MONITOR, Bali – U.S. Soybean Export Council (USSEC) bersama Masyrakat Akuakultur Indonesia (MAI) menggelar “Indonesia Mariculture Forum” dengan tema “The Indonesia Maritime Forum” yaitu “Membangun Kembali dan Menghidupkan Kembali Sistem Marikultur Indonesia” yang digelar di Hotel Conrad, Nusa Dua, Bali, Selasa (14/6/2022).
Dalam sambutannya sebagai keynote speaker, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Prof Rokhmin Dahuri sejumlah hal, salah satunya soal strategi pembangunan marikultur untuk mengembangkan budidaya laut yang produktif, efisien (menguntungkan), inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. “Indonesia harus mengatasi semua masalah dan tantangan pembangunan secara holistik, terpadu, dan berkelanjutan,” katanya.
Dosen Kehormatan Mokpo National University itu menyebut ada dua kategori masalah dan tantangan yang dihadapi pengembangan budidaya laut Indonesia yakni teknis – internal, dan makro – eksternal. “Dalam konteks ini, masalah dan tantangan teknis-internal menjadi tanggung jawab pembudidaya ikan; sedangkan yang makro-eksternal merupakan tanggung jawab Pemerintah Indonesia,” terang Prof Rokhmin.
Adapun konteks teknis-internal antara lain: Pertama, semua unit produksi budidaya laut harus berada di wilayah laut yang sesuai dengan (disarankan) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, atau Kota yaitu RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil = Rencana Zonasi Pesisir). Daerah dan Pulau-Pulau Kecil).
Kedua, setiap unit usaha produksi budidaya laut harus: (1) memenuhi skala ekonominya, (2) menerapkan Best Mariculture Practices, (3) menerapkan Sistem Manajemen Rantai Pasokan Terpadu, dan (4) Prinsip Pembangunan Berkelanjutan. “Skala ekonomi adalah ukuran suatu unit usaha budidaya laut dengan tingkat teknologi tertentu (tradisional, semi intensif, atau intensif) yang menghasilkan laba bersih yang membuat pemilik dan seluruh pekerja unit usaha produksi budidaya laut tersebut sejahtera dengan pendapatan lebih besar dari US$ 300/orang/bulan sebagaimana yang menjadi acuan Bank Dunia tahun 2020,” tegas Guru Besar IPB tersebut.
Best Mariculture Practices meliputi: (1) penggunaan larva atau juvenil kualitas terbaik (SPF, SPR, dan cepat tumbuh); (2) kualitas pakan terbaik (FCR rendah < 1,5, dan memenuhi kebutuhan nutrisi spesies budidaya) dan metode pemberian pakan terbaik (presisi) (tanpa pemborosan pakan) seperti menggunakan pakan otomatis berbasis suara; (3) pengendalian hama dan penyakit; (4) mengelola dan memastikan kualitas air setiap lokasi budidaya laut dan lingkungan laut sekitarnya dalam kondisi baik hingga sangat baik; (5) rekayasa tambak yang baik (lay out, desain, dan bahan jaring keramba/jaring apung); dan (6) biosekuriti.
Sistem Manajemen Rantai Pasokan Terpadu berarti bahwa setiap unit usaha budidaya laut harus didukung oleh pasokan faktor input yang berkelanjutan untuk sub-sistem produksi termasuk larva dan juvenil kualitas terbaik, kualitas pakan terbaik dengan harga yang relatif lebih murah, peralatan dan mesin, dan listrik.
“Selain itu, subsistem penanganan, pengolahan, dan pemasaran harus dapat memastikan bahwa semua komoditas yang dihasilkan oleh semua subsistem produksi budidaya laut dapat dipasarkan (dijual) yang membuat unit produksi budidaya laut menguntungkan,” papar mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu.
Prinsip Pembangunan Berkelanjutan meliputi: (1) memastikan tingkat (intensitas) pengembangan budidaya laut tidak melebihi daya dukung lingkungan mikro (satuan produksi budidaya laut) maupun lingkungan makro (lingkungan laut sekitar); (2) pengendalian polusi; (3) konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem; (4) desain dan konstruksi dengan alam, dan (5) mitigasi dan adaptasi Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bencana alam lainnya.
Adapun konteks makro- eksternal adalah masalah dan tantangan yang tidak dapat diselesaikan oleh individu pembudidaya ikan (pemilik usaha produksi budidaya laut). Mereka secara alami menjadi tanggung jawab pemerintah. Solusinya; Pertama, pemerintah (kabupaten/kota, provinsi, dan nasional) harus menjaga dan menjaga semua lokasi (lokasi) budidaya laut sesuai RZWP3K.
Kedua, produksi input produksi budidaya laut yang berkelanjutan (misalnya larva, juvenil, pakan, peralatan dan mesin, dan listrik) dengan kualitas terbaik dan harga yang relatif lebih murah yang dapat diakses oleh semua petani budidaya laut di seluruh negeri setiap saat.
Ketiga, kepastian pasar yang dapat menyerap semua komoditas budidaya laut yang dihasilkan oleh seluruh pembudidaya ikan (pelaku usaha budidaya perikanan) di seluruh tanah air setiap saat dengan harga yang menguntungkan bagi pembudidaya ikan. Keempat, pemerintah mendorong swasta dan BUMN untuk merevitalisasi dan mengembangkan industri pengolahan, pengemasan, dan penanganan ikan di seluruh tanah air sesuai dengan kebutuhan lokal atau daerah.
Kelima, pemerintah harus mencegah perairan laut dari sumber pencemaran baik yang bersumber dari daratan maupun yang bersumber dari laut sebagai akibat dari aktivitas manusia dan sektor pembangunan lainnya. Keenam, konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem harus dilaksanakan dan ditegakkan.
Ketujuh, bahwa semua modifikasi lanskap dan konstruksi di wilayah pesisir harus dirancang dan dibangun sesuai dengan struktur, karakteristik, dan dinamika alam setempat. Kedelapan adalah bahwa kita harus menerapkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global dan bahaya alam lainnya.
Kesembilan, Sistem Logistik Ikan Nasional harus diperkuat dan diperluas untuk mencakup seluruh wilayah Indonesia. Kesepuluh adalah memberikan akses yang lebih besar dan lebih mudah bagi usaha budidaya laut ke tingkat bunga yang relatif lebih rendah dan persyaratan pinjaman kredit bank, teknologi, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya yang lebih lunak.
“Pemerintah harus membuat kebijakan politik dan ekonomi (fiskal dan moneter, pajak, ekspor dan impor, tenaga kerja, dll) dan iklim investasi yang kondusif dan menarik bagi pengembangan budidaya laut, investasi, dan bisnis yang berkelanjutan,” pungkasnya.