Jumat, 22 November, 2024

Indonesia Mariculture Forum ‘Membangun dan Menghidupkan Kembali Sistem Marikultur Indonesia’

MONITOR, Nusa Dua – U.S. Soybean Export Council (USSEC) bersama Masyrakat Akuakultur Indonesia (MAI) menggelar “Indonesia Mariculture Forum” atau Forum Marikultur Indonesia dengan tema “The Indonesia Maritime Forum; Membangun Kembali dan Menghidupkan Kembali Sistem Marikultur Indonesia” yang digelar di Hotel Conrad, Nusa Dua, Bali, Selasa (14/6/2022).

Forum Marikultur Indonesia ini diharapkan dapat memberikan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir di bidang budidaya laut termasuk pemuliaan dan rekayasa genetika, pakan dan nutrisi, manajemen kualitas air, pengendalian hama dan penyakit, rekayasa budidaya, budidaya mesin dan peralatan, dan biosekuriti; pertukaran informasi dan teknologi antar peserta; dan wadah untuk menjalin kerjasama dan persahabatan antar peserta R&D, pendidikan & pelatihan, investasi dan bisnis di bidang budidaya laut.

Selain itu, Forum ini juga diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi-rekomendasi terbaik kepada pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk membangun Pembangunan Marikultur Berkelanjutan Indonesia.

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Prof Rokhmin Dahuri dalam sambutannya mengatakan forum marikultur tersebut sangat relevan bagi bangsa Indonesia dalam upayanya menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan berdaulat pada tahun 2045. Pasalnya, Sektor perikanan budidaya, khususnya budidaya laut, diyakini memiliki potensi yang sangat besar untuk mengatasi semua permasalahan dan tantangan pembangunan nasional yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, sekaligus berkontribusi pada terwujudnya Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat pada tahun 2045.

- Advertisement -

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University tersebut menyebut setidaknya enam alasan utama. Pertama, sebagai negara kepulauan terbesar di Bumi dengan 75% dari total wilayahnya tertutup laut dan 28% dari luas daratannya berupa ekosistem air tawar termasuk sungai, danau, dan waduk, Indonesia memiliki potensi produksi perikanan budidaya berkelanjutan terbesar di dunia sekitar 100,06 ton per tahun.

“Terdiri dari 60 juta ton/tahun dari budidaya laut; 34,36 juta ton/tahun dari budidaya air tawar (budidaya pesisir); dan 5,7 juta ton/tahun dari budidaya air tawar termasuk di kolam air tawar; jaring keramba dan jaring apung di danau, waduk, dan sungai; di sawah (minapadi); akuarium; dan wadah lainnya (media),” ujarnya.

Adapun total potensi wilayah perairan laut Indonesia yang cocok untuk budidaya laut adalah sekitar 24 juta ha, dan hingga tahun 2020 yang dimanfaatkan untuk budidaya laut hanya 102.254 ha (9,6% dari total potensi wilayah). “Sedangkan total produksi budidaya laut Indonesia pada tahun 2020 hanya 8,5 juta ton (14% dari total potensi produksi). Artinya, ruang untuk perluasan pengembangan budidaya laut, investasi, dan bisnis untuk meningkatkan daya saing Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang inklusif, dan kemakmuran rakyat masih sangat terbuka,” katanya.

Kedua, sejak tahun 2003 produksi budidaya laut telah menjadi kontributor dominan terhadap total produksi perikanan budidaya Indonesia, lebih dari 50%. Pada tahun 2020, produksi budidaya laut adalah 9,7 ton yang menyumbang 58% total produksi budidaya. Hingga saat ini lebih dari 95 persen total produksi budidaya laut berasal dari rumput laut karaginan (Eucheuma spp) dan rumput laut agar (Gracillaria spp). Sejak tahun 2009 Indonesia telah menjadi produsen komoditas budidaya laut terbesar kedua, setelah China (FAO, 2022).

Ketiga, karena sebagian besar komoditas dan produk budidaya laut Indonesia diekspor, budidaya laut juga merupakan kontributor penting bagi pendapatan luar negeri negara. Misalnya, sejak tahun 2004, rumput laut menjadi penyumbang terbesar kelima dari total nilai ekspor perikanan Indonesia. “Pada tahun 2020 nilai ekspor rumput laut kering sebesar US$ 279,6 juta atau 5,4% dari total nilai ekspor perikanan (US$ 5,2 miliar). Penyumbang devisa negara perikanan terbesar adalah udang (udang) disusul tuna, cumi-cumi dan gurita, serta kepiting dan rajungan,” terang Prof Rokhmin yang juga Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut.

Keempat, sebagian besar masyarakat Indonesia secara teknologi mampu melakukan budidaya laut yang merupakan bisnis yang cukup menguntungkan. Selain itu, budidaya laut juga merupakan sektor padat karya (usaha) yang dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja (pekerja), dan sebagian besar berlokasi di pedesaan, pesisir, pulau-pulau kecil, dan di luar Pulau Jawa. “Semua karakteristik budidaya laut ini secara signifikan akan membantu bangsa dalam mengatasi masalah dan tantangan pembangunan termasuk pengangguran, kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, pembangunan daerah yang miring, stunting dan gizi buruk,” jelasnya.

Kelima, sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia dan konsumsi ikan dan hasil laut per kapita, serta meratanya produksi ikan dari perikanan tangkap (sekitar 80 juta ton per tahun), permintaan komoditas dan produk budidaya laut baik di dalam negeri maupun global akan meningkat. juga menjadi meningkat.

Keenam, budidaya laut tidak hanya merupakan sumber protein hewani, vitamin, dan mineral dari ikan bersirip, moluska, krustasea, dan ivertebrata. Tetapi juga sebagai sumber bahan baku industri perhiasan (mutiara dari tiram), makanan dan minuman fungsional (sehat), industri farmasi, kosmetik, pulp dan kertas, film, biofuel, dan banyak industri lainnya.

Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin juga mengatakan bahwa meskipun Indonesia memiliki banyak keunggulan dalam pengembangan budidaya laut, namun juga terdapat beberapa kendala dan tantangan untuk mengembangkan sektor ini secara berkelanjutan. Adapun kendala dan tantangan utama untuk pengembangan budidaya laut berkelanjutan di Indonesia meliputi: pasokan benih; sistem produksi; umpan; penyakit; polusi; konflik pemanfaatan ruang laut dengan sektor pembangunan lainnya; pasar; kurangnya infrastruktur; kurangnya sistem logistik yang terintegrasi; kurangnya tenaga kerja terampil dan berdedikasi; suku bunga tinggi dan persyaratan pinjaman kredit Bank yang sulit; dan iklim investasi yang kurang kondusif.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER