.

Dalam catatan sejarah,kawasan Candi Borobudur juga pernah mengalami penutupan besar karena proses perbaikan dan monitoring kawasan Candi yang dilakukan secara besar. Pada 1950-an, Candi Borobudur pernah berada dalam kondisi yang memprihatinkan karena
banyak lorong dari bangunan candi yang miring dan berlumut.

Menyikapi masalah ini, pada 1960 pemerintah Indonesia melalui dinas purbakala yang saat itu dipimpin oleh Soekmono menyatakan Candi Borobudur telah berada dalam kondisi bahaya. Setelah melalui berbagai upaya diplomasi internasional, hingga akhirnya pihak United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang menyetujui untuk membantu Indonesia dalam menyelamatkan kawasan candi tersebut.

Sebagai bentuk konkrit kerjasama perbaikan kawasan Candi Borobudur, pada 1968 UNESCO mengirimkan dua orang ahli, yaitu B. Ph. Groslier, yaitu ahli pemugaran dari Prancis yang telah berpengalaman bekerja di Angkor, Kamboja, dan C. Voute, ahli hidrologi dari Belanda.

Hasil evaluasi keduanya menyebutkan jika Candi Borobudur sudah dalam kondisi yang parah, sehingga dikhawatirkan runtuh bila tak segera diselamatkan. Menindaklanjuti laporan ini, UNESCO dan pemerintah Indonesia segera menandatangi aide memoire pada 1969 sebagai bentuk komitmen untuk bersama-sama membiayai proyek penyelamatan Candi Borobudur. (ANRI, 1969).

Proyek pemugaran Candi Borobudur kala itu menjadi bagian proyek Pembangunan Lima Tahun (PELITA) pemerintahan Soeharto sehingga mendapatkan pembiayaan secara rutin dari negara. Dalam pelaksanaannya, para ahli biologi, konstruksi dan juga pariwisata internasional berturut-turut datang ke Borobudur untuk dapat mengambil data bagi
persiapan program pemugaran.

Sampai pada masa awal 1970-an, Indonesia semakin serius mempersiapkan pemugaran Candi. Kunjungan Direktur Jenderal UNESCO, Rene Maheu, ke Borobudur pada Juni 1971 segera ditindaklanjuti dengan pembentukan Badan Pemugaran Candi Borobudur (BPCB) dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.0124/1971 23 Juni 1971 (ANRI, 1971). Badan ini ditugaskan untuk melakukan koordinasi dengan UNESCO terkait persiapan pelaksanaan pemugaran.

Setelah melalui berbagai persiapan baik level lokal, nasional maupun internasional, pekerjaan pemugaran Candi Borobudur diresmikan oleh presiden Soeharto pada 10 Agustus 1973. Proyek pemugaran sebesar 7,75 juta dolar Amerika akan dibagi kedalam dua sumber, yaitu sebesar 5 juta dolar Amerika dikumpulkan dari donasi kepada UNESCO, sedangkan Indonesia menanggung biaya sebesar 2,75 juta dolar Amerika.

Awalnya, kegiatan pemugaran Candi Borobudur direncanakan untuk selesai dalam waktu 6 tahunnamun karena masifnya pekerjaan yang harus dilakukan ternyata harus molor sampai 10 tahun. Pekerjaan yang dilakukan meliputi pembongkaran dan pemasangan kembali batu candi, pembersihan dan perbaikan batu, pemasangan beton bertulang dan pipa drainase dibawah lantai candi.

Pemugaran Candi Borobudur resmi berakhir pada 23 Februari 1983. Usai pemugaran Candi Borobudur, beberapa candi yang ada di sekitar Borobudur seperti Candi Mendut dan Candi Pawon masuk kedalam daftar Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1991 dan ditetapkan sebagai Kompleks Percandian Borobudur. Sebagai pelindung cagar budaya, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia kemudian membentuk Balai Konservasi Borobudur (KCB) sebagai unit pemeliharaan yang bertanggung jawab terhadap pelestarian Candi Borobudur yang eksis hingga hari ini.

Perlindungan Bersama

Dalam pemeliharaan dan perawatan Candi Borobudur, sebenarnya ada dua hal penting yang perlu dilakukan pemerintah dalam pengembangan kawasan Candi Borobudur. Pertama, pemerintah harus bersikap tegas menegakkan aturan perlindungan cagar budaya dalam hal penegakan aturan hukum baik secara perdata maupun pidana terhadap aktivitas yang merusak kawasan cagar budaya Indonesia. Seperti yang dituangkan dalam Undang-Undang (UU) 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, utamanya kepentingan Pasal 66. Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal. Setiap orang dilarang mencuri Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal.

Perlindungan dan pemeliharaan setiap cagar budaya wajib dilakukan semua pihak dengan tetap memperhatikan nilai sejarah dan keaslian bentuk serta pengamanannya. Perlindungan dan pemeliharaan dilakukan dengan penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran.

Pemugaran yang dilakukan harus memperhatikan keaslian bentuk, bahan, pengerjaan dan tata letak serta nilai sejarah. Perlindungan terhadap cagar budaya dilakukan untuk mencegah terjadinya kerusakan karena faktor alam dan akibat ulah manusia; terjadinya pengalihan kepemilikan pada orang yang tidak berhak; terjadi perubahan dari bentuk asli dan nilai sejarah. Langkah-langkah ini semata untuk melindungi kelestarian cagar budaya untuk dapat dirawat terus menerus.

*Penulis merupakan Sejarawan dan Eksekutif Jaringan Studi Indonesia

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER